"Di Undata, Aku Menyaksikan Tiga Peristiwa Sakratul Maut Sekaligus"

Khidmat Ambulans DPW PKS Sulteng



 "Janji Allah tentang kematian adalah sesuatu yang pasti, tetapi kapan dan bagaimana jalannya, hanya Allah yang tahu!" 


Kamis sore 5 Agustus 2021, saya membawa lari istri ke UGD RS Undata Palu Sulawesi Tengah. Setelah menjalani Isolasi mandiri di rumah, istri terus mengalami pemburukan sejak kami mendapatkan hasil rapid positif Covid-19 pada Ahad 1 Agustus 2021. Setelah mengalami demam tinggi, batuk yang tidak berhenti, pada Rabu malam hingga Kamis dinihari, tidak bisa tidur. Akibatnya, istri mengalami pusing yang hebat. Kondisi ini, kemungkinan kadar haemoglobin (hb) atau protein yang berada di dalam sel darah merahnya rendah, karena istri memang memiliki riwayat hb rendah.


Tidak mau ambil risiko, karena untuk memastikan apakah benar kadar hb rendah yang menyebabkan pusing, karena melalui pemeriksaan medis dan laboratorium, kami berikhtiar ke Rumah Sakit pukul 11.30.


Memasuki ruang UGD, hampir seluruh bed penuh. Terutama di ruangan khusus pasien suspek maupun yang telah terkonfirmasi Covid-19.


Tepat di seberang tempat tidur istri, satu pasien Covid sudah mengalami sesak nafas yang parah. Pasien perempuan dengan umur sekitar 50-an tahun tersebut, walaupun telah dipasang oksigen, namun nafasnya terdengar seperti orang yang mendengkur. Keterangan anaknya, Sang Ibu baru saja tiba di UGD RS Undata.


"Suara apa itu yang bunyi?" tanya istri ke saya.


"Ada orang tidur nyenyak di sebelah," kataku berbohong, agar tidak membuat istri khawatir. Padahal saya tahu, itu suara orang yang sedang menghadapi sakratul maut.


Tidak lama berselang, sebuah mobil pick-up melaju dan berhenti mendadak di depan pintu UGD. Dengan wajah cemas, sang sopir langsung berteriak memanggil dokter.

"Dokter...Dokter...Tolong dulu ibu saya," katanya.


Dengan sigap, sang dokter jaga langsung melompat naik ke atas mobil memeriksa. Setelah periksa nadi, sang dokter tampak melakukan Teknik Cardiopulmonary Resuscitation (CPR), yaitu teknik pertolongan pertama pada kondisi henti napas atau henti jantung. Setelah itu, kembali memeriksa denyut jantung menggunakan stetoskop.


Tampak Sang Dokter menghela nafas panjang. "Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun," ucapku lirih. 


Orang itu tak kukenal, tapi tak terasa air mataku ikut meleleh.


Jasad ibu yang berumur sekitar 60-an tahun tersebut, diangkat turun dari atas mobil. Diletakkan di salah satu ranjang UGD. Sang suami ingin segera membawa jasad sang istri, walaupun hanya menggunakan mobil pick up tersebut. 


Langsung saja ku cegah. "Jangan Pak, saya coba hubungi relawan yang ada ambulansnya bantu bawa mayat istrinya kita (anda) Pak," kataku. 


Tampak wajah bapak tersebut sedikit tersenyum dan mengucapkan. " Iye, terima kasih."


Sembari menunggu kedatangan ambulans yang ternyata masih membawa satu jenazah ke pemakaman, saya ngobrol dengan anaknya, tentang riwayat penyakit Sang Ibu. Tiba di rumah sakit, sudah dalam kondisi meninggal dunia, sehingga tidak ada tindakan medis dan tidak ada kesimpulan medis tentang status penyakit sang Ibu.



"Tadi kami sempat ke rumah sakit ***** (tidak etis menyebutkan nama rumah sakitnya), Ibu saya tidak lagi diturunkan dari mobil. Hanya diperiksa tangannya dijepit pakai alat (Oxymeter), katanya saturasinya (kadar oksigen dalam darah) tinggal 49. Langsung disuruh cepat ke Undata," kata Sang Anak.


Pengakuan ini juga dia ungkapkan di depan dokter jaga UGD Undata, yang hanya bisa menghela nafas panjang mendengarnya.


Tidak lama kemudian, ambulans dari DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulteng tiba di UGD RS Undata. Di saat kami sedang mempersiapkan pemberangkatan jenazah menuju rumahnya di salah satu desa di Kabupaten Sigi, pasien yang tadi terdengar mendengkur, kondisinya makin drop. Petugas medis bertindak sigap memberikan tindakan. Sang anak, terus berdoa di samping ibunya dan mulai menangis. Tidak lama, terdengar teriakan histeris sang anak.


"Mama....mama kenapa? Mama jangan pergi, kasihan adik masih kecil, siapa yang jaga," kata sang anak, sambil menggoyang jasad sang ibu.


Kembali saya mengucapkan dengan lirih; Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.


Dengan tegar, suami ibu yang baru saja wafat tersebut, bertanya tentang prosedur penanganan jasad sang istri. Dijelaskan, seluruh penanganannya akan dilakukan oleh tim pemulasaraan jenazah Covid-19 RS Undata. 


"Untuk lokasi pemakamannya?" tanya Sang Bapak. "Iya nanti tim yang atur, silahkan bapak komunikasi dengan mereka," jawab salah seorang perawat.


Setelah tim pemulasaraan jenazah datang dan setelah diberi penjelasan, sang Bapak pasrah jenazah istrinya dimakamkan di Poboya, atau tempat pemakaman khusus pasien Covid-19, mengingat tempatnya yang jauh (harus melintas ke wilayah Sulawesi Barat).


Istri oleh dokter disarankan untuk observasi saja. Dilihat perkembangan, jika kondisinya makin membaik setelah diberi obat, boleh kembali menjalani isoman di rumah. Menurut Dokter, saat ini Rumah Sakit memprioritaskan pasien Covid-19 dengan pemburukan sesak nafas atau yang sudah mulai hilang kesadaran.


Saat masa observasi, satu lagi pasien di sisi utara ranjang istri, kondisinya makin drop. Para tenaga kesehatan dan medis, terus memberikan pertolongan. Sembari itu, keluarganya juga mulai men-talqin, atau membisikkan kalimat tahlil di telinganya. Sang pasien, nafasnya tampak tersengal-sengal dan tidak lagi memberikan respons. Tidak lama kemudian, saya dipanggil dokter dan mengatakan kalau Istri boleh pulang menjalani rawat jalan dan melanjutkan isolasi mandiri, sembari memberikan resep untuk ditebus di Apotek.


Wallahu'alam bish shawab. 


Palu, 6 Agustus 2021


Abdul Hanif Ibn Djaiz 

Tenaga Ahli F-PKS DPRD Sulawesi Tengah

Posting Komentar

0 Komentar