Siapa yang Korup:
Khaled Meshaal atau
Benyamin Netanyahu?
Oleh: Sapto Waluyo
(Jaringan Media Profetik)
Serangan terhadap pejuang Palestina tak hanya ditujukan kepada Masjid
al-Aqsha dan Jalur Gaza, serta wilayah pendudukan Tepi Barat. Tetapi juga menyerang
hati dan pikiran (hearts and minds)
warga dunia, khususnya kaum Muslimin di Indonesia. Dalam kondisi perang yang
tak seimbang (asymmetric war), ibarat
David versus Goliath, maka pemenang perang bukan pihak yang paling kuat dan
perkasa, melainkan pihak yang paling cerdas dan mendapat simpati warga dunia.
Itulah yang terjadi pada perang Vietnam (1 November 1955) melawan adidaya
Amerika Serikat (AS) atau sering disebut Perang Indochina Kedua karena konflik
meluas ke Laos dan Kamboja hingga jatuhnya Saigon (30 April 1975). Perang yang
berlangsung 19 tahun, 5 bulan, 4 pekan dan 1 hari itu bermula dari polarisasi
Vietnam Utara (komunis) dan Vietnam Selatan (demokrasi). Kubu Vietnam Utara (690.000
tentara) didukung China (320.000) dan Uni Sovyet (3.000), sedang Vietnam
Selatan (850.000) dibela Aliansi AS (2,7 juta).
Dengan jumlah prajurit terbatas dan kebanyakan tak terlatih serta
persenjataan seadanya, pasukan utara (Viet Cong) ternyata tak mudah ditaklukkan
oleh pasukan selatan dan sekutu AS (dibantu Thailand, Filipina, Australia dan
Selandia Baru) dengan persenjataan paling kuat pasca Perang Dunia II.Strategi
perang gerilya ternyata sangat cocok dengan kondisi alam (terrain) dan semangat revolusioner rakyat Vietnam. Tetapi, yang
membuat AS menyerah dan akhirnya menarik pasukan dari Vietnam adalah tekanan
rakyatnya sendiri yang anti-kebijakan perang didukung para jurnalis berhati
nurani dan berakal sehat. Inilah salah satu masa keemasan jurnalis koran dan
majalah yang mengabarkan derita kemanusiaan: bisa mengalahkan tank, pesawat
tempur dan bom napalm.
Situasi serupa kembali terjadi dalam Perang Aljazair (1954-1962).
Sebenarnya pejuang Vetnam dan Aljazair belajar dari pengalaman Perang
Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949) melawan penjajah Belanda (NICA) yang
mendompleng pasukan sekutu Inggris usai Perang Pasifik. Pejuang kemerdekaan
Indonesia saat itu bermodalkan semangat membara dengan senjata hasil rampasan
dari pasukan Belanda dan Jepang, didukung Kantor Berita Antara dan Radio
Republik Indonesia. Kisah heroik Jenderal Soedirman selaku Bapak Perang Gerilya
dibukukan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution dan akhirnya menjadi referensi
utama sekolah-sekolah militer di seluruh dunia.
Saat ini di era milenium ketiga masih tersisa satu bangsa yang melakukan
perlawanan gigih terhadap penjajahan, yakni rakyat Palestina melawan Zionis
Israel yang merampas tanah Palestina sejak 1948. Perjuangan rakyat Palestina
sepanjang tujuh dekade mengalami pasang naik dan surut, termasuk berdirinya
Fatah (10 Oktober 1959) dan terbentuknya Palestine Liberation Organization
(PLO, 28 Mei 1964) dan tampilnya Hamas (14 Desember 1987).
Propagandis Pro-Zionis
Mereka yang tidak memahami sejarah panjang perjuangan rakyat Palestina akan
mudah terperangkap isu menyesatkan (hoax)
atau berita palsu (fake news). Begitu
banyak fakta yang bisa digelapkan atau kronologi peristiwa yang
diputarbalikkan, dengan narasumber yang memiliki kepentingan tersembunyi. Duta
Besar RI untuk Turki, Lalu Muhammad Iqbal, membongkar keanehan dalam
pemberitaan media di Indonesia seputar tragedi
Palestina. “Tiga atau empat tahun lalu, 9 dari 10 isi komentarnya berpihak
kepada Palestina. Tapi, perhatikan di hari-hari belakangan ini, hamper 60-70
persen isinya pembelaan terhadap Israel,” ujar Iqbal dalam diskusi online
Muhammadiyah Diaspora (16/5/2021).
Yang mengkhawatirkan baginya bukan sekadar pembelaan terhadap Israel, tapi narasi
dan argumentasinya seragam. “Ini menunjukkan upaya terstruktur, terorganisasi,
untuk melakukan pembelaan terhadap Israel,” simpul Iqbal, alumni Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan Universitas Bucharest, Rumania (pwmu.co,
17/5/2021).
Kecenderungan serupa terdeteksi Ismail Fahmi, pakar sains data, yang memantau
pemberitaan media online dan percakapan media sosial. "Propaganda dan
dukungan atau setidaknya simpatisan ke IDF udah banyak sekali di +62. Contohnya
bisa dibaca di reply2an postingan ini," kata Ismail Fahmi sebagaimana
dikutip portal Pikiran Rakyat Bekasi dari akun @ismailfahmi (14 Mei 2021).
IDF adalah Israel Defense Forces
alias Pasukan Pertahanan Israel. Fahmi membagikan tangkapan layar postingan
akun Erina Pangestu (@3_devout). Dalam postingan itu, terdapat foto tentara
Israel membantu pria lanjut usia yang diduga warga Palestina. Ia membantu
mendorong kursi roda yang diduduki lansia tersebut untuk memberi kesan bahwa
tentara Israel juga humanis.
"Nyari-nyari di media +62 koq nda ada yes?!" ujar Erina, dengan
nada nyinyir. Postingan Erina tersebut dibagikan dan dikomentari pemilik akun
@EsterSusiani2. "Israel gak akan serang kalau gak dulu diserang, media +62
selalu beritakan Israel jahat," kata Ester Susiani. Menurut Fahmi,
postingan dari Erina Pangestu sama persis dengan narasi pendukung Israel di
luar negeri.
"Narasinya sama persis dengan yang disampaikan para pendukung mereka
di luar. Logika gampang dibolak-balik. But
where you stand is that matter," cuit Ismail Fahmi.Tidak hanya percakapan
di media sosial yang menunjukkan rentannya kualitas literasi netizen, tragedi
juga terjadi dalam pemberitaan media yang memperlihatkan rendahnya kualitas
jurnalis media siber.
Mengapa Menyerang Meshaal dan Haniyah?
Portal Manado Post (17 Mei 2021) menulis
berita utama berjudul “Sosok Khaled Mashal (sic),
Tokoh Hamas yang Hidup Mewah dari Penderitaan Rakyat Palestina”. Portal
berjaringan yang berkantor di Sulawesi Utara itu menampilkan Khaled Meshaal sebagai
aktor utama pemegang kontrol dalam setiap aksi Hamas “mengganggu kedaulatan”
Israel. Namun siapa sangka, menurut MP
(Manado Post), pria yang lahir di Silwad, bagian utara Ramalah, Palestina, 28 Mei 1956 itu
juga hidup bergelimang harta dibalik penderitaan rakyat Palestina. Tuduhan
fatal, bila tanpa dasar.
Menurut MP, Meshaal hidup mewah di Doha, Qatar, dengan total kekayaan
pribadi hasil perhitungan para analis terorisme mencapai Rp 36,400 triliun (US$2,6 miliar) tahun 2020. Pendapatan Meshaal,
terus bertambah, setiap kali muncul konflik. Meshaal menyusun proyek agitasi,
berbagai bentuk audio visual palsu, berupa derita nestapa rakyat Palestina.
Masyarakat Muslim dari berbagai negara, mengumpulkan donasi lewat satu pintu,
yaitu Meshaal. Uang hasil donasi, kemudian dibelikan senjata, biaya pelatihan
militer, mendidik tenaga perakit roket dan bom, sekitar 40 persen dari dana
donasi yang masuk. Sisanya, sekitar 60 persen, untuk biaya hidup
bermewah-mewahan Meshaal dan petinggi Hamas di luar negeri.
Redaksi MP kemudian memaparkan perjalanan Meshaal yang hampir terbunuh dinas
intelijen Mossad, tapi bisa diselamatkan dan lalu “diusir” Raja Yordania. Penggunaan diksi yang menyudutkan
tidak disertai bukti atau rujukan, tapi langsung menuding bahwa Meshaal memanfaatkan
perang agar dapat donasi untuk hidup mewah.
MP seakan mengetahui dimulainya lingkaran bisnis menggiurkan Meshaal bersama “komplotan”
petinggi Hamas. Hamas menyerang Israel, dibalas Israel, hingga menimbulkan
korban warga sipil di Gaza meninggal dunia, dan propaganda dirancang. Maka, donasi
dari negara lain masuk seperti Rusia, China dan
Iran, berupa suplai rudal, dan sebagian besar uangnya masuk kantong Mashal dan
pemimpin Hamas lainnya di luar negeri. Kalau kantong Meshaal sudah mulai
menipis, maka dibuat lagi gara-gara, roket Hamas ditembakkan ke Israel.
Penulis berita MP tak jelas, hanya tertulis kode: tr-01 namun editornya adalah Don Papuling. Ternyata, MP tidak
meliput atau melakukan investigasi mandiri terhadap sustansi berita yang
disajikan, karena sumber berita disebut dari Al-Jazeera dan Jerusalem Post. Anehnya, bila dilacak arsip berita Al-Jazeera tidak akan
kita dapatkan isu tersebut, tetapi sumber Jerusalem
Post menurunkan berita tentang “The
corruption at the head of Hamas” pada 20 Juli 2014, pukul 15:00 (waktu setempat).
Rupanya, itu berita tujuh tahun silam yang didaurulang demi kepentingan
propaganda pro-Israel. Penulis berita aslinya bukan wartawan JP, melainkan Eli
Tsiporidari portal Globes (Israel business
news - www.globes-online.com) yang menulis tanggal 17 Juli 2014, pukul 23:05 (waktu
setempat). Benar-benar info kadaluarsa tak berdasar.
Penulisnya (ET) mengaku, “In the Arab
press, particularly in Egypt, there are countless stories about the corruption
in Hamas. The Egyptians are no fans of Hamas, and their own regime is corrupt
enough, but we present here a few excerpts from the welter of stories about
Hamas's financial criminality.” Sumber info utama rumor di kalangan pers
Mesir yang memang tidak bersahabat dengan Hamas dan diakui koruptif. Jadi hanya
artikel iseng, bukan hasil investigasi dan tidak ada konfirmasi kepada para
pihak yang dituding, lalu dikemas dengan gaya provokatif.
Kejahatan pers yang dilakukan
Manado Post adalah menyadur artikel lawas Jerusalem Post tujuh tahun silam, dan
menerbitkannya di tahun 2021 tanpa penjelasan kontekstual atau disclaimer,
sehingga artikel edisi Indonesia itu sepenuhnya tanggung jawab redaksi MP.
Artikel aslinya memang sangat provokatif dengan kutipan utama: “As Gazans suffer poverty and war, Khaled
Mashaal and Ismail Haniyeh build their wealth” dan paragraf pertama (lead) tendensius:
“1.8 million people live in the Gaza
Strip, most of them refugees. They endure an unemployment rate that reaches
40%, shameful poverty, rock bottom wages, and, to top it all, an apparently
corrupt regime, with an extreme political ideology, that finds it convenient to
perpetuate poverty.”
Pola yang biasa dipakai untuk menyebar rumor ialah mengutip sumber anonim
dari laporan intelijen, bahwa dana dikumpulkan di Eropa dan Negara Teluk
melalui Koalisi Bantuan Kemanusiaan dan Garda Revolusi Iran, yang mengirim dana
khusus untuk menyerang target Israel. Semua unsur yang kontradiksi diramu
seolah-olah merupakan kebenaran baru (post-truth)
yang orang harus percaya. Mengaduk-aduk emosi pembaca awam.
Untuk meyakinkan pembaca, dikarang cerita bahwa Meshaal menyelundupkan dana
$12 juta dari Suriah ke Turki di bawah tameng perang sipil. Menurut laporan intelijen, Meshaal menunjuk
seseorang bernama Jibril Janid untuk
mengirim uang ke Turki pada Oktober 2012 dari kakak iparnya. Uang itu mestinya
milik Hamas, tapi Meshaal mengatakan hilang di tengah konflik Suriah. Hanya
agen intel yang percaya laporan intel, bagi seorang jurnalis berlaku pembuktian
atau kesaksian sumber terpercaya. Tak ada
yang bisa dikonfirmasi.
Sementara kekayaan Ismail Haniyeh, menurut laporan yang sama meliputi 2.500
meter persegi lahan jalan Amar Almatar, kawasan Al-Ramal di Jalur Gaza. Lahan
itu ditaksir bernilai $4 juta, dan terdaftar atas nama menantunya. Ketika
mengatakan ketidakmampuan untuk membayar pegawai di
pemerintah di Gaza, Haniyah diisukan membeli sejumlah rumah atas nama anaknya.
Bagi yang mengenal sosok Haniyah, info ini sangat menggelikan. PM Palestina
selama dua periode itu menyerahkan tampuk pemerintahan secara sukarela dan kembali ke rumahnya di
kamp pengungsi As-Syathi (Hidayatulah, 3 Juni 2014).
Keluarga Haniyah berasal dari Jaurah Asqalan, beberapa kilometer dari Gaza.
Tapi ia lahir, 29 Januari 1963, di kamp As-Syathi, sekolah (SMU al-Azhar) di
Gaza dan kuliah (fakultas pendidikan) di Universitas Islam Gaza. Warga kota
Gaza saling mengenal satu sama lain karena hidup dalam kekerabatan atau
hubungan ketetanggaan yang sangat erat, apalagi kondisi mereka sebagian besar
dalam kemiskinan. Sehingga kepemilikan properti dalam jumlah besar akan mudah
diketahui, sementara mereka tidak melihat perubahan mencolok dari kehidupan
Haniyah beserta 13 anaknya.
Karena tugas, Ismail Haniyah harus tetap berada di Gaza bersama rakyat Palestina
yang tertindas, sementara Khaled Meshaal karena tugas pula harus berada di luar
Palestina untuk menggalang dukungan internasional. Penulis sebagai wartawan
Indonesia pernah bertemu dan wawancara dengan Meshaal saat masih berkantor di
Amman, Yordania. Penampilannya tenang dan berwibawa dengan jas bersahaja, tak
ada simbol kemewahan, termasuk ruang kantornya. Pertemuan dilaksanakan
berpindah tempat untuk mencari lokasi aman karena Meshaal baru saja selamat
dari percobaan pembunuhan. Tempat bermalamnya tak tentu, jelas stafnya. Kondisi
itu terus berlanjut setelah insiden pembunuhan tokoh Hamas (Mahmoud al-Mabhouh)
di Abu Dhabi (19 Januari 2010) dan Fadi al-Batsh di Kuala Lumpur (21 April
2018). Bagi orang yang selalu berjaga di waktu malam, tidur di hotel atau
apartemen mewah bukanlah impiannya.
Sungguh tak masuk akal bila kolomnis ET menutup artikelnya dengan mengutip
ucapan seorang presenter televisi Mesir: "Khaled Mashaal sits and eats in restaurants in Qatar. He runs his jihad
from Qatar. My dear sir, Khaled Mashaal, the jihad is in Gaza. Mr. Khaled and
all his brave warriors in Gaza people don’t have enough to eat, children are
suffering and buildings are destroyed with their inhabitants.” Ucapan itu
tidak berlaku untuk Meshaal dan tokoh Hamas, tapi mewakili kehidupan sebenarnya
para jenderal di Kairo dan sekitarnya. Para jurnalis selebriti mungkin saja
meliput Meshaal dan tokoh Hamas dalam jamuan politik dan perundingan, tapi
tidak mengikuti kesibukan sehari-hari.
Akan halnya rencana bantuan internasional untuk Palestina pada tahun 2014
diakumulasi sekitar USD 5.4 miliar (£3.4 miliar) untuk membangun kembali Gaza
yang hancur setelah perang 50 hari, tetapi 100,000 warga Palestina terpaksa
menjadi tunawisma di musim dingin karena janji bantuan belum tentu terealisasi
dengan cepat. Qatar menjadi pendonor paling besar dan paling kongkrit,
sementara Inggris menjanjikan bantuan $32 juta untuk kesehatan dan pemusnahan
ranjau/bom darat (The Guardian, 12 October 2014). Hasil itu melampaui target
Pemerintah Otoritas Palestina yang ingin mengumpulkan dana USD 4 miliar untuk
rekonstruksi perang yang merenggut lebih dari 2.000 nyawa Palestina dan 73
tentara Israel. Semua dana bantuan disalurkan via rekening pemerintah di Tepi
Barat dan Jalur Gaza, bukan ke rekening pribadi Haniyah atau Meshaal.
Dari sumber alternatif CNN (13
Juni 2017)
kita dapat bukti laporan Ian Lee bahwa bantuan kemanusiaan masuk lewat rekening pemerintah,
bahkan saat krisis dihadapi pemerintah Qatar karena embargo beberapa Negara Teluk. Pada musim gugur tahun 2012
pemimpin Qatar, Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani, berkunjung pertama kali ke
Gaza di bawah kepemimpinan Hamas. Emir Qatar meluncurkan proyek bernilai
ratusan juta dollar untuk infrastruktur (kantor, jalan, energi dan air bersih).
Sejak itu posisi Qatar menguat di kawasan. Karena situasi sulit pada tahun
2019, Hamas terpaksa menolak bantuan Qatar yang harus melalui pengawasan rekening
penjajah Israel, nilainya cukup besar USD 15 juta per bulan (untuk honor
pegawai dan bansos) yang akan berlangsung selama 6 bulan (total USD 90 juta).
Hamas ingin rakyat Palestina mengatur dana secara mandiri, tidak diintervensi
penjajah Israel, sebab laporan keuangan mereka juga diaudit lembaga
internasional (Reuters, 24 Januari 2019). Akibat sorotan internasional, Israel
memberi kelonggaran karena mereka akhirnya sadar, keuangan domestik Israel
sendiri dilanda berbagai kasus korupsi.
Netanyahu Sang Koruptor dan Pemecah-Belah Israel
Maling teriak maling. PM Benyamin Netanyahu ternyata menghadapi pemeriksaan
atas dakwaan korupsi yang diusut District Court Jerusalem (Reuters, 8 Februari
2021). Ada tiga kasus penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan, salah satunya
adalah penyuapan. Menteri Dalam Negeri Aryeh Deri sudah lebih dulu dipenjara
akibat kasus gratifikasi. Mantan Hakim Nili Arad, yang menjadi Ketua
Transparency International Chapter Israel, menyatakan ranking Israel yang
rendah dalam indeks persepsi korupsi pada 2020 sebagai dampak hilangnya
kepercayaan publik dalam penanganan Covid-19. Skor Israel, 60, sama seperti 2019,
dan turun 1 poin dibanding 2018. Tahun 2017 skornya 62, cenderung menurun tiap
tahun di bawah pemerintahan Netanyahu.Israel tergolong negara palingkorup di
kawasan Timur Tengah, menempati ranking 35 secara global, dan ranking 25 dari
37 anggota OECD (Times of Israel, 28 Jauari 2021).
David Horowotz menulis dalam Timesof
Israel (29 March 2021) bahwa Netanyahu adalah figur pemecah-belah bangsa (The Man who Divided Israel, https://www..com/the-man-who-divided-israel/). Pada pemilihan umum
bulan Maret 2021 lalu, koalisi partai Likud dan ekstrimis zionis hanya meraih
52 dari 120 kursi Knesset. Rinciannya: Partai Likud (30 kursi), Shas (9 kursi),
United Torah Judaism (7 kursi), dan Religious Zionism (6 kursi).
Sementara itu, koalisi oposisi di bawah pimpinan Yair Lapid (dari Partai
Yesg Atid) dan Benny Gantz (Blue and White Party) meraup 58 kursi. Rinciannya:
Partai Yesh Atid (17 kursi), Blue and White (8 kursi), Yamina (7 kursi),
Yisrael Beyetnu (7 kursi), Labour (7 kursi), New Hope (6 kursi), dan Meretz (6
kursi). Gantz sebelumnya bergabung dengan Netanyahu dan sekarang membelot,
termasuk Menteri Pertahanan Naftali Bennett (pimpinan Yamina) ikut beroposisi.
Ada dua partai minoritas Arab, yakni Partai Islam Ra'am (4 kursi) dan Joint
List (6 kursi) belum menentukan sikapnya. Koalisi partai di Israel harus meraih
minimal 61 suara agar bisa mengamankan kekuasaan. Dalam pemilu kali ini partai
Ra'am menjadi kunci. Jika Netanyahu ingin kembali berkuasa, dia harus bisa
merangkul partai Islam Ra’am dan Joint List. Tetapi sebaliknya, Bibi malah
mengobarkan perang dengan komunitas Muslim dan merangkul kekuatan radikal kanan
(Shas dan United Torah Judaism).
Di tengah badai korupsi dan kegagalan pemilu, Netanyahu membiarkan kelompok
zionis ekstremis menyerang Masjid al-Aqsha dengan alasan merayakan Hari
Yerusalem (yang dikuasai 10 Mei 1967 dalam Perang Enam Hari). Ketika rakyat
Palestina melawan, maka rezim zionis membombardir Gaza. Warga Israel jadi lupa
kasus korupsi dan Netanyahu memegang mandat darurat. Presiden AS Joe Biden
mendukung Israel yang disebut berhak mempertahankan diri, sambil menyetujui
bersama Kongres anggaran penjualan senjata senilai USD 735 juta untuk Israel
(Washington Post, 17 Mei 2021). Sudah jelas kan siapa yang mengobarkan perang
dan meraup keuntungan dari situasi perang? []
0 Komentar