Beginilah Aku Bertemu PKS



Judul ini hampir tidak ada korelasinya dengan isi tulisanku. Banyak isi dari tulisanku yang merupakan kisah pribadi. Itu karena tujuanku bukan untuk eksistensi apalagi sekedar tuntutan gengsi. Aku hanya ingin menuliskan apa yang pernah ku alami. Dan jika tulisanku memang tidak menarik, tolong jangan berhenti membaca. Karena kata Najwa Shihab, “Membaca ialah upaya merengkuh makna, ikhtiar untuk memahami alam semesta. Itulah mengapa buku disebut jendela dunia, yang merangsang pikiran agar terus terbuka”. Selamat membaca dan semoga terinspirasi.


***


Bagiku mengenal dunia politik bukanlah hal yang baru. Aku dibesarkan oleh keluarga yang sepenuhnya mendukung keinginanku. Bahkan terkesan memanjakanku. Apapun permintaanku, selalu dituruti. Saat aku SMP, aku diberi amanah untuk menjabat sebagai Ketua OSIS. Dari situlah keinginanku untuk menekuni tentang ilmu politik pun muncul. Walaupun aku dibesarkan di lingkungan keluarga POLRI yang diwajibkan untuk netral terhadap politik praktis manapun, namun tak membuat diriku buta akan bahasan mengenai politik.


Namun semenjak perpisahan orang tuaku, jangankan untuk memikirkan bahasan mengenai politik atau apapun, untuk cari tambahan uang saku sekolah saja, aku bingung. Wajar, ibu hanya seorang diri membesarkan aku dan kedua adikku. Segalanya berubah dan praktis mengubahku. Cara berpikir, bersikap, bertindak dan mengambil keputusan, akhirnya merubahku menjadi pribadi dengan kepribadian baru.


Singkat cerita, aku tumbuh menjadi seorang mahasiswa. Sebenarnya aku pun masih tidak percaya atas pencapaian diriku yang mampu bertahan sampai di titik yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya. Setelah banyak kerikil, batu, sandungan yang menghalangi jalanku, aku masih berdiri dan tetap menatap arah lurus ke depan menerima tantangan apapun yang diberikan oleh dunia.


***


Bicara tentang politik, aku akan memulai dari apa yang ku alami sebagai seorang mahasiswa di sebuah kampus di Jawa Timur. Entah kenapa, mulai ospek universitas sudah diamati oleh banyak mahasiswa senior di lingkungan kampus. Bukan karena aku tampan sih. Hehe. Namun karena aku sering bersuara lantang dan menantang kakak-kakak yang tergabung sebagai Komisi Disiplin (Komdis) pada saat itu. Banyak gaya. Bisanya cuma teriak-teriak tapi jika diteriaki balik jadi ciut. Menurutku, aku tidak suka sistem mereka memberikan pengertian disiplin sedangkan mereka sendiri tidak tau apa arti disiplin itu. Bahkan, aku langsung jadi pemeran antagonis bagi para komdis saat itu. Lucu kalau diingat lagi.


Setelah rangkaian ospek selesai, banyak kakak tingkat mulai menawariku untuk mengikuti organisasi eksternal kampus. Tidak hanya dari satu aliansi, seingatku bahkan lebih dari satu. Rasanya tak perlu disebutkan sih. Dasar aku, karena aku adalah orang yang gampang penasaran dan selalu ingin belajar hal baru, jadi aku coba untuk berkunjung serta mengikuti diskusi mereka. Mulai dari aliansi A di hari pertama, aliansi B di hari kedua, aliansi C di hari ketiga begitu seterusnya bergiliran.


Sampai pada satu titik, aku merasa tidak menemukan kecocokan visi dan misi dari aliansi manapun dari mereka. Tujuan mereka baik sebenarnya, yakni untuk memberikan wawasan politik serta mengajarkan apa yang tidak diajarkan oleh perkuliahan di kampus. Namun yang tidak aku suka dari gerakan mereka adalah doktrin bahwa setiap paham atau landasan yang mereka ikuti adalah yang paling benar, terkesan menjelek-jelekkan satu sama lain, namun bekerja sama dalam memperebutkan kekuasaan dan jabatan. Jadi tidaklah salah jika ada orang yang mengatakan “Kampus adalah miniatur negara”. Benar-benar mirip. Hanya saja lebih ahli mungkin.


Jadi, sudah pasti keputusan yang aku ambil adalah menjadi pribadi yang independen. Tidak terpengaruh dengan ajakan dari aliansi manapun. Sesuai kata Soe Hok Gie, “Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk menjadi manusia merdeka."  Kata-kata itulah yang membuat aku makin bersemangat untuk tetap menjadi independen. Malah, aku dan kawan sekelasku mengambil inisiatif untuk menjadikan pemerintahan Program Studi kami bersih dari aliansi manapun. Karena petuah dari pendahulu disana (Prodi, red), kami harus merebut kembali sistem pemerintahannya agar Prodi kami lebih baik. Tahun pertama, kami kalah. Tahun selanjutnya, kami berhasil menjalankan tujuan tersebut. Alhamdulillah, tahun ini adalah tahun kedua kami “menguasai” sistem pemerintahan di Program Studi.


***


Bukan aku namanya jika selalu mengikuti arus air. Melakukan hal yang sama tiap waktu membuatku merasa bosan. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mencari “panggung” yang lebih luas lagi dan relasi yang lebih banyak lagi.


Keseharianku sebagai aktivis Pramuka harusnya cukup untuk membuatku mendapat panggung yang cukup luas untuk mengembangkan diri. Namun tetap kurang luas. Selalu merasa kurang ? Tidak. Aku tidak berpikir kearah sana sama sekali. Yang kupikirkan, sayang jika di usiaku yang masih kepala dua, aku tidak memaksimalkan potensi yang aku punya. Realistis kurasa.


Terbersit pemikiran untuk terjun ke dunia politik. Asyik menurutku. Jujur, aku berpikir politik itu asyik karena melihat dan menganalisa kebiasaan “oknum” para anggota dewan yang sepertinya santai kerjaannya. Ya memang tidak semua seperti itu, namun apa salahnya aku mencoba. Toh, itu hak warga negara yang dilindungi konstitusi. Apalagi ibu juga mengizinkan dan mendoakan jika kelak aku berhasil menduduki kursi atau jabatan tertentu agar tidak lupa darimana aku berasal.


Masalah muncul setelah itu. Untuk berkarir di dunia politik, jelas aku butuh panggung partai politik yang dapat menampungku sebagai anak muda, memiliki semangat dan potensi serta pandangan serta aspirasi yang mungkin dapat disalurkan demi kemajuan bersama.


Cukup lama aku searching di internet tentang rekrutmen partai politik di kota Surabaya. Namun kebanyakan membutuhkan yang sudah sarjana. Bahkan banyak slentingan diluar sana yang bilang harus kaya untuk jadi anggota partai politik. Siapa yang tidak ciut mendengar hal itu ? Sempat ku urungkan niatku, tapi aku yakin, suatu saat nanti pasti akan ada jalannya sendiri.


Aku percaya saat seseorang memiliki tujuan yang kuat, jalan itu pun pasti muncul. Benar saja, Pemilihan Walikota Surabaya 2020 menjadi awal mulaku menemukan kesempatan untuk menuju panggung itu.Tentunya tidak langsung jadi calon legislatif (bisa bikin heboh dunia persilatan hehe). Tawaran pertamaku datang dari kerabatku yang menawarkan job menjadi saksi pasangan politik. Bak gayung bersambut, aku yang lagi getol-getolnya mencari jalan menuju tujuanku, malah ditawari hal yang berbau politik seperti ini. Jelas jawabanku. Sikaattt!!!


Bukan nekat kok. Sudah kupikirkan dengan matang segala keputusanku. Selain karena tujuan yang ku kejar sebagai kader sebuah partai politik, aku juga sudah pernah mengambil job sebagai saksi sebuah partai politik pada saat Pemilihan Presiden 2019 silam. Namun kala itu aku masih belum memiliki pemikiran untuk terjun menjadi kader sebuah partai politik. Maklum, saat itu mungkin pemikiranku belum ku biarkan seliar ini.


Aku tahu dan sangat paham bahwa saat aku mengambil tanggung jawab ini, akan banyak dinamika yang ku ikuti dan ku jalani. Rapat ini itu, konsolidasi, pertemuan. Menyita waktu dan tenaga. Singkat waktu, semua sudah beres. Namun beresnya tugas job ini, semakin membuatku bersemangat mendalami apa itu partai politik.


Kebetulan, koordinator saksi wilayah kecamatan saat itu menawarkan untuk gabung ke partai politik yang memberiku job menjadi saksi. Bapak Mukhlis namanya. Beliau mengatakan, aku memiliki potensi untuk menjadi seorang kader. Apalagi, aku masih muda dan masih dapat mengembangkan potensi sebanyak-banyaknya. Ya. Partai tersebut adalah PKS. Partai Keadilan Sejahtera. Sebuah partai yang bukan partai dengan nama baru di telingaku. Partai dengan semangat yang baru serta memberikan wadah untuk kaum muda mengembangkan diri sebagai kader partai yang kritis namun tetap santun.


Sejujurnya, aku mengenal sekilas PKS karena Fahri Hamzah. Beliau memiliki pemikiran yang terkesan nyeleneh, berani serta pandai mengkritik dengan tidak pandang bulu namun selalu memiliki dasar yang kuat. Kokoh dan tidak takut dalam bersuara. Buatku, beliau adalah role model bagi calon politikus muda seperti aku. Namun sayang sekali beliau memutuskan untuk mendirikan sebuah jalan baru. Tidak masalah, karena kelak mungkin saja aku yang menjadi Bung Fahri yang baru. Hehehe. Kalau yang ini bisa jadi realistis tapi juga bisa jadi masih imajinatif.


Jadi, jelas saja kuambil tawaran untuk bergabung menjadi Kader PKS Muda. Ku ikuti segala prosedur yang ada untuk mendaftar dan masuk ke dalam perekrutan kader ini. Dan aku bersyukur, mungkin selangkah lagi aku sudah menjadi seorang kader dari PKS walaupun masih dalam naungan Divisi Kepemudaan. Yang jelas, langkahku semakin terbuka lebar untuk berkiprah dalam dunia politik.


***


Aku membayangkan diriku ini sebagai sebuah pohon. Dia akan terus bertumbuh hingga ia mati. Dalam proses bertumbuhnya itu, dia tidak akan mengerti apa yang akan datang untuk mengganggu proses pertumbuhannya. Tetapi selama pohon tersebut masih memiliki akar yang kuat untuk menopangnya untuk tetap berdiri, kecil kemungkinan untuk pohon tersebut mati. Prinsip itulah yang kuyakini dalam hidup. Tujuanku ibarat pohon. Proses bertumbuhnya pohon itu adalah prosesku untuk menggapai tujuanku. Sebelum aku menggapai tujuanku, jelas aku memerlukan tekad yang kuat untuk menopang diriku agar tetap berdiri teguh. Nah, tekad itulah yang ku ibaratkan sebagai akar.


Terlalu naif buatku jika aku menitipkan pesan tersirat dari tulisanku ini. Jangankan menitipkan pesan, menata arah tulisanku saja aku tidak mampu. Harapanku, semoga doa ibuku menjadi kenyataan serta kelak pembaca tulisan ini mengerti bahwa dibalik tinggi dan besarnya pohon, akan selalu ada akar yang menopangnya agar tetap berdiri. Itulah alasan tulisan ini kuberi nama demikian.


***



ARATAMA

(I Putu Aditya Rastra Wiratama)

Tama, pemuda yang memiliki zodiak virgo ini sebenarnya menulis karena terpaksa. Debut pertamanya adalah Lomba Essay Mahasiswa Tingkat Nasional tahun 2019. Mujur mungkin, karya tulisnya mendapat peringkat 7. Walau pelaksanaannya secara virtual, hal itulah yang membuatnya ketagihan untuk selalu menulis. Bukan seorang profesional tapi ia selalu berusaha untuk selalu mengembangkan diri. Selain tugasnya sebagai seorang mahasiswa, ia juga merupakan pembina pramuka di beberapa sekolah di Kota Surabaya. Baginya, bertemu dan bersosialisasi dengan banyak orang merupakan obat untuk tetap awet muda.


Facebook dan Instagram : Yawis Tama




########

Tulisan ini adalah salah satu tulisan yang akan ada di buku antologi PKS Surabaya. Mau ikutan bergabung di proyek buku ini? 


RULES PENULISAN NASKAH PKS MENULIS 


🧡🧡🧡🧡🧡🧡🧡🧡🧡🧡🧡🧡


TEMA : BEGINILAH AKU BERTEMU PKS


📖 Bentuk: Narasi Inspiratif/nonfiksi

🏷️ Deskripsi: Tentang bagaimana pada mulanya kamu bertemu PKS, bagaimana lika-liku perjalananmu dengannya, kenapa kamu memutuskan untuk berada di dalamnya, dan apa yang membuatmu mencintainya.


🏷️ RULES PENULISAN DAN PENGIRIMAN NASKAH :


1. Naskah diketik di MS Word. Panjang naskah Maksimal 7 halaman, ukuran A4 ditambah 100 kata biodata narasi penulis dengan sudut pandang orang ketiga (dia) plus foto diri.*


2. WAJIB diberi Judul dan diberi NAMA yang ingin dipakai di cover. tepat di bawah judul (Boleh nama asli boleh nama pena)


3. Font: Times New Roman

    Ukuran Font: 12pt

    Spasi 1.5

    Rata Kanan Kiri

    Margin : Normal


4. Setiap naskah WAJIB mengandung pesan, hikmah, inspirasi, atau motivasi yang bisa bermanfaat untuk pembaca.


5.  File naskah diberi nama: 


PKS MENULIS - NAMA PENULIS YANG INGIN DIPASANG DI COVER 


Misal: PKS MENULIS - MUMUN MOON


6. Naskah dikirim ke : humas.dpdpksby@gmail.com


Subjek : PKS MENULIS - NAMA PENULIS


Silakan dibaca dengan teliti dan saksama. ya. Budayakan membaca dengan baik.


🧡🧡🧡🧡🧡🧡🧡🧡🧡🧡🧡🧡🧡

Posting Komentar

0 Komentar