Sahabat yang Hening Bersahaja itu Telah Tiada

PKSFoto/hilal


Oleh : Cahyadi Takariawan

 

Ia memang bukan orang yang terkenal di dunia. Namun insyaallah ia terkenal di kalangan penduduk langit sana. Seorang senior yang tidak pernah berpikir publisitas dan pencitraan. Seorang aktivis yang bahkan tidak mengelola akun media sosial –saat orang lainnya begitu gegap gempita.

 

Kebersahajaan, keserderhanaan, apa adanya --adalah dirinya. Tidak dibuat-buat. Memang seperti itulah dirinya. Asli, murni, sebagai jati diri.

 

Lihat saja, seperti apa pakaian yang dikenakannya. Lihat kendaraan dan rumahnya. Lihat makanannya. Sangat bersahaja. Ia bahkan sering bepergian dengan KRL, dari Bogor ke Jakarta, pulang pergi.

 

Saya selalu belajar darinya. “Semakin hening dirimu, semakin banyak mengerti”, pesan Rumi ini seperti melekat pada dirinya. Hening, tidak sensasional, tidak meledak-ledak. Tidak berapi-api. Datar saja.

 

Sangat terhormat saat saya diberi kesempatan menemaninya. Waktu itu ia menjabat sebagai Ketua MPP. Saya diberi amanah menjadi Sekretaris MPP. Bahagia menemani orang bersahaja.

 

“Ayuk rihlah ke Turki, Oak,” ujar saya bercanda, suatu ketika.

“Oak” adalah sapaan sayang dari para “manula” –staf Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PKS di masa beliau menjadi ketua, untuk dirinya. Tak ada yang tahu makna istilah Oak ini, kecuali para “manula”. Dalam obrolan di grup whatsapp, kami memanggil beliau sebagai Oak.

 

Di ruang sebelah, hampir setiap saat ramai persiapan rihlah ke Turki. Di ruang Oak, sepi-sepi saja. “Jadi, kapan kita ke Turki, Oak?” tanya saya berkali-kali, setiap mendengar kabar dari ruang sebelah ada pemberangkatan ke Turki lagi.

 

***

Ketua MPP termasuk jabatan tinggi di organisasi. Namun ia tidak pernah merasa tinggi. ia tidak pernah meminta –apalagi menuntut-- fasilitas atau back up materi. “Kita sudah cukup semua, dengan doa ibu,” ujarnya senantiasa.

 

Suatu ketika, saya menemani beliau menghadiri acara Rakernas organisasi di Medan. Beliau menginap di hotel yang sama dengan pimpinan lainnya, namun beliau tidak mau mendapatkan perlakuan istimewa. Beliau tidak ingin mendapat pengawalan atau pengamanan, karena merasa selalu aman.

 

Saat akan berangkat menuju lokasi acara, ia mengajak saya berjalan kaki saja, karena lokasi acara tidak jauh dari tempat menginap. Saya senang banget dengan ajakan ini. Benar-benar gue banget.

 

Sesampai di loby hotel, rupanya tengah ada kesibukan protokoler untuk para pimpinan organisasi. Banyak petugas sedang ‘mengamankan’ area sekitar loby. Dua buah mobil sudah menunggu di depan loby. Tim pengamanan membuat pagar barikade yang akan dilewati pimpinan organisasi, menuju mobil.

 

Ia mengajak saya menepi, agar tidak ikut dalam protokoler tersebut. Saya makin happy. Kami berdiri dengan posisi agak jauh dari lokasi pengamanan.

 

Para petugas pengamanan itu, tak ada yang mengenalinya. Kami berdua ikut menyaksikan para pimpinan organisasi yang berjalan menuju mobil di depan loby. Setelah mobil bergerak, barikade membubarkan diri.

 

Kami berdua lewat dengan damai. Berjalan kaki hingga lokasi tempat acara berlangsung. Sesampai lokasi acara, ia segera menempati tempat duduk yang telah dipersiapkan untuk pimpinan.

 

Peristiwa seperti ini bukan hanya sekali dua kali. Beberapa kali dalam acara nasional, ia memilih sikap tidak menggunakan protokoler. Ia enjoy dengan cara ini.

 

Saat acara Rakernas Jogja, ia tersenyum-senyum melihat pengamanan dan pengawalan yang demikian ekstra. “Saya ikut kejengkang kena tangan pengawal,”  ujarnya, bercanda. Karena ia berada di kerumunan massa, bukan di area eksklusif yang sudah disiapkan oleh para petugas keamanan untuk para pimpinan.

 

Ia enjoy dengan posisi itu, menikmati gaya apa adanya.

 

“Mengapa Oak tidak mau diperlakukan dengan pengawalan seperti itu?” tanya saya.

“Kita kan cuma bermodal doa ibu, tak ada yang perlu diamankan dari kita,” ujarnya.

 

***

 

Di zaman ia menjadi Ketua MPP, di ruangan selalu ada dua kaleng kerupuk. Beliau termasuk pecinta kerupuk. Saya suka-suka saja kerupuk, namun tidak mengharuskan ada kerupuk setiap kali makan.

 

Suatu hari kami makan nasi bungkus di ruang MPP. Dalam box nasi tersebut ada lauk kerupuk, tersaji pada bungkus plastik kecil. Saya tidak memakannya, karena ada lauk lain yang sudah mencukupi. Selesai makan, box nasi segera saya taruh di bawah meja sebelah, tempat menaruh “sampah” usai makan.

 

Rupanya ia tahu bahwa saya tidak menyantap kerupuk tersebut. “Kerupuk Pak Cah tadi tidak dimakan?” tanya ia.

“Nggak, Oak,” jawab saya.

“Sekarang di mana kerupuknya?” tanya ia.

“Masih ada di box nasi, tapi boxnya sudah terlanjur saya taruh di bawah meja sebelah,” jawab saya. Semua tahu, benda di bawah meja itu berarti sudah sisa.

“Ah, mubadzir itu,”  ujarnya sambil berjalan menuju meja sebelah.

Ia mengambil box nasi yang sudah saya tempatkan bawah meja. Box dibuka, dan dengan cuek ia mengambil kerupuk yang masih utuh terbungkus dalam plastik. Iapun memakan kerupuk itu sebagai lauk.

 

Seorang pemimpin organisasi yang sangat bersahaja dan rendah hati. Tidak melakukan pencitraan. Tidak gengsi melakukan tindakan yang bisa dilakukan sendiri.

 

***

 

Hari ini kami sangat berduka. Sahabat sederhana, bersahaja, dan apa adanya itu telah dipanggil menghadap Ilahi Rabbi. Beberapa waktu yang lalu ia terkonfirmasi positif Covid-19, sementara dirinya memiliki faktor komorbid. Kondisi kesehatannya makin memburuk di ruang isolasi.

 

Berbagai upaya media telah diupayakan, namun Allah yang Maha Rahman lebih mengasihi dirinya. Ia dipanggil menghadap Allah dalam kondisi istiqamah di jalan dakwah yang sangat dicintainya.

 

Kami sangat sedih karena selama dirawat di rumah sakit, tidak bisa menjenguknya, karena protokol Covid-19. Pun di saat pemekamannya. Kami hanya bisa mengantar dan mendoakan dari kejauhan.

 

Namanya Untung Wahono bin Sumiyar Reksoatmojo. Lahu al Fatihah. Semoga Allah mengampuni dan merahmatinya. Aamiin.

 

 

Yogyakarta, 27 April 2021

Posting Komentar

0 Komentar