Rujuk kepada Allah



Oleh: Irsyad Syafar

Di antara tujuan Allah SWT menurunkan berbagai ujian (bala) kepada hamba-hambaNya adalah agar mereka kembali (rujuk) kepada Allah. Hal itu karena Dia mencintai hambaNya dan sayang kepada mereka. Dia menguji mereka agar ujian tersebut menjadi penyebab mereka taubat dan kembali kepada Allah. Sehingga kemudia mereka menjadi selamat dari siksa neraka.

Dalam surat Al A’raf Allah SWT berfirman:

وَقَطَّعْنَٰهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ أُمَمًا ۖ مِّنْهُمُ ٱلصَّٰلِحُونَ وَمِنْهُمْ دُونَ ذَٰلِكَ ۖ وَبَلَوْنَٰهُم بِٱلْحَسَنَٰتِ وَٱلسَّيِّـَٔاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Artinya: “Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS Al A’raf: 168).

Maksudnya Allah menguji manusia dengan kemudahan dan kesulitan dalam kehidupan agar mereka mau kembali taat dan patuh kepada Allah. Dan ujian tersebut tidak mesti berupa kesusahan terus. Kadang kala ujian itu berupa kesenangan dan kemudahan hidup. Apabila seseorang tidak rujuk kepada Allah karena ujian kesenangan, maka akan diuji dengan kesusahan.

Dalam surat Ar Ruum Allah Ta'alaa berfirman:

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Artinya: ” Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar Ruum: 41).

Dalam Tafsirnya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa maksudnya (kerusakan) adalah kekurangan tanam-tanaman dan buah-buahan akibat perbuatan maksiat. Abul ‘Aliyah menyatakan, “Barang siapa yangbermaksiat kepada Allah sesungguhnya ia telah membuat kerusakan di muka bumi. Sebab, kebaikan di bumi dan di langit adalah dengan ketaatan.”

Dalam surat As Sajadah Allah Ta'alaa menyatakan:

وَلَنُذِيقَنَّهُم مِّنَ ٱلْعَذَابِ ٱلْأَدْنَىٰ دُونَ ٱلْعَذَابِ ٱلْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS As Sajadah: 21).

Adzab adna adalah adzab di dunia. Sedangkan adzab akbar adalah adzab di akhirat kelak setelah hari kiamat. Dan Allah menyebutkan di ayat ini bahwa Dia akan merasakan sebagian siksa di duni bagi hamba-hambaNya yang bermaksiat, sebelum datangnya siksa akhirat. Tujuannya adalah agar mereka mau kembali ke jalan yang benar.

Begitulah diantara tanda-tanda kasih sayang Allah kepada hamba-hambaNya. Sebelum datangnya siksa yang berat lagi pedih, Dia kirimkan peringatan-peringatan kecil agar manusia mau tersadar dan kembali kepada ajaran Allah. Dan tanda seorang hamba telah kembali kepada Allah adalah kesadaran telah berbuat dosa. Kesadaran inilah yang menjadi pilar utama dalam mengawali rujuk kepada Allah, yaitu bertaubat kepadaNya.

Namun sebagian manusia ada yang telah mengalami kehilangan kesadaran tersebut. Sehingga ia mengalami kondisi yang dinamakan dengan “tidak merasa berdosa”. Matinya rasa berdosa ini disebabkan oleh beberapa kondisi:

Pertama: Akrab dengan kemungkaran (Ulfatul manakir)

Penyebab hilangnya rasa berdosa adalah karena akrabnya dengan kemungkaran. Hal itu terjadi karena sudah sangat sering melalukan dosa, sehingga menjadi akrab dan biasa. Ilustrasinya adalah bagaikan makhluk-makhluk Allah yang sangat besar seperti langit dan bumi. Kedua makhluk ini tidak dianggap lagi sebagai makhluk yang besar dan agung. Sebab, sudah terlalu sering melihat dan berinteraksi dengannya. 

Begitu juga bulan dan matahari, dianggap biasa-biasa saja. Karena sudah sering melihatnya, setiap hari selalu berjumpa. Padahal keduanya adalah makhluk Allah yang luar biasa. 

Kurang-lebih, dosa dan maksiat juga seperti itu. Seseorang yang sudah terbiasa melakukan sebuah doa, tidak lagi merasa berdosa. Hati dan dirinya tidak lagi mengingkari kesalahan tersebut. Orang yang terbiasa berbohong, tidak merasa berdosa lagi saat berbohong. Yang biasa berkata kotor, tidak risih mengucapkannya. Salah seorang ulama menyatakan: “Saya tidak terlalu cemas dengan banyaknya jenis dosa dan kesesatan. Yang saya khawatirkan adalah ketika hati kita akrab dengannya. Sebab, sesuatu yang berulang-ulang dilakukan, akan menjadi akrab (dekat) di hati.”

Kedua: Akrab dengan adzab (Ulfatul 'uqubah)

Ini lebih berbahaya lagi dari pada akrab dengan kemungkaran. Yaitu ketika seseorang sudah tak merasa lagi dia lagi disiksa (dihukum) Allah gaga-gara dosa yang dilakukannya. Sehingga kemudian ia menikmati situasi tersebut. Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Tanbihul Ghaafilin menyatakan: “Ketahuilah, bahwa ujian yang paling besar adalah merasa aman setelah berbuat dosa. Karena biasanya hukuman itu datangnya belakangan. Dan hukuman terbesar adalah ketika tidak merasa dihukum.”

Contoh dari kondisi ini adalah seperti orang yang sulit shalat shubuh tepat waktu alias selalu kesiangan. Itu berlangsung berhari-hari bahkan sampai hitungan bulan. Sehingga kemudian ia akrab (nyaman) saja dengan dosa ini. Padahal, tidak shalat shubuh tepat waktu dalam jangka lama,  itu sudah mulai masuk katagori hukuman dan siksa. Bukan sekedar dosa saja. Para generasi awal umat ini dahulunya mereka saling menjenguk bila ada salah seorang diantara mereka yang “bolos” dari shalat berjamaah. Mereka menganggapnya itu sebagai sebuah penyakit (sedang dalam kondisi sakit).

Bahkan para salafush shaleh (orang-orang shaleh generasi awal), hati mereka sangat sensitif. Mereka bukan saja cemas terhadap dosa dan maksiat. Malah mereka berada pada level cemas terhadap amal shaleh mereka. Imam Hasan Al Bashri dalam kitab Al Fawaid menyatakan: “Aku berjumpa dengan kaum yang mereka lebih zuhud kepada yang halal melebihi zuhudnya kalian terhadap yang haram. Dan aku telah jumpai kaum yang mereka sangat cemas amal shaleh mereka tidak diterima Allah, melebihi kecemasan kalian terhadap dosa-dosa kalian.”

Sesungguhnya rujuk kepada Allah dan jalan yang benar, membutuhkan hati yang terjaga dan sadar. Kesadaran itulah yang akan medorong kita untuk segera bertaubat dan kembali kepadaNya. Wallahu Waliyyut Taufiq.

(Dari kitab: Adabul Bala, Abdul Hamid Al Bilaliy).

Posting Komentar

0 Komentar