Paradigma Perikanan Indonesia Untuk Kesejahteraan Rakyat (Catatan RDP Bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan)


Negara Indonesia adalah negara  ironi, kenapa? Negara kita didominasi oleh laut, yang terkenal sebagai bangsa bahari. Tapi, terkenalan itu hanya menjadi sebuah cerita indah turun-temurun. Bahkan ada cerita "Nenek moyangku seorang pelaut" dan lain sebagainya.

Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki laut, yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km 2. Negara maritime ini mempunyai potensi serta keanekaragaman sumber daya kelautan dan perikanan, yang sangat besar. Hal ini merupakan modal besar bagi pembangunan ekonomi, serta dapat dimanfaatkan untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat.

Luasnya lautan Indonesia ini, menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara produsen perikanan terbesar di dunia. Total produksinya 23 juta ton/tahun dengan rincian 6,5 juta ton disumbangkan oleh sektor perikanan tangkap, dan sekitar 17 juta disumbangkan oleh perikanan budidaya.

Kita punya kekayaan laut, yang sebenarnya mampu didayagunakan sebagai modal pembangunan guna mencapai kemajuan ekonomi di negara kita. Kenapa saya katakan ironi? Karena orientasi pembangunan selama ini,kita hanya berfokus pada pembangunan darat,sehingga hal ini mengakibatkan politik anggaran, kemudian payung hukum kita, masih belum berpihak kepada rakyat.

Dalam catatan Fraksi PKS DPR RI, gambaran pendapatan domestik bruto kita yang berasal dari sektor laut baru sekitar 3,7%. Padahal negara kita sebagai negara produsen total produksi ikan 23 juta ton pertahun. Rinciannya 6,5 juta ton disumbangkan dari sektor perikanan tangkap, dan 17 juta disumbangkan dari sektor perikanan budidaya.

Tetapi kita juga punya beberapa persoalan, berikut ini catatan saya. Pertama, tata kelola kelembagaan, dan pengendalian mutu. Di dalam UU 21/2019 Tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan seperti, yang diamanahkan untuk pembentukan Badan Karantina dalam UU No 12 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Revisi UU 31 tahun 2004 sebelumnya tentang Perikanan,menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, meminta dan memfasilitasi usaha perikanan agar memenuhi standar mutu hasil perikanan.

Berdasarkan kedua peraturan perundangan tentu saja akan memberikan konsekuensi adanya pemisahan antara pengendalian mutu hasil perikanan, dan karantina yang dulunya di bawah BKIPM (Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan), di mana Karantina akan menjadi Badan Karantina Nasional. Sedangkan Pengendalian Mutu dan Kemanan Hasil Perikanan tetap berada di KKP.

Melalui fakta ini, kami mempertanyakan gambaran utuh kepada KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) terkait dengan uji mutu hasil penangkapan ikan. Dalam catatan saya, di Maluku uji mutu ikan diambil dari Maluku,kemudian dipindahkan ke Sorong.Saya ingat betul waktu menjadi angota DPRD Provinsi, masa itu anggaran kita terkoreksi di APBD sekitar 12 M, karena harus uji mutu perikanannya dipindahkan ke Sorong. Beberapa provinsi juga demikian, saya tidak tahu kenapa demikian. Alasan pemborosan anggaran itulah, sehingga permintaan daerah agar dikembalikan ke Maluku.

Kita ketahui bersama, pemerintah pusat telah menetapkan beberapa kewenangan soal zonasi daerah tangkap 12 mil kelaut menjadi kewenangan pusat. Dibawahnya itu 12 mil kedarat jadi kewenangan provinsi.

Berapa banyak kapal-kapal yang datang ke daerah-daerah fishing ground ini. Kita punya catatan ada 1650 kapal di Kepulauan Aru. Kapal-kapal Cantrang tersebut datang dengan jaring pukat harimau untuk menangkap ikan,sehingga tidak tersisa ikan-ikan didarat yang akan ditangkap oleh nelayan pun ikut raib. Perihalkedatangan kapal-kapal ini, kita belum tau.

Catatan kedua yaitu bidang ekspor. Kita sedikit ekspor, impor kita besar. Ini menjadi catatan kritis. Berapa sih jumlah kapal ikan kita di Indonesia ? Berapa jumlahnya yang berbendera Indonesia, ownernya Indonesia, tenaga kerjanya Indonesia, uji mutunya dan bongkar muatnya, serta pengolahnnya di Indonesia.

Jangan kita balik kapalnya berbendera Indonesia, ownernya asing kemudian tenaga kerjanya asing, uji mutunya dilakukan diluar atau bahkan diIndonesia mungkin. Tetapi kapal-kapal ini hanya ganti bendera, karena ownernya itu asing. Merekamenangkap di Indonesia, kita melegitimasi mereka untuk izin impo,r yang kita atur di sini. Hal ini seperti akal-akal "beli kucing dalam karung".

Berikutnya,tentang data yang disajikan KKP,dalam neraca prodak perikanan terlihat presentasi ekspor impor beda sekali. Misalnya, Tuna Cakalang 47,6 persennya kenapa harus impor? Apa  kurangnya kandungan laut Indonesia ini? Kemudian, kita mengimpor dari Nederland, dan mengekspor hanya di negara-negara ASEAN. Nah ini tata kelolanya bagaimana? Kadang persoalan logistik biaya untuk dalam negeri lebih mahal daripada keluar negeri.

Soal rumput laut juga menjadi catatan kami. Persoalannya adalah jaminan pasar, masyarakat sering menanyakan bagaimana ketersediaan pasar, bibit unggul dan juga pendampingan. Selama ini memang banyak bantuan, dan ada juga bantuan dari KKP tetapi bantuannya masih sistem charity, abis bantuannya selesai habislah tanggung jawab masyarakat setempat.

Padahal, di dinas kabupaten atau dinas provinsi juga ada bantuan-bantuan seperti itu. Jadi masyarakat tidak mandiri, sehingga keberlanjutan dari upaya-upaya dari UMKM akan kita bentuk nantinya.

 

Oleh: Saadiyah Uluputy, ST

Anggota DPR RI Fraksi PKS

Posting Komentar

0 Komentar