Impian Jadi Driver Ambulans Akhirnya Terwujud



Jarak rumah saya dengan SMP sekitar 12 kilometer. Untuk menghemat biaya transport oleh orang tua disiapkanlah sepeda.  Menghemat ongkos bis Rp.200 per hari sangat berarti bagi keluarga kami pada waktu itu. 

Perlu waktu sekitar satu jam perjalanan sampai ke sekolah dengan bersepeda. Lumayan berat jika perjalanan pulang. Terik matahari dan tiupan angin yang kencang  membuat kayuhan sepeda terasa berat. Ditambah lagi tenaga sudah terkuras untuk belajar seharian.


Suatu ketika pernah rantai sepeda putus di tengah jalan. Sedangkan uang tidak ada sama sekali untuk perbaiki sepeda di bengkel. Terpaksa menuntun sepeda lebih dari 10 kilometer ke rumah.


Pengendara sepedalah yang paling lambat dan harus mengalah dengan kendaraan bermotor lainnya.

Pernah berangan-angan nanti kalau dewasa bisa bawa ambulans. Dengan sirene dan lampu rotare di mobil bisa melaju dengan cepat dan semua kendaraan minggir memberi jalan. 


Setelah 30 tahun berlalu, impian itu akhirnya bisa dirasakan juga. Sore ini menjadi  driver pengganti karena driver ambulans berhalangan. Mengantarkan jenazah ayah dari sahabat ke pemakaman. Sirene distel ke volume maksimal, plus lampu rotare diatas ambulans dinyalakan. Dua sepeda motor di depan membantu mengurai padatnya jalan menjelang waktu berbuka. Mobil ambulans melaju dengan kencang ke pemakaman.


Bukan seperti yang saya bayangkan dulu waktu masih SMP. Bangga menjadi raja jalanan dan semua kendaraan minggir memberi jalan. Bisa menerobos lampu merah dengan bebas.


Di  ambulans ikut larut dalam suasana duka keluarga yang ditinggalkan. Suara sirene seperti menusuk-nusuk perasaan. Berpikir seandainya saya yang diantar ke pemakaman. Terputus dengan dunia dan bersiap menjawab pertanyaan malaikat munkar dan nakir.


Semoga kematian orang lain menjadi alarm penguat keimanan kita.




Jujun Donggala

Sulawesi Tengah


Posting Komentar

0 Komentar