“Sueer Saya Bingung, Gak Ngerti Jalan Pikir Teroris Menyebalkan!”



Senin malam, 29 Maret 2021, seorang teman Jurnalis kirim ‘wapri’ (WA pribadi) ke nomer WhatsApp saya, isinya berupa berita hasil liputannya tentang peristiwa penggerebegan terduga teroris di Kelurahan Cireundeu, Kota Tangerang Selatan dengan judul ‘Saat Ditangkap Densus, Terduga Teroris di Tangsel Pakai Kaus Bertuliskan "Kami Oposisi".’ Judulnya cukup mengerutkan dahi, khususnya dengan kalimat “Kami Oposisi.”

 

Lalu saya langsung balas pesan WhatApps tersebut dengan kalimat bercanda: “Hmmm...Teroris ngaku oposan, tapi kenapa yang di bom kok gereja? Mengapa kaum oposan beroposisi ke gereja? Apakah gereja punya kekuasaan? Aneh aneh aja ya ulah teroris.”

 

Tak seberapa lama kemudian, jurnalis senior tersebut langsung membalas, “Iya bener mas. Hehehe...”

 

Dari jawaban akhir kalimat dengan nada “hehehe” tersebut, saya tafsirkan bahwa, seolah teman jurnalis senior ini sedang mentertawakan kejanggalan peristiwa penggerebegan terduga teroris tersebut: Apa hubungannya pengeboman gereja dengan oposisi? Apakah yang terpikirkan dalam benak para begundal teroris tersebut bahwa lawan utama kaum oposan adalah pihak gereja, sehingga gedung-gedung megah Gejera menjadi sasaran utama? Hmmm.

 

Entah apa maksud dan pesan yang ingin disampaikan ke publik perihal kaos “Kami Oposisi” terduga teroris ini. Yang jelas apa yang telah dilakukan para teroris menyebalkan ini adalah salah kaprah. Setidaknya ada dua hal kesalahan pemahaman mereka.

 

Pertama, Kesalahan dalam Memahami Arti Oposisi.

Istilah oposisi yang dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti, “partai penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa” ini tidak dikenal dalam kamus pertentangan agama-agama.

 

Pemicu perang agama dikarenakan rasio ekstrim dengan ambisi berlomba-lomba merasionalkan agama sebagai cara menunjukkan superioritas dalam diri agama masing-masing baik secara individu maupun kelompok, sehingga memunculkan gesekan sosial yang terus terjadi dalam kehidupan masyarakat, karena dari situlah muncul keinginan sebagai individu maupun kelompok yang paling kuat di antara satu sama yang lain. Jadi jelas tidak tepat, menggunakan narasi “Kami Oposisi” untuk merefleksikan permusuhan antar agama dengan mengebom tempat ibadah agama tertentu.

 

Karena konsep oposisi hanya dikenal dalam kamus pemerintahan atau politik. Di negara-negara penganut demokrasi, kaum oposan (parpol, publik/ rakyat) menjadi variabel yang sangat dibutuhkan untuk mengontrol perjalanan dan pertanggungjawaban pemerintah dalam mengelola negara agar tidak melenceng dari koridor konstitusi.

 

Jadi, jangan kotori istilah suci oposisi dengan perbuatan biadab kalian. Jangan cemari perjuangan kaum oposisi yang menggunakan jalur konstitusi dalam menyampaikan aspirasi publik.

 

Kesalahan Pemahaman Dalam Beragama

Agama apapun tidak mengajarkan dan membenarkan tindakan biadab, kalau masih ada yang memaksa menyeret-nyeret agama tertentu dengan tindakan terorisme jelas penggiringan opini yang prematur tapi dipaksakan ke publik sebagai sebuah kebenaran.

 

Saya sepakat dengan statemen Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang dikutip Kompas.com (28/03) bahwa "Dalam perstiwa ini tidak ada kaitannya dengan agama apapun. Ini adalah teror.”

 

Senada dengan itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah , Haedar Nashir meminta agar seluruh pihak tidak mengaitkan aksi bom bunuh diri di depan Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan, dengan agama apapun. Ia menduga aksi bom bunuh diri itu justru adalah bentuk adu domba.

 

Partai Politik juga bersuara seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang diwakili oleh Hidayat Nur Wahid, Anggota DPR RI melalui akun twitternya @hnurwahid "Siapapun pelakunya, apapun motifnya, peledakan bom di depan Gereja Katedral Makassar itu, jelas tidak dibenarkan. Islam dan Agama apa pun mengharamkan perilaku teror seperti itu. Penting diusut tuntas dan terbuka, agar tak terulang, dan agar tak jadi fitnah.”

 

Semua pihak yang masih punya hati nurasi jelas menyatakan bahwa tindakan terorisme itu musuh kemanusiaan. Dan ajaran agama itu welas asih, mengajarkan kedamaian, memanusiakan manusia.

 

Kalau jalur konstitusi masih terbuka lebar di negeri ini untuk memperjuangkan ide dan gagasan, buat apa berjuang dengan cara destruktif dan konyol (mengebom dan menghalalkan segara cara)?

 

“Kita mengajak generasi muda untuk melakukan perubahan di Indonesia yang merupakan negara hukum dengan perjuangan konstitusional nir kekerasan. Bisa dengan bergabung partai politik, organisasi kemasyarakatan, NGO (Non Government Organization), dan lain-lain,” seru Presiden GEMA Keadilan, Dr. Indra Kusumah.


Banten, 30 Maret 2021

Cita Galib Raharja

Posting Komentar

0 Komentar