Sudah
mafhum bahwa banyak dari kita ingin diet. Mulai dari anak kecil—biasanya karena
orang tuanya mengganggap si anak perlu diet—hingga orang dewasa sekalipun.
Lalu, ketika kita melakukan diet, apa yang sedang kita pikirkan? Umumnya, yakni
mengurangi porsi makan, tidak makan nasi sama sekali serta berbagai upaya yang
salah satunya adalah mengikuti program diet agar fisik ini berubah ke bentuk
idealnya.
Uniknya,
mengilmui beberapa program diet ini bukan untuk membandingkan program diet mana
yang lebih menyehatkan, melainkan mana yang lebih cepat menurunkan berat badan.
Apalagi program diet yang dilakukan tanpa harus olahraga, seringkali ini yang
lebih disukai. Memang banyak yang berhasil, namun tidak jarang juga ada yang
harus mencoba beberapa program karena tak kunjung mendapat perubahan yang
signifikan.
Jelas, diet
itu sesuatu yang sah-sah saja, sejauh tidak menyentuh hal-hal yang dilarang
dalam Islam. Bahkan boleh jadi sangat dianjurkan jika banyak membawa manfaat
bagi kehidupannya, seperti lebih berkonsentrasi dalam bekerja, lebih berkhidmat
pada negara, apalagi menjadi lebih khusyuk dalam beribadah. Manfaat untuk dapat
membawa kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain ini yang patut dijadikan
tujuan ketika melakukan diet. Ya, meluruskan niat selalu menjadi poin penting
dalam setiap aktivitas kita.
Banyak yang
melakukan diet tapi lupa menata mindset ‘pola pikir’. Dalam artian,
tidak mempersiapkan tentang apa yang mestinya dilakukan untuk menjaga kesehatan
selama diet agar badan tidak loyo, bahkan tentang bagaimana menjaga tubuh
ketika kelak diet yang dilakukan sudah berhasil.
Bukankah
sering terjadi ketika seseorang mengikuti program diet, tapi keberhasilannya
tidak berlangsung lama, alias berat badan kembali seperti semula? Dan juga
banyak yang melakukan cheating (tidak menjaga asupan yang masuk ke dalam
tubuh) ketika menjalani program diet, sehingga alih-alih berhasil, hanya
menghabiskan waktu untuk mengikuti berbagai program diet. Di sinilah mindset
itu sangat memiliki pengaruh dalam segala rangkaian proses diet.
Hanya untuk
memetik hikmah dari “keinginan diet” sudah hadir lima paragraf. Lalu, harus
menyusun berapa paragraf untuk menceritakan sekaligus membenahi dengan memberi
inspirasi untuk sebuah kondisi masyarakat yang dirasa tidak ideal?
Tapi sebelumnya, apakah benar tulisan bisa mengubah sebuah struktur kehidupan masyarakat?
Jangan
pernah sekali-kali meremehkan gagasan yang dituangkan dalam sebuah tulisan. Pertama,
risalah yang diturunkan kepada Rasulullah ï·º
untuk disampaikan kepada umat manusia adalah bukti “keganasan” dari hadirnya
sebuah tulisan. Betapa dahsyatnya para sahabat di kala Rasulullah ï·º menyampaikan
satu demi satu ayat-ayat “gagasan” dari Allah ï·º
untuk merubah struktur kehidupan di Jazirah Arab kala itu. Tidak butuh waktu
lama bagi muslimin untuk mendakwahkan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Hanya butuh
30 tahun bagi Islam untuk dapat menguasai 2/3 dunia. Bahkan dua imperium besar
di masa itu, Romawi dan Persia, takluk kepada Islam.
Kedua, Theodor Herzl “Bapak Rohani Negara
Yahudi”. Ialah tokoh utama gerakan Zionisme. Awalnya, ia dianggap gila dengan
ide yang ia usung itu, bahkan orang-orang Yahudi sendiri yang mengatakan itu.
Tapi singkat cerita, setelah ia tiada, bukunya “Der Judenstaat” (dalam bahasa
Indonesia artinya Negara Yahudi) yang dijadikan pegangan oleh orang-orang
Yahudi untuk terus mewujudkan cita-cita Theodore Herzl sekaligus cita-cita
mereka juga. Penindasan terhadap kaum Yahudi yang menyebabkan ia menuliskan gagasan
pada buku itu; keinginan kuat untuk mendirikan negara bagi kaum Yahudi saja.
Rumusnya
sederhana saja, guna menuju sebuah perubahan maka dibutuhkan kesadaran terlebih
dahulu. Adalah, Dr. Majid Irsan al-Kilani (keturunan Syaikh Abdul Qadir
al-Jilani) yang membagi tiga untuk meninjau kondisi masyarakat yang ada. Bila digambarkan,
jadi seperti ini,
Gambar
paling kiri dari pembaca:
Adalah, masyarakat sehat. Pemikiran menjadi pusatnya, dengan didukung oleh manusia dan
materi. Keduanya dibaktikan untuk mendukung sebuah ideologi; manusia
mencurahkan daya upayanya untuk sebuah pemikiran; materi pun dialokasikan untuk
sebuah pemikiran. Sebagai contoh, ada sebuah pemikiran bahwa ilmu itu suatu hal
yang penting. Maka, semestinya masyarakat yang ada berfokus pada ilmu, atau
maksudnya, totalitas dalam mencari ilmu. Tidakkah kita mengingat dan
berkali-kali melafalkan—yang mungkin seringkali tidak sadar—doa meminta ilmu sedari
kecil?
Gambar tengah:
Adalah, masyarakat sakit. Manusia menjadi pusatnya. Ia didukung oleh materi dan pemikiran.
Aturan agama, secara tidak sadar atau bahkan sadar, dibelokkan demi tercapainya
keinginan manusia. Menyebabkan terjadinya praktek-praktek menyimpang seperti
sedekat laut, puasa putih hanya makan nasi putih di hari tertentu, ataupun
berdalih seolah-olah wali Allah ï·» tidak perlu shalat lagi. Padahal, Rasulullah ï·º merupakan wali Allah ï·» terbaik,
dengan khusyuknya beliau melaksanakan shalat hingga bengkak kedua kakinya.
Apatah lagi kita yang mengaku umat beliau ï·º.
Gambar paling kanan:
Adalah, masyarakat sekarat. Materi menjadi pusat perhatian yang didukung oleh manusia dan
pemikiran. Kalau kita bahasakan secara umum, memuja materi. Titik puncak
kebahagiaan hanya tertuju pada suatu barang; tenaga dan pikiran dikerahkan
hanya untuk mendapatkan barang tersebut. Padahal seringnya, saat belum
memiliki, begitu getol ingin dalam mengupayakan. Namun setelah didapat, terasa
biasa saja. Patutlah hati-hati pada kondisi seperti ini, sebagaimana sabda Nabi,
“Celakalah hambanya dinar (uang).”
Mari jujur
pada diri sendiri. Muhasabah (introspeksi diri) setiap saat sangatlah penting
untuk menghilangkan benih-benih kesombongan, ketamakan, dan segala sifat yang
dibenci oleh-Nya dalam diri. Tidak akan pernah berarti hidup kita jika masih
ada kesombongan walaupun sebesar biji zarah. Bagaimana mau membangun peradaban
yang maju, sementara masyarakatnya masih dalam kemunduran?
Oleh: Maulana Helmi W./Malang
0 Komentar