Draft Peta Jalan Pendidikan kok Mengkudeta Agama?



Setahun sudah banyak dari kita 'Di Rumah Aja' akibat pandemi Covid-19 melanda dunia. 12 Maret mendatang genap setahun bagi saya menjalani Belajar Dari Rumah (BDR). Selama setahun itu pula banyak hal kita jalani. Banyak hal baru dalam kurun waktu itu. 


Teranyar kita mungkin semakin terbiasa mendengar dua istilah ini yaitu kudeta dan dosa. 


Jika kudeta identik dengan partai Demokrat, dosa identik dengan Mendikbud. Bukan berarti Mendikbud banyak dosa. Tapi belakangan pendiri Gojek ini mengatakan bahwa ada 3 dosa yang masih ada di ranah pendidikan. 


Isu kudeta menghantam partainya SBY. Isu ini menyeruak sejak Januari 2021. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) melempar wacana ada 5 kader partai Demokrat yang akan mengkudetanya dari pimpinan partai. 


Meskipun, AHY juga tak menyebutkan nama-namanya. Sekilas ini mirip permainan waktu kecil dulu,

"Aku tahu orangnya, tapi emoh ngomong".


Jadi bikin penasaran. Kalau tahu, kenapa tak bilang langsung. Kalau begini kan jadinya bola panas. Dilempar kemana-mana. Jadi saling menduga-duga, tentu untuk kader partai itu. 


Kalau kader partai lain, ya ngapain repot-repot mikirin. Urusan internal partai lain cukup diambil hikmahnya. 


Puncak dari isu kudeta ini adalah Kongres Luar Biasa (KLB) partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara. KLB yang digelar pada Jumat (5/3/2021) menghasilkan putusan memilih Moeldoko sebagai ketua umum partai Demokrat. Legalkah hasil KLB? Tentu saja legal, bagi pendukungnya. 


Bagi pendukung AHY, tentu saja KLB ilegal. Banyak yang meradang. Bahkan ada yang mau kirim santet segala.  


Ok, kita tinggalkan saja kudeta. Mari beranjak ke kata kedua yaitu dosa. 


Mendikbud Nadiem Anwar Makarim mengatakan ada 3 dosa yang masih terjadi di ranah pendidikan.


Pendiri Gojek itu mengatakan bahwa 3 dosa itu adalah intoleransi, kekerasan berbasis gender, dan bullying. 


Sebatas pendapat saya, dosa ini memang ada sejak dulu. Baik dalam praktik kecil maupun besar. Baik disengaja maupun tidak. 


Seperti apa yang tidak disengaja? Meng-anak emas-kan siswa bisa jadi praktik intoleransi. Kesamaan suku atau agama bisa menjadi pertimbangan guru dalam memberikan nilai, lho. 


Bahkan perbedaan ekonomi bisa menjadi alasannya. Bukan cerita omong kosong jika perlakuan sekolah akan berbeda saat menghadapi siswa kelas bawah dengan siswa kelas menengah ke atas. 


Mendikbud benar. Bahwa intoleransi ini ibaratnya sebuah dosa yang harus kita sadari dan jangan diulangi. 


Tapi praktiknya tidak mudah. Sebab seringkali praktik ini menjadi relatif. Di satu daerah bisa dianggap intoleransi, tapi tidak di daerah lainnya, padahal kejadiannya mirip bahkan serupa. 


Hm, dosa pendidikan. Saat pertama kali mendengar dua kata ini, saya mikir, "Ada dosa pendidikan. Ada juga lho dosa pemerintah yang hingga kini belum diperbaiki."


Salah satunya janji pemberantasan korupsi. Baru kemarin menteri Sosial dicokok KPK lantaran ngembat dana bantuan sosial untuk penanganan Covid-19. Dana bantuan saja ditilep. Apalagi....


Ah, sudahlah. Sebagai guru, yang berada di piramida paling bawah, saya hanya bisa wait and see. Termasuk dengan kebijakan anyar yaitu Peta Jalan Pendidikan 2020-2035. 


Bahwa ada kritik terhadap kebijakan ini lantaran tak memuat kata agama di dalamnya. 


Saya rasa perlu melihat secara utuh road map pendidikan ini. Meskipun sudah banyak pihak yang mengeluarkan pernyataan dan kecaman bahwa ada indikasi hilangnya kata agama di kebijakan tersebut. 


Hal ini sempat dijawab oleh Kepala Pusat Penguatan Karakter Kemendikbud, Hendarman bahwa,


"Agama sangat esensial bagi kita, bangsa Indonesia dan karenanya kami refleksikan pada profil Pelajar Pancasila. Kemendikbud tidak pernah berencana menghilangkan pelajaran agama. Pelajaran agama akan tetap ada.”


Namun, kita juga harus jeli, bahkan layak curiga, mengingat beberapa kebijakan pemerintah memang tak sejalan dengan kehendak rakyat. 


Masih ingat kan, belum lama ini presiden menganulir peraturan  tentang penanaman investasi minuman keras. Batalnya Perpres ini sangat kentara karena ada reaksi dari masyarakat. Kalau tidak, mungkin bakal jalan terus saja. Nah, bukan tidak mungkin hal ini terjadi juga pada Peta Jalan Pendidikan itu. 


Saat ini memang masih dalam rancangan. Belum final. Semoga hasilnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan bukan sekadar gagah-gagahan


Supadilah

Seorang guru

Posting Komentar

0 Komentar