[CERPEN] Sang Lurah dan Sang Guru

Ilustrasi

Hening di desa itu begitu nyenyak bersemayam di ranjang langit kala menemani malam. Jangkrik-jangkrik di ladang beradu teriak bersama umpatan riang katak di pesawahan, memecah gelap dengan ocehan-ocehannya. Kendaraan lalu lalang di jalanan masih kerap menderu, meski frekuensinya tak sesering empat atau lima jam sebelumnya. Hanya terdengar motor para tukang ojek masih berseliweran di waktu-waktu tersebut, itu pun mereka yang memang sengaja dikontrak atau disewa menjemput pulang warga-warga desa yang bekerja sampai larut malam di kota.

“Teng…!”

“Astaghfirullahaladzim! Sudah jam satu….!”

Seorang pria tampak tekejut. Walau cuma sekali berdentang, dia merasa seolah-olah jam tersebut berdentum keras bagai sebuah bom yang meledak, membumihanguskan sebuah rumah di Gaza oleh pesawat-pesawat Israel. Matanya kelu, memancarkan sinar ilusi seperti membentuk gumpalan bayangan di depan wajahnya, tentang nasib orang-orang Palestina yang tak seberuntung dia dan keluarganya, juga tak sebernasib warganya yang masih bisa tidur nyenyak ditemani para mimpi selaku anggota keluarga malam. Tiba-tiba dia teringat berita utama siaran Dunia Dalam Berita TVRI yang ditayangkan sebelum tengah malam tadi.

Nanar di kelopak matanya, tampak melirik jam yang berdentang di dinding serambi rumahnya. Teriakan jam itu membuat jantungnya serasa lebur diterjang misil F-16 Yahudi membumihanguskan bumi para Nabi. Pun matanya, lantas berair, perih bak terkena serpihan bom fosfor Zionis. Mereka memang kejam, pikirnya. Sebagai agresor kontemporer, mereka tak hanya menjajah bangsa Palestina, namun juga menjajah seluruh dunia terutama negara-negara berkembang dari berbagai bidang. Ekonomi, industri, politik, pertahanan keamanan, sosial, dan satu lagi, kebudayaan. Ya, kebudayaan!

Pikirannya langsung terngiang pada sebagian besar warganya. Hampir seluruh penduduk desa yang dia pimpin, kini semakin jauh meninggalkan adat dan tradisi kampung. Budaya ketimuran sudah menjadi barang bekas, bahkan langka. Anak-anak kecil lebih hafal nyanyian cinta orang dewasa daripada tetembang perjuangan bangsa, apalagi senandung dzikir dan shalawat, atau lantunan ayat suci.

Remaja dan pemudanya sudah keblinger, makin pintar mendirikan stan-stan seperti paha, pusar, dan dada untuk dipajang dalam galeri sebuah pameran hedonis. Rasa malu mulai terkikis, akibatnya desa itu tercatat sebagai daerah penghasil janin bayi mati. Padahal, prestasi terbaik pernah diraih desanya tahun lalu sebagai desa terkecil tersubsidi raskin karena rata-rata penduduk desa itu memang sejahtera.

Gumaman pria itu makin mengangkasa, membubung tinggi bersamaan dengan rembulan yang juga ikut menaik. “Orang-orang tuanya, idem ito, lebih tertarik dengan “sekolah” dan masuk dalam “kelas” untuk belajar hiburan, sinetron atau kontes-kontes audisi di televisi daripada menghadiri pertemuan desa apalagi majelis taklim,” dia terus bermonolog, ditemani secangkir kopi sebagai teman berbincang malam itu.

“Ah, ini karena ulah Yahudi yang menguasai banyak media-media cetak dan elektronik,” yakinnya dalam hati.

“Teng...!” Lagi-lagi hentakan suara jam mengagetkannya. Jam buatan Jepang itu akhir-akhir ini menjelma sebagai lawan bicaranya. Sudah lebih dari dua hari ini, di setiap malam pria lulusan STM itu setia menemani dentang demi dentang jam kuno warisan mendiang ayahnya. Selama itu pula, entah sudah berapa pack kacang garing dia habiskan. Entah berapa lamunan telah dilahapnya pula, sebagai kawanan keterjagaan dirinya dari tidur. Apalagi dia tak merokok! Baginya lebih penting menikmati asap kayu bakar di dapur-dapur warga, tinimbang menikmati asap rokok yang selama ini justru menjadi penghalang para bapak di desanya untuk menyekolahkan tinggi anaknya.

Kemudian terdengar suara pintu terbuka dari sebuah kamar yang tak jauh dari ruangan itu, ruangan yang disulap menjadi tempat perenungan. Seorang wanita berpakaian piyama putih menghampiri pria itu.

“Kang, ini malam ketiga kakang melamun terus. Sudahlah, kang! Lebih baik kakang tidur sekarang. Nggak ada gunanya memikirkan warga lagi. Lha wong wis diopeni sama kakang, mereka nggak sadar juga. Biarin aja lah!” setengah jengkel tersirat dari suara wanita itu.

Nong, percuma saja kalau kakang masuk kamar, kakang pasti nggak akan bisa tidur,” jawaban sang suami membuat wanita itu menyerinai, diam. Sementara suaminya melanjutkan perenungannya. Kedua jarinya tampak mulai mendekati kepala, lalu menyentuh kening, mengguratkan sebuah pemikiran. Sambil sesekali membuka halaman buku bacaan yang diharapkan mampu mengatasi persoalan yang tengah dihadapinya. Ghazwul Fikri, terlihat jelas judul buku itu.

“Sebagai pucuk pimpinan, kakang merasa bertanggungjawab atas semua yang terjadi di desa ini. Sampai saat ini kakang belum menemukan cara terbaik untuk merubah kondisi masyarakat. Sudah, kamu masuk kamar lagi sana!” pria itu pun meneruskan kontemplasinya.

Hingga keheningan telah terbangun dari ranjang langit, sementara malam bersiap tidur dan pagi menghabiskan keringatnya, mengembun dan membasahi tanah di desa yang subur itu, barulah pria tersebut akhirnya beranjak dari ruangan itu.

”Astaghfirulloh...Robbal Baroyyaa...Astaghfirullah Minal Khotoyyaa....” Sayup-sayup terdengar lantunan tarhim dan tadzkir saling bersahutan dari masjid desa serta beberapa masjid dan langgar di desa lain. Pria yang berkumis tebal dan berbadan tegap itu tampak berubah penampilannya. Wajah jawara bersanding dengan sorot mata umaro dipadukan dengan pakaian ulama yang dikenakan, seperti sorban dan kopyah haji, menambah jiwa kewibawaan pada dirinya.

Dia pun keluar rumah dan berjalan menyusuri subuh, mendekati asal suara tarhim yang bersahutan. Meski terlihat pucat akibat selalu terjaga selama tiga malam ini, sama sekali tak melenyapkan citra kebijaksanaan yang terpancar pada mimiknya. Gestur tubuhnya bersahaja, mewarnai senyum tipisnya apabila bersua dengan seseorang. ”Allahu Akbar..Allahu Akbar..!” suara adzan terdengar ketika langkahnya mendekati sebuah masjid.

* * * * * * * * *

Masjid itu terlihat sepi. Tampak hanya dua orang saja di dalam. Mereka tengah duduk bersila. Salah seorang kemudian berdiri dan keluar dari mihrab. Langkahnya sempat terhenti, saat menawarkan tangannya kepada pria lain yang masih bersila, tepat di barisan shaf terdepan, persis belakang imam sholat berdiri. Keduanya kemudian bersalaman, dan pria itu melanjutkan langkahnya menuju teras masjid. Pria itu kemudian membuka kantungnya dan menyalakan sebatang rokok sambil, lalu duduk santai di situ.

Tak lama kemudian, pria bersorban yang masih di dalam masjid, berdiri dan mulai keluar masjid juga. Di beranda masjid, dia menghampiri pria satunya yang tampak hendak pulang. Sebagai jama’ah terakhir yang keluar dari masjid dan satu-satunya makmum waktu itu, pria itu terlihat ingin membicarakan sesuatu. Ia terlihat buru-buru menyergap pria itu.

”Kang Jarkasih, gimana rencana saya kemarin? Kira-kira bisa nggak ya merubah kondisi warga kita?” nada setengah tinggi terucap dari pria berkumis itu diiringi remasan tangan tanda ia menahan langkah ”partner” shalatnya.

”Jangan Pak Lurah, saya pikir kalau bapak melakukan tindakan seperti itu, persoalan yang sedang kita hadapi nggak akan tuntas, malah menambah persoalan baru,” sergah pria itu sambil sesekali tengak-tengok ke halaman masjid.

”Lalu saya harus bagaimana? Apa mesti saya diamkan saja perilaku sebagian besar warga kita?” wajah tak puas terlihat dari mimiknya. Kumisnya yang tebal seakan bergerak-gerak memberikan kode penolakan pernyataan lawan bicaranya.

”Sebaiknya Pak Lurah sabar, mudah-mudahan tak lama lagi sebagian warga itu berubah. Apalagi kita sudah punya seorang anggota dewan. Yah, semoga saja dia mau dengar permintaan kita, lalu dengan kewenangannya bisa bersama-sama Pak Lurah membangun desa dan merubah akhlak dan perilaku warga.”

Angin kekecewaan pun menyibak pikirannya. “Kawan subuhnya” itu ternyata sudah dipengaruhi oleh seorang pejabat tinggi yang berasal dari desa sebelah. Satu-satunya anggota dewan asal kecamatan tersebut. Sang Lurah semakin bingung, sepertinya di desanya dia sudah tak punya kawan lagi. Padahal, Jarkasih selama ini dianggap tumpuan harapannya. Sebagai seorang muslim yang ta’at, Jarkasih memang menjadi panutan. Wawasan dan pengetahuan tentang Islam begitu luas. Maklum, lulusan pesantren modern di Jawa Timur. Pantas jika kemudian Jarkasih diangkat menjadi imam di masjid Desa itu.

“Berarti harapan saya tinggal satu orang lagi. Inilah satu-satunya cara yang tepat!” gumam Sang Lurah dalam hati seraya merelakan kepergian Jarkasih dari masjid.

Dia sendiri menganggap Jarkasih adalah korban hipnotis dari Bewok, seorang anggota dewan putra asli pribumi, yang sudah sering tebar pesona dengan memasang berbagai poster, spanduk bahkan baliho seantero desa, serta mendonasikan uangnya disumbangkan untuk beberapa kepentingan warga, termasuk menyumbang masjid desa sebesar lima juta, kemarin malam.

Jarkasih sepertinya memang tak mengetahui sama sekali bahwa Bewok kemarin sore “sowan” ke rumahnya, memaksa untuk meminta satu proyek desa dengan imbalan yang menggiurkan. Bagi Sang Lurah, hal itulah yang membuatnya jijik dan muak dengan Bewok. Belum lagi kalau dia teringat saat momen pemilu tahun 2004, setahun lalu. Saat itu Bewok mengintimidasinya untuk memobilisasi warga untuk mencontreng namanya di bilik suara. Segepok koper yang disodorkan untuknya waktu itu, menambah ketidaksukaan Sang Lurah terhadap anggota dewan itu.

* * * * * * * * *

Di suatu pagi tepat matahari seukuran tombak perang, waktu bagi sebagian besar warga Desa baru terbangun, tiba-tiba warga saling menyumpah serapah. Tak dinyana, mereka dikejutkan atas apa yang baru saja terjadi.

“Brengsek! Setan alas! Bangsat! Siapa yang menghancurkan TV saya?” pertanyaan yang dibumbui sumpah serapah itu lantang terdengar di hampir setiap rumah warga. Hampir semuanya mendapati televisi di rumahnya hancur, pecah berantakan seperti dipukul dengan palu, kecuali sebuah rumah yang memang dari dulu tak pernah memiliki televisi. Dan di antara puing-puing TV yang hancur itu terselip sebuah kertas bertuliskan ”Barang ini berbahaya karena ia adalah guru yang tak pernah marah!”

* * * * * * * * *

Rabu, 16 November 2020. Lima belas tahun telah berlalu. Di sebuah pos gardu, tampak belasan anak berkumpul. Anak usia SD dan SMP tampak hadir mendominasi, sedang asyik bermain di fasilitas umum (fasum) di salah satu perumahan. Perumahan ini dulunya adalah pesawahan luas di tengah desa, sebelum developer datang menggusur hijaunya. Ditemani mentari pagi yang baru saja menyeruak menembus waktu pagi, anak-anak itu seakan ceria dan senang di tengah jam sekolah yang harusnya mereka lalui.

Hampir semua anak itu mengenakan masker, meski duduk tetap saja tak berjarak. Semuanya tampak kompak dan displin, dalam waktu hampir bersamaan melakukan perintah gurunya masing-masing. Ya, kali ini guru-guru tersebut yang mendampingi sepanjang hari benar-benar mampu menguasai mereka. Satu persatu anak-anak itu menimpali ucapan sang guru, dan diikuti pula oleh temannya yang lain. Semua kepala anak-anak itu menunduk, dengan jari jemarinya sibuk memijit-mijit sebuah benda berbentuk kotak persegi panjang. Benda itu benar-benar dicengkram kuat oleh anak-anak itu.

“Yes, elu bego, gue yang menang. Hahaha...”

“Booyaah!”

Ah, kalah melulu...anjiiing! gue mau pindah ah maen ML.”

Udah sih, FF aja, gue masih penasaran nih toloool....!”

Itulah dialog-dialog pembelajaran saat itu bersama sang guru!


Serang, Maret 2021



* Lha wong wis diopeni : sudah dipedulikan
* Nong : Sebutan kesayangan orang Serang, sama seperti neng dalam bahasa Sunda.

Posting Komentar

0 Komentar