Terkenang Kisah Kotak Kosong dan Ibu-ibu yang Nggak Tahu Calon Wakil Rakyatnya



Sebagai anak rantau yang kurang lebih sudah enam tahun ini tinggal di Bekasi, saya pulang kampung untuk beberapa hal. Jika orangtua sakit, ada haflah anak-anak madrasah, lebaran, libur panjang akhir tahun atau semesteran juga pas Pemilu.

 

Nah, di Tahun 2018 yang merupakan tahun pelaksanaan Pilkada di kampung halaman, saya pilih cuss ke kampung halaman aja, lah, untuk mencoblos di sana karena pemilunya menyenangkan, rasa lebaran.

Area pemilihan di halaman depan sekolah dasar kampung kami sudah jelas jadi ajang silaturahmi tahunan warga dan ladang rezeki bagi para pedagang.

Saya pikir pilkadanya akan ramai, eh ternyata sepi. Jadi mikir kenapa sepi ya? Hingga tiba saatnya saya dipanggil maju..

Satu kertas suara wajar terlihat biasa. Tapi satu lagi... taraaaa... Calon Bupati petahana versus kotak kosong putih tak berisi nama dan gambar siapa-siapa.

 

Bingung juga, sih, harus bereaksi apa. Sedih, senang atau B aja?

 

Setelah pemilihan, saya akhirnya berselancar juga di dunia maya mencari informasi soal petahana dan siapa saja yang mendukungnya. "Oh... Iya." Begitu saja sih reaksi saya.

 

Nah melihat geliat perpolitikan akhir-akhir ini saya mah berharap Pemilu tahun-tahun yang akan datang bisa melahirkan beberapa nama saat pemilihan. Nggak Petahana versus kotak kosong lagi. Meskipun ya harus banyakin husnuzon dan doakan pemimpin yang baik budi.

 

#

Tahun berikutnya, di Pemilu 2019 saya kembali pulang kampung dan menggunakan hak pilih disana. Kali ini pasti lebih seru karena pemilu serentak. Pilih anggota dewan dan juga Presiden.  Cuss!

 

TPS di kampung kami juga sederhana. Beratap terpal, bertiang bambu. Kalau ada angin kencang, eh maksudnya kalau ada kecurangan kayaknya bakal gampang ketahuan bagai bunyi mangkuk abang bakso yang lewat gerbang perumahan. Dan.. di tengah berita mengenai ratusan petugas KPPS yang tumbang setelah bertugas ekstra keras kala itu, di kampung kami pun para petugas tak kalah was-was. 

 

Saya sungguh menghaturkan bela sungkawa sedalam-dalamnya karena pemilu serentak 2019 kemarin benar-benar telah merenggut banyak nyawa. Semoga setiap nyawa manusia di negeri ini dianggap berharga dan wafatnya mereka jadi momen muhasabah paling agung bagi para petinggi negara.

 

Baiklah, mari kembali ke Pemilu serentak di kampung halaman.

Saya dan ibu-ibu bertegur sapa salam-salaman. Nuansa lebaran langsung menyeruak saat kami datang ke lokasi pencoblosan.

 

Ada yang bilang saya kurusan, ada yang bilang muka saya banyak jerawatan, ada yang nyeletuk nanya kapan walimahan. Duh.

 

Saya alihkan saja isu pembicaraan yang semakin menggetirkan itu pada info para calon wakil rakyat yang akan dipilih. Eh ternyata emak-emak, apalagi yang sudah sepuh belum pada paham cara memilih.

 

Katanya…

Kita mah apa da nggak tahu dan gak kenal siapa-siapa-nya da belum pernah ada yang blusukan ke kampung kita!

Mungkin gini umpama kita kayak orang tua punya anak gadis yang tiba-tiba bawa cowok ke rumah, datang-datang udah pengen langsung dinikahin aja tanpa kenalan dulu, tanpa ini itu dulu tiba-tiba suruh hayuk deal, pilih. Selesai. (Duh, perumpamaan macam apa ini?)

 

Saya tersenyum simpul mendengar kisah ibu-ibu. Seperti mendapat secercah cahaya untuk... ehm DS Dadakan. Ssstt Udah ya cukup you and me aja yang tau DS itu apaan.

 

Ya sudah akhirnya saat di depan papan petunjuk pencoblosan, terpampang nama-nama calon wakil rakyat dan nomor partai.

Yaa dikit-dikit aja, sih, tipis-tipis Bun, pelan-pelan saya sampaikan bagaimana cara memilih (mencoblos). Mohon maaf da saya mah bukan sales obat dan alat kesehatan yang pintar bicara dan begitu menggebu-gebu kalau menawarkan barang di depan calon pemesan.

 

Setelah tawa-tawa santai mendengar keluh kesah emak-emak yang calon wakilnya di parlemen enggan blusukan. Loh, emang PKS, partai yang suka baksos meski pemilu masih jauh itu gak ada? Di kampung halaman saya, masih sedikit kang kader partai akangnya.

 

Mau titip pesan aja kalau nanti bapak/ibu calon anggota DPR dan DPRD  mau blusukan atau pendekatan ke warga di kampung mah kalau kata orang Sunda mah kudu someah. Janji-janji mah ntar dulu, apalagi janji kasih duit, duh jangan dah. Selain itu, media baliho kayaknya masih kurang nendang buat kenalan. Mending bagiin buku panduan apa kek gitu (yang diselipi profil diri terus dibagikan ke warga).

 

Atau mending datengin aja warganya dan jujur-jujuran soal kondisi terkini, juga mendengar keluh kesah warga (sambil diam-diam mencatat) lalu traktir ngopi, ngeteh, nge-boba atau cuma es kelapa. Kebanyakan sih para petani jadi maybe bisa bantu petani nanem padi hihihi, atau sekadar numpang sholat di musola setempat lalu memperkenalkan diri. 

 

Paling nanti setelah kenal bisa kolaborasi gelar pesta seni, wirausaha dan edukasi. Yang suruh ngisi ya warga-warga sana juga yang punya potensi.

Eh apa masih pandemi ya nanti? Ya kita berdoa saja semoga pandemi segera pergi dan aktivitas kita apapun itu bisa berjalan normal kembali.

 

 

 

Annie

KTP sih Lebak, Lahirnya di Pandeglang. Keduanya di Banten. Domisili pernah di Bekasi, sekarang masih gak jelas mau jadi warga  mana lagi.

Posting Komentar

0 Komentar