Pelukan Canggung, Ukhuwah Suporter, hingga Islam Kafah



Awalnya, kami berdua—yang baru bertemu—ini hanya ngobrol santai di perjalanan. Karena jarak tempuh yang cukup jauh, obrolan di atas motor pun semakin hangat. Sesampainya di tempat tujuan, entah mengapa kedekatan tadi rasanya seperti sudah terjalin sekian lama. Ya, berpelukan di tempat umum memang membuat saya canggung meskipun hanya sebentar. Tapi, pelukan canggung itu yang sangat membekas di benak saya hingga saat ini. Mari sedikit saya beberkan kisah sekaligus hikmahnya.


Kurang lebih di akhir tahun 2019, ketika saya sedang ditugaskan—sebagai pegawai kontrak—mengawasi kegiatan di daerah domisili saya sendiri, yaitu kabupaten Malang. Namun, sebetulnya kantor pusat berada di Surabaya. Dan, di ibu kota Provinsi Jawa Timur itulah kejadian unik ini hadir. 


Tepatnya, terjadi saat ada panggilan rapat besar di hotel megah dekat kampus ITS (Institut Teknologi Sepuluh November) bersama seluruh pegawai kontrak yang berkegiatan sejenis dengan saya. Saya katakan rapat besar karena total pegawai yang diundang dan turut hadir mencapai 100 orang. Kami datang dari berbagai daerah di Jawa Timur. 


Singkat cerita, kegiatan 2 hari 1 malam itu telah usai. Kami semua akhirnya bergegas untuk kembali ke daerah masing-masing. Ada yang membawa kendaraan pribadi, umumnya mereka naik motor, bagi yang berdomisili dekat dengan Surabaya seperti Bangkalan, Sidoarjo, dan Gresik. Sementara yang menempuh jarak lumayan jauh, ada yang berombongan naik mobil pribadi atau pun menggunakan kendaraan umum seperti saya. Dikarenakan saya adalah satu-satunya pegawai yang ditugaskan di Malang dan tergolong mudah mengantuk bila melakukan perjalanan jauh sendirian, akhirnya bus menjadi pilihan terbaik saya kala itu. 


TENTANG OJOL

Pada siang itu pukul 2 kurang 15 tepat, saya sudah turun di lobby hotel dan bersiap untuk memesan ojol (ojek online). Qadarullah pada gawai saya hanya tersedia aplikasi ojol yang didirikan oleh negara tetangga kita, tetapi sayangnya aplikasi tersebut sedang dalam perbaikan yang entah berapa lama dapat berfungsi normal. Saya memutuskan untuk menunggu sembari memikirkan alternatif lain. Sebab cukup repot kalau saya harus mengunduh aplikasi yang telanjur saya “blokir”.


Alasan saya memutus hubungan dengan aplikasi yang katanya karya anak bangsa itu sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Akibat dari pernyataan resmi perusahaan ketika menyatakan keberpihakannya pada mereka—golongan yang menyerupai kaum nabi Luth—bahwasannya perusahaan tersebut mendukung “keberagaman” itu. Seketika membuat saya girah saya memuncak untuk “memblokir”. Namun ketika hendak registrasi kembali di aplikasi tersebut, ternyata terjadi kendala yang membuat saya tak bisa menggunakan aplikasi ini secara cepat sehingga kedahuluan aplikasi negara tetangga yang telah kembali normal. Syukur alhamdulillah, mungkin ini juga cara Allah menjaga idealisme saya ketika saya cukup gusar dan sempat mengunduh kembali aplikasi yang telah saya “blokir” itu.


Saya masih ingat, 15 menit kemudian, pukul 14.00 WIB driver ojol saya dari aplikasi “tetangga sebelah” datang. Mas driver ojol ini terbilang masih muda. Barangkali umurnya pun tak beda jauh dengan saya yang telah berumur seperempat abad. Dengan waktu yang terlihat sebentar itu, ternyata 15 menit terasa cukup lama untuk zaman yang serba cepat. Sangat terasa kebosanan yang mau tak mau harus saya nikmati pada menit yang dihabiskan untuk menunggu proses aplikasi berjalan normal tadi. 


Saya sangat senang berbicara dengan orang baru, apalagi saat berada di kota orang dan saat itu, tentu karena saya telah lepas dari kungkungan kebosanan. Entah mengapa ketika berada di kota orang, para driver ojol terkesan lebih enak diajak berbincang ketimbang sewaktu saya naik ojol di kota sendiri. Memang barangkali ini hanyalah persepsi saya. Akan tetapi, boleh jadi ketika saya sedang di luar kota, ini menjadi stimulus bagi saya untuk leluasa berbasa-basi karena saya bisa berlagak seperti halnya turis yang baru pertama kali menginjakkan kaki di negara destinasinya, walhasil banyak bertanya dan cermat mendengarkan adalah kunci sukses perbincangan saya kala itu.


Perjalanan sejauh 17,8 km ini pun dimulai. Di awal roda berputar, cukuplah berbasa-basi dengan bertanya tentang daerah asal dan tak lupa menanyakan berapa lama ia berprofesi sebagai driver ojol. Bak gayung bersambut, Mas driver ojol ini juga aktif bertanya balik pada saya. “Gini kek orang-orang tuh kalau diajak ngobrol, aktif nanya juga,” gumam saya dalam hati yang cukup gemas dengan orang-orang yang tak acuh ketika diajak berbicara karena—mungkin—jiwanya sudah terlalu menyatu dengan gawai (benda mati).


TENTANG SUPORTER

Setelah beberapa pertanyaan serta jawaban terlontarkan di antara saya dan Mas driver ojol asli Surabaya ini, sampailah kami kepada satu bahasan yang menjadikan perbincangan di atas motor semakin membara. Betul, seperti api yang menyala-nyala. Tidak berlebihan bagi kami yang sama-sama pecinta sepak bola. Hal ini dikarenakan betapa geramnya kami pada aksi-aksi anarkis yang dilakukan oleh para suporter, utamanya ketika masing-masing klub sepak bola yang kami dukung bertemu. 


Arema dan Persebaya. Siapa yang tak mengenalnya? Bagi yang sudah mengenal klubnya, biasanya sepaket dengan mengenal suporternya, Aremania dan Bonek Mania. Berbicara mengenai keduanya, seakan tak bisa lepas dari riwayat ketidakakuran masing-masing suporter. Saling baku hantam hingga melempar batu di tribun merupakan hal yang tak bisa dihindari saat kedua tim bertemu. 


Melihat bagaimana kejadian tindak anarkis itu sangat sering terjadi—tak hanya bagi kedua tim ini saja, para suporter kedua tim ini tampak seperti salah niat. Mereka datang ke stadion bukan untuk mendukung klub kesayangannya, melainkan justru mencari korban sebagai pelampiasan yang entah dari hal apa. Apabila berdalih bahwa itu merupakan wujud betapa pedulinya ia kepada klub, ini pemikiran yang salah kaprah. Alih-alih peduli, mereka malah merugikan klub. Setelah pertandingan dan tragedi rutin tersebut usai, tinggal menunggu waktu untuk PSSI menurunkan surat teguran maupun “surat cinta” yang menuntut pihak klub membayar denda yang terbilang mahal; mengingat sering sekali terdengar berita para pemain di klub-klub Indonesia telat menerima gajinya.


Kami memimpikan bahwa dari sekian banyaknya aksi anarkis suporter klub kesayangan kami, kelak para suporter—terutama Aremania dan Bonek Mania—bisa mendukung secara berdampingan di dalam stadion dengan akur, bahkan hingga di luar stadion sebakda pertandingan, keakuran itu masih terjaga. Atau bahkan mungkin, hingga suporter tamu diantar pulang oleh suporter tuan rumah. Tapi jujur saja, “Belum terbayang harus mulai dari mana dan bagaimana cara untuk menggapai keakuran antar suporter di Indonesia,” seloroh saya dalam hati. 


Kurang lebih tersisa 2 km hingga sampai di titik tujuan saya. Bila obrolan kami dijadikan sebuah grafik, alurnya cenderung stabil di atas dikarenakan intensitas obrolan yang masih tinggi sekalipun sudah mendekati titik pemberhentian. Bagaimanapun obrolan singkat dalam belasan kilometer ini berhasil menautkan hati kami. Faktor emosional memang berperan penting di dalamnya; saling jengah dengan konfrontasi yang entah siapa lagi yang bersedia membicarakan atau sekadar memikirkannya.


TENTANG PELUKAN CANGGUNG

Mendekati terminal—saya biasa bilang—Bungurasih, saya memilih untuk diturunkan di pintu keluar bus. “Ati-ati yo, Mas,” ucap Mas driver ojol pada saya sembari berpelukan. Canggung awalnya, tapi pelukan itu merupakan rangkaian sebab-akibat dari perbincangan tadi. Bahkan maknanya sangat mendalam bagi saya. 


Pelukan canggung itu selayaknya pelukan persaudaraan. Dua suporter yang saling merindu kebersamaan dengan mengesampingkan fanatisme kelompok. Tampak bahwa betapa rindunya ia dengan perdamaian, begitu pun saya. Kami ingin kembali ke stadion dengan mendukung klub kebanggaan masing-masing tanpa membawa kebanggaan itu ke depan wajah pendukung klub lain yang biasanya berujung saling sikut. Berharap agar tak ada lagi prasangka buruk kepada yang menang, merendahkan yang kalah, saat seri pun, semoga tak ada lagi wasit yang menjadi korban.


Untuk saat ini, dan boleh jadi inilah jawaban segala permasalahan manusia, yang saya dambakan adalah ukhuwah islamiah. Ya, saya pribadi sangat ingin membawa pelukan canggung itu menjadi pelukan ukhuwah; di tengah derasnya silang pendapat pada internal kita sendiri dan juga kerasnya deburan ombak dari luar yang terus berusaha mengikis serta membuat celah pada tubuh umat Islam. Saya, dan juga banyak dari kita di luar sana, yang pastinya sedang merindukan sebenar-benar keindahan dalam ber-Islam. Saya menginginkan pelukan ukhuwah sebagai penanda sebuah ikrar bahwa kita telah bersaudara di atas perbedaan, baik yang kentara maupun tak kasat mata. 


Perbedaan adalah hal yang lumrah. Tersebab memang tiada yang sama dari sekian banyak ciptaan-Nya. Namun, dalam ketidaksamaan itu akan selalu ada kesamaan. Bagi kita, umat Islam, kesamaan visi-misi dapat kita jadikan alat pemersatu. Oleh karena itu, demi terwujudnya visi-misi Islam, adalah hal yang lumrah bila kita terus mengupayakan persatuan di atas segala ketidaksamaan ini. Terlebih jika mereka bilang bahwa kita ini “Islam Fanatik”, cukup katakan, “Kami Islam Kafah.”


Oleh: Maulana Helmi W. / Malang

Posting Komentar

0 Komentar