Kudeta Bang Jago



Sehari setelah kudeta militer di Myanmar, beredar video klip memperlihatkan rangkaian kendaraan taktis dengan iringan discotheque remix “Ampun Bang Jago”. 


Seorang instruktur memperagakan senam pagi dengan mengikuti hentakan-hentakan remix itu, seolah tidak peduli dengan iring-iringan kendaraan tentara di latar belakang. 


Sudut pandang video diambil dari halaman yang asri bangunan di Napyidaw, dengan latar belakang jalan tol menuju Rangoon. Jalan yang kosong melompong, tetapi dipasangi barikade dan dikawal tentara bersenjata lengkap.


Saya meragukan keaslian gambar itu. Bayang-bayang sang instruktur yang diterpa sinar matahari pagi terpotong separuh badan di karpet senam, tidak berlanjut ke aspal.


Tetapi, fakta yang tak dapat dibantah adalah bahwa pada Senin (01/02/2021) pagi itu junta militer  menggagalkan sidang pertama parlemen Myanmar hasil pemilu Nopember  2020. Gedung parlemen yang megah itu memang berada di kompleks Napyidaw.


AMPUN BANG JAGO

“Ampun Bang Jago” adalah ungkapan sarkastik terhadap para penguasa di Indonesia, khususnya terhadap polisi dan tentara. Terkadang menjadi sindiran warganet kepada orang-orang yang “sok tahu”.  Atau kepada para preman lokal. 


Sekitar dua puluh sembilan juta orang pemirsa Youtube pernah menonton video klip “Ampun Bang Jago” dari channel resminya, miturut statistik sampai hari ini. Angka itu belum memasukkan pemirsa video versi plesetan atau dari channel lain.


Angka yang mencengangkan. Teringat keprihatinan seorang pakar terhadap konstelasi di Indonesia : para politisi sipil pada umumnya kurang percaya diri ketika harus berhadapan dengan kolega dari kalangan militer (dan polisi).


Apakah para diplomat dan politisi di Indonesia akan gamang juga gegara kudeta Bang Jago ?


***

Sebagai “Big Brother” di kawasan ASEAN, Indonesia menjadi panutan yang tak tergantikan. Para diplomat kita sangat taat pada prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri setiap negara yang berdaulat. 


Termasuk urusan genosida terhadap etnis muslim Rohingya di Arakan. Diplomat Indonesia selalu mengambil posisi “aman” dan normatif. Sangat berhati-hati menimbang arogansi penguasa militer Myanmar.


Hasilnya menakjubkan : satu-satunya pejabat tinggi dari luar Myanmar yang diperkenankan datang ke Sittwee untuk meninjau nasib muslim Rohingya korban konflik dan pengusiran adalah Menteri Luar Negeri Indonesia. 


Tentu ada sebab lain. Menlu Retno telah mendemonstrasikan bagaimana  “humanitatian diplomacy” dapat bekerja efektif di tengah konflik.


Bantuan kemanusiaan yang berasal dari NGO Indonesia dikombinasikan dengan hasil penggalangan oleh pemerintah telah berhasil menjangkau korban-korban konflik etnis dan agama di Arakan. Bantuan kemanusiaan itu dinilai sangat memuaskan oleh para pihak, dan sejalan dengan koridor yang disepakati.


Berbekal reputasi misi kemanusiaan dari Indonesia, Menteri Retno PLE Marsudi berunding dengan Suu Kyi dan Kofi Annan untuk mengembangkan solusi yang lebih menyeluruh bagi etnik Rohingya di Arakan.


Saat itu Suu Kyi telah menjadi “Councillor of the State”, setara dengan kepala eksekutif pemerintahan sipil, hasil kemenangan NLD dalam pemilu.


Tetapi rintisan solusi itu runtuh berkeping-keping akibat pembantaian dan bumi hangus kampung-kampung muslim di Arakan pada pertengahan tahun 2017. 


Bukti-bukti fisik, forensik dan rekaman satelit tak dapat dibantah oleh pihak militer. 


Sekjen PBB Gutteres bersuara. Jalan menuju ICJ di The Hague mulai terbuka. 


Yang mengejutkan komunitas internasional adalah pembelaan terbuka dari sang penyandang Nobel Perdamaian Suu Kyi terhadap genosida oleh militer, yang disampaikan dalam pidato jawaban di hadapan para hakim ICJ , Desember 2019.


Suu Kyi pada hakikatnya masih tersandera oleh militer.


*** 

Kembali ke kudeta militer Senin 01/02/2021 dini hari. Beberapa jam sebelum tentara meringkus Suu Kyi, Presiden Win Myint, para pimpinan partai NLD,  menteri-menteri kepala propinsi, aktifis politik, tokoh gerakan mahasiswa 1988, sineas dan mereka yang sering mengritik penguasa militer; televisi Aljazeera English mewawancarai sejumlah pengamat dan aktifis di lapangan mengenai prospek penyelesaian ketegangan dan konflik yang terjadi paska kemenangan telak NLD dalam pemilu Nopember 2020.


Mereka seolah sepakat mengenai perkiraan akan terjadi kudeta oleh militer. 


Yang belum dapat mereka identifikasi adalah pemicu dan kapan waktunya.


Saya periksa ulang rekaman “Inside Story” itu. Seorang narasumber menyebut bahwa Presiden Win Myint (NLD) pernah mengungkapkan rencana review terhadap kebijakan pemerintah di Rakhine State alias Arakan.


Saya bandingkan dengan komentar Kenneth Roth, Direktur HRW di New York. Roth berspekulasi mengenai kekhawatiran petinggi militer kehilangan “power and profit” apabila pemerintahan sipil yang menang mutlak dalam pemilu itu tidak disingkirkan.


*** 

Jika kita mengambil posisi sebagai “negarawan”, maka transisi Myanmar menuju demokratisasi seharusnya melibatkan tiga pihak di dalam negeri : militer, entitas sipil yang serius berdemokrasi dan partisipasi penuh dari etnik-etnik minoritas yang menjadi “penjaga” kawasan-kawasan perbatasan.


Peran ASEAN sebagai organisasi regional tak dapat diabaikan. 


Demikian pula Cina dan India yang memiliki posisi geopolitik dan ekonomi yang sangat menentukan bagi Myanmar. 


Walaupun hanya menampung pengungsi Rohingya yang terusir, peran Bagladesh sejauh ini belum tergantikan. Terutama dalam keselarasan fisik, sejarah, budaya dan agama.


***

Porsi penduduk dengan etnik dan/atau agama minoritas di Myanmar mencapai 20% atau lebih.


Sekitar seratus tahun sebelum Myanmar dimerdekakan, penjajah Inggris bersengaja menempatkan etnik-etnik minoritas di kawasan utara yang berbatasan dengan Cina, di kawasan barat berdampingan dengan India, di kawasan barat daya yang berseberangan dengan Bangladesh dan di kawasan tenggara dekat perbatasan Thailand. 


Semua etnik minoritas itu pernah mengangkat senjata melawan penguasa militer yang diskriminatif dan represif. 


Yang masih bertahan walaupun mulai kelelahan adalah para pejuang Kachin (di kawasan utara ) dan Arakan (di barat daya).

Sementara itu, suku Karen (di tenggara)  beralih pada perundingan politik dan meninggalkan perlawanan bersenjata.


***

Etnik mayoritas Bamar yang beragama Buddha dan berkulit kuning langsat, ditempatkan di kawasan tengah, menguasai lahan pertanian yang subur.


Lahan itu “dibentengi” oleh pegunungan dan perbukitan yang berjajar dari utara lalu turun ke barat dan barat daya. 


Etnik Bamar memang sengaja dipisahkan dari etnik lain secara geopolitik. Lalu dilengkapi oleh penguasa militer dengan rekayasa sosial-budaya mengenai racism, dendam dan ilusi sejarah serta politik Machiavellist.


***

Apakah mimpi melibatkan tiga pihak dalam transisi demokratis di Myanmar masih realistis ? 


Ataukah intervensi internasional, melalui ICC atau ICJ akan lebih efektif menghasilkan efek-jera terhadap para penguasa tiranik dan membuka jalan bagi perlindungan hak-hak kaum minoritas ?


Apakah masyarakat internasional  akan bersepakat menyingkirkan hambatan-hambatan akibat doktrin  “non intervention” dan meluncurkan “humanitarian intervention” dibawah payung Dewan Keamanan PBB ?


Mereka gamang berhadapan dengan Bang Jago.


Allahu’alam bishshowwaab


SMS

02/02/2021

Posting Komentar

0 Komentar