![]() |
Foto: Lomba Mural PKS Kabupaten Bogor |
Prestasi dan kontribusi adalah dua hal yang berbeda. Orang yang berprestasi, belum tentu berkontribusi. Orang yang berkontribusi, otomatis mendorong prestasi.
Prestasi adalah personal, sedangkan kontribusi adalah sosial
Prestasi adalah pencapaian, sedangkan kontribusi adalah pengabdian.
Prestasi diukur dari apa yang kita capai, sedangkan kontribusi diukur dari seberapa besar manfaat yang diterima orang lain
Dakwah itu mengejar kontribusi, bukan prestasi
Fokus pada kontribusi, prestasi akan mengikuti.
Dakwah Nabi Nuh butuh waktu 950 tahun “hanya’ mendapatkan 80 pengikut. Tapi kontribusi dakwahnya nyata sampai sekarang, terpahat dalam Al Qur’an, menjadi referensi generasi umat Islam ribuan tahun setelahnya.
Nabi Ibrahim memang tidak berhasil membuat Namrudz beriman, tapi kontribusi dakwahnya kepada raja zalim itu mengajarkan logika debat berbasis akal sehat tentang Ketuhanan yang diterima oleh generasi setelahnya.
Nabi Musa tidak punya prestasi dalam mengislamkan Fir’aun, tapi kontribusinya dalam menyelamatkan kaum Bani Israel membuat pertolongan Allah menenggelamkan kerajaan Fir’aun dan balatentaranya pun turun.
Seorang budak seperti Bilal berkontribusi besar dalam membela eksistensi dakwah di masa awal perjuangan, dan prestasi politiknya sebagai gubernur hanyalah dampak dari konsistensi kontribusi.
Yusuf as menjadi Menteri Keuangan di Mesir, itu adalah prestasi. Tapi rentetan kontribusinya dalam memberikan solusi kepada masalah ekonomi Mesir adalah pemicunya.
Allah SWT menghukum Nabi Yunus dengan ditelannya beliau dalam perut ikan paus. Sebab Nabi Yunus mengejar prestasi berupa berimannya kaum Assyiria di Ninawa, Irak, sedangkan Allah SWT menyuruhnya untuk berkontribusi mengajak kaumnya ke jalan Allah.
Al Qur’an lebih menekankan kita untuk mengejar kontribusi. Tidak ada kewajiban untuk berkuasa, tidak ada kewajiban untuk memperoleh jabatan politik sebagai indikator prestasi. Tapi sangat wajib untuk menyantuni anak yatim, memberi makan orang miskin, menjaga lingkungan, menyambung silaturahmi, dll.Semua ini adalah kontribusi.
Malah Al Qur’an menyuruh kita berlomba-lomba dalam berkontribusi, bukan berprestasi.
Prestasi tertinggi kita sebagai manusia adalah masuk surga. Dan untuk itu, harus berkontribusi dulu di dunia.
Dalam
Perang Khandaq yang terjadi di musim dingin. Di malam gelap, lagi sangat dingin
dan kondisi para sahabat sangat lapar, sangat haus dan sangat ketakutan, karena
pasukan musuh merupakan gabungan musuh yang terkuat saat itu, Rasulullah SAW
ingin mengutus seorang sahabat untuk masuk menyusup ke dalam pasukan musuh dan
mencari informasi yang dibutuhkan, maka Nabi SAW melombakan hal tersebut dengan
sabdanya:
ألا
رجل يأتيني بخبر القوم جعله الله معي يوم القيامة "Siapa di antara
kalian yang berani menyusup ke pasukan musuh dan mencari informasi yang aku
butuhkan niscaya ia akan menjadi temanku di dalam surga". Metode
seperti ini sering diterapkan Rasulullah SAW. Jadi, Rasulullah
mengajarkan afterlife mindset, pola pikir yang jauh ke depan dalam
konteks prestasi. Tidak ada janji jabatan politik, harta rampasan perang yang
banyak, apabila ada yang berhasil menyusup ke sana. Cara berpikir seperti
inilah yang harus dimilliki oleh kader dakwah.
Kontribusi harus berbasis keimanan, bukan (sekedar) kemanusiaan. Kalau sekedar kemanusiaan, Al Walid bin Al-Mughirah pun juga melakukannya. Kontribusi sosialnya cukup besar. Selain menjadi bagian dari orang yang merenovasi Ka’bah, dan melarang masyarakat untuk mendermakan harta hasil judi, riba dan upah pelacuran, dia juga yang melarang masyarakat mengkonsumsi minuman khamar, bahkan pernah memukul anaknya, Hisyam yang ketahuan minum khamar. Dia juga yang menetapkan hukum potong tangan pada masa jahiliyah. Tapi dia tercatat dalam sejarah sebagai musuh dakwah, musuh Rasulullah. Dia bahkan disimbolkan sebagai “orang yang dijauhkan dari kebenaran”, dan divonis akan masuk neraka Saqar (QS. 74:26).
Dalam konteks sosial politik, memenangi konstelasi pemilu adalah prestasi, tapi menelurkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat jelas bukan merupakan kontribusi.
Menang pilkada adalah prestasi, tapi kalau jumlah angka kemiskinan makin meningkat, kesejahteraan makin menurun, masalah sosial semakin banyak, adalah bukti bahwa kemenangan tidak identik dengan kontribusi.
Menguasai 19,33% kursi DPRRI pada pemilu 2019 yang lalu adalah sebuah prestasi, tapi menjadi partai dengan jumlah koruptor tertinggi adalah bukti tidak adanya kontribusi dalam menyelamatkan uang negara.
Kader dakwah adalah kumpulan orang-orang yang berkontribusi. Keberadaannya membawa manfaat, ketidakberadaannya membawa mudhorat. Da’i harus menjadi manusia “wajib”, bukan manusia “mubah” yang ada atau tidak adanya tidak dirasakan manfaatnya oleh lingkungan. Jangan sampai juga menjadi manusia “haram”, yang keberadaannya membawa masalah, ketidakberadaannya membawa manfaat.
"Sebaik-baik manusia adalah yang bisa memberikan manfaat buat orang lain", demikian sabda Rasulullah SAW.
Memiliki kekuasaan politik hakekatnya bertujuan untuk melakukan scale-up kontribusi. Memperlebar, memperluas, memperbanyak manfaat untuk masyarakat. Bukan sebaliknya, malah menambah beban masyarakat.
Dari tingkat terkecil, kader dakwah sudah dididik untuk berkontribusi. Baksos, bazar murah, tanggap bencana, adalah sedikit contoh dari kontribusi kader untuk masyarakat.
Teruslah berkontribusi, ciptakan ide-ide baru dalam men-deliver kontribusi, nanti prestasi berupa kemenangan politik hanya masalah waktu.
Prestasi itu jangka pendek. Sedang kontribusi itu jangka panjang
Jangan sampai kita punya prestasi, tapi masyarakat tidak merasakan kontribusi.
M. Zulkifli
0 Komentar