Dari Sorong Untuk Saudara yang Berduka

 

Pertama kali menginjakkan kaki di Kota ini, terasa begitu asing. Aroma laut yang begitu menusuk membuat tidak nyaman. Terlebih saat tidak ada saudara sedarah yang dapat dijadikan persinggahan.

Dua tahun pertama begitu sulit. Adaptasi budaya, kebiasaan, makanan, bahasa, dan yang paling terasa adalah soal harga yang bisa 3 hingga 5 kali lipat dari harga barang-barang di kampung saya. Saya yang sebelumnya bersahabat dengan tempe tahu, maka ketika di sini saya harus berteman dengan ikan puri, ikan lema, sotong yang sebelumnya hampir tidak pernah saya rasa.

Sama halnya dengan papeda, makanan khas Indonesia timur ini hampir dua tahun tidak bisa melewati tenggorokan. Tekstur papeda yang seperti bubur pati kanji disajikan bersama ikan kuah kuning, jujur saja padanan rasa yang sangat aneh di indera pengecap saya.

Namun, setelah 12 tahun menetap di sini semua terasa berbalik 180 derajat. Segala sesuatu dari Kota ini begitu menarik. Makanannya (termasuk papeda tadi yang sekarang jadi makanan favorit, haha), destinasi wisata alam yang mempesona, bahkan karakter masyarakat yang sangat heterogen begitu memikat hati.

Kota Sorong, nama kota tercinta tempat saya menetap saat ini. Kota yang terletak di Provinsi Papua Barat dengan luas wilayah 1.105 km2 dengan jumlah penduduk 247.084 jiwa. Pada tahun 2020 Sorong menempati peringkat pertama kategori kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di Provinsi Papua Barat. Hal itu wajar, mengingat Kota Sorong adalah gerbang masuk Pulau Papua. Pembangungan dan pertumbuhan ekonomi  sangat pesat.

Yang menarik, adalah jargon yang selalu digaungkan oleh seluruh warga di Kota ini. Sorong Kota Bersama. Jargon yang selalu menjadi penyejuk bagi kami masyarakat yang tinggal di sini. Suku Moi sebagai suku asli Kota Sorong, adalah suku yang ramah dan hangat. Sehingga masyarakat asli dan perantau dapat hidup berdampingan.

Contoh paling gampang adalah aktivitas yang kami lakukan pagi ini. DPD PKS Kota Sorong, pagi ini melakukan aksi penggalangan dana untuk korban banjir di Mamuju dan Majene. Titik aksi adalah di Pasar Central Sorong. Pasar dengan aktivitas terpadat setiap harinya. Di pasar ini bercampur penduduk dari seluruh penjuru kota, bahkan beberapa pedagang sayur berasal dari kabupaten sorong yang mencari rezeki di Pasar tersebut. Semua suku dengan perbedaan warna kulit, rambut, Bahasa berkumpul di pasar sentral Sorong secara berdampingan.


Selama aksi penggalangan dana peduli korban gempa di Mamuju dan Majene para pedagang maupun pembeli dari masyarakat asli Papua, Buton, Bugis, Makassar, Jawa dan lainnya sangat antusias turut serta memberikan donasi mereka. Bahkan salah seorang tukang ojek berujar,” Tidak boleh kasih lima ribu, dapat apa itu! Saya tukang ojek harus kasih lebih,” ujar bapak beusia sekitar 50 tahunan itu. Jujur gerimis hati kami yang mendengarnya.

Meski kami di Papua Barat, beribu kilometer dari lokasi bencana. Namun duka mereka menjadi duka kami semua. Kami yang di sini, berikhtiar meringankan semampu kami. Begitu kira-kira isi hati para penyumbang pagi ini. Benarlah jika Sorong ini disebut sebagai Kota Bersama. Perbedaan warna kulit, bentuk rambut, bahasa, dan lain-lain, tidak menjadi penghalang bagi masyarakatnya untuk senantiasa menebar kasih kepada sesama.

=====

Ngesti Wihayuningtyas

Relawan Literasi Papua Barat

Posting Komentar

0 Komentar