Kembara Saba Desa: 8 Kisah yang Tak Terlupakan


Selalu ada cerita usai mengikuti Kemah Bakti Nusantara (Kembara). Apalagi dengan melakukan saba desa. Kisah yang tersisa kian bermakna. Tak terlupakan.

Di tengah tubuh yang masih lelah dan mata yang ingin terpejam, saya coba merangkai beragam peristiwa yang terjadi. Ternyata jumlahnya pas: delapan (8). Sesuai dengan nomor urut PKS, partai yang menjadikan Kembara sebagai agenda tahunan yang wajib diikuti para kadernya. Tak peduli dia seorang gubernur, bupati, anggota dewan, atau hanya pedagang cilok.

Berikut kumpulan kisahnya:

1. Sholat Jumat Saat Rintik Hujan

Hari pertama diisi dengan agenda yang sangat padat. Hampir tak ada waktu beristirahat. Saat paling berkesan ketika kami Sholat Jumat. Suasananya hampir mirip Aksi 212 pada 2016 silam di Lapangan Silang Monas, Jakarta.

Langit tak begitu terik. Awan mendung berarak di sekitar lokasi sholat. Di tengah-tengah khutbah dan sholat, sesekali rintik hujan menghampiri kami. Tapi kami tak beranjak. Tetap berada di atas terpal biru yang sudah agak membasah.

2. Tak Bisa Tidur

Sabtu, sekitar pukul 03.00 dinihari. Kami semua sudah terbangun. Agendanya: tahajjud di atas terpal dan tanah yang konturnya agak miring. Dilanjutkan dengan sholat subuh berjamaan. Kemudian membaca zikir Al Ma'tsurat.

Usai itu, banyak cerita dari peserta. Dan semuanya sama. Tentang tak bisa tidur dengan nyenyak. Pasalnya, nyamuknya betul-betul "ganas". Tak cuma pandai menggigit, tapi juga menggoda dengan suara nguing-nguingnya, meski kepala kami sudah ditutupi sarung dan sleeping bag.

"Luar biasa nyamuknya," kata seorang peserta sambil senyum.

3. Kopi yang Tak Sempat Diseduh

Suara peluit jadi "momok" tersendiri bagi kami. Karena itu tandanya kami harus siap segera menuju ke lapangan, dalam kondisi apapun. Jika telat, hukuman push up dan squat jam menanti.

Baru beberapa saat kami sampai di tenda, kemudian mulai memasak air untuk menyeduh kopi, tiba-tiba lengkingan peluit terdengar. Mimpi menyeruput kopi pun buyar. 

Kami langsung berlari menuju lapangan. Terkadang dengan kondisi tali sepatu yang belum terikat atau masih pakai sandal. Bye-bye kopi...

4. Berjuang Menghabiskan Nasi

Makan bersama dalam satu nampan jadi salah satu ciri khas kembara. Ada delapan orang mengelilingi sebuah nampan yang berisi nasi dan lauk pauk. 

Uniknya, meski sudah dikeroyok 8 orang, tapi nasi tak juga habis. Perut sudah begah. Namun kami sepakat tak boleh ada sebutir pun nasi yang tersisa. Karena kami teringat bagaimana saudara-saudara kami di belahan dunia lain justru berjuang untuk sekadar makan.

Indahnya berjamaah terasa disini. Kami bersepakat masing-masing harus 5 suap lagi. Tak mudah melakoninya saat perut sudah terisi penuh. Tapi kami terus berjuang hingga suapan terakhir.

5. Usia 53 Tahun Juara Tes Kebugaran

Ada sesi tes kebugaran. Kami harus berlari dengan jarak sekitar 20 m. Setelah itu kembali balik. Begitu seterusnya sampai sekuat mungkin. Ada rumusan kebugaran yang sudah panitia buat berdasarkan standar internasional.

Suasana penuh ceria. Mereka yang berperut buncit jadi sasaran. Hasil tes terbaik diraih peserta yang usianya sudah 53 tahun. Namanya Sandi. Dia mencapai level 7.

Saat ditanya rahasia tetap bugar di usia kepala 5, dia berujar:

"Kita harus komitmen olahraga 3 kali sepekan, sesibuk apapun. Minimal 1 jam," katanya.

6. Bagai Sangkuriang

Sabtu siang saatnya kami saba desa. Kami datang pukul 12.30 Wib di sebuah desa di ujung Cibarusah. Jumlah kami 14 orang. Kami sholat, lalu langsung menggelar diskusi dengan tokoh masyarakat dan warga. Hasil diskusi menyepakati untuk melakukan pengecetan dan perapihan sebuah bangunan. 

Kami menghitung anggaran yang diperlukan. Alat-alat apa saja yang dibutuhkan, area mana saja yang akan dikerjakan. Juga jumlah orang yang diperlukan.

Usai itu, kami dan warga langsung bergerak. Banyak warga yang hadir. Ada yang membeli cat, kuas, pasir ke toko bangunan yang jaraknya cukup jauh, sekitar 3-4 kilometer. Ada yang mebersihkan atap bangunan, mencopot daun jendala, juga membersihkan lantai.

Semuanya bergerak. Hingga malam hari. Dan percaya atau tidak, dalam hitungan 12 jam kurang, semua pekerjaan hampir tertuntaskan. Dinding bangunan sudah berganti warna. Di dalam putih bersih, di luar hijau muda. Plafon pun jadi putih, tak lagi ada warna kusam.

"Ini kayak Sangkuriang ya," kata seorang warga.


7. "PKS Itu Nyata Kerjanya. Sama seperti FPI."

Sabtu siang saatnya kami saba desa. Seorang warga datang menghampiri kami jelang sore. Tak perlu saya sebut namanya. Yang pasti dia warga desa yang kami sambangi.

Dia bercengkerama dengan beberapa peserta kembara. Sambil duduk di sudut ruangan. Lalu tanpa sedikitpun diarahkan dan diminta, dia berujar:

"PKS itu nyata kerjanya. Terjun langsung ke masyarakat. Sama seperti FPI," ujarnya.

8. Senandung Rabithah yang Menguras Air Mata

Inilah saat-saat mengharukan. Di ujung acara penutupan, kami saling bersalam-salaman. Berangkulan. Saling memaafkan dan mendoakan.

Nasyid Rabithah mengiringi. Lagu yang terinspirasi dari untaian doa yang kerap kami munajatkan di akhir pertemuan pekanan. Air mata menetes. Menguras emosi kami.

Kembara pun berubah wajah. Saat instruksi datang kami wajib mengikuti, terasa "menakutkan", namun akhirnya seperti dirindukan.

Sesungguhnya Engkau tahu, bahwa hati ini telah berpadu

Berhimpun dalam naungan cintaMu...

Bertemu dalam ketaatan

Bersatu dalam perjuangan...


Erwyn Kurniawan
Presiden Reli

Posting Komentar

0 Komentar