[Nasehat Ramadhan] IKHLAS DAN ITTIBA'



Oleh: H. Irsyad Safar, Lc, M.Ed
(إياك نعبد)

Kita mentauhidkan Allah dengan beribadah kepadaNya. Tentu saja ibadah itu dilakukan untuk Dia terima, bukan sekedar kita selesaikan. Mesti kita lakukan sesuai dengan keinginanNya bukan sesuai selera atau kemauan kita.

Kalau letih-letih beribadah menyembahNya, tapi kemudian Allah tidak menerimanya, tentu sia-sialah jadinya amalan kita.

Oleh karena itu yang menjadi pikiran dan target seorang mukmin saat beribadah adalah mendapatkan "qabul" dari Allah. Dan para ulama sepakat bahwa terkait ibadah-ibadah mahdhah (ibadah murni yang landasan syariatnya berdasarkan wahyu) akan diterima oleh Allah bila memenuhi dua syarat utama, yaitu: Ikhlas karena Allah, dan Mengikuti tuntunan Nabi Muhammad saw (ittiba’).

Jika salah satu syarat saja yang terpenuhi, atau keduanya tidak terpenuhi tentunya amalan ibadah tersebut menjadi tertolak alias tidak diterima.

Allah berfirman: 

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.

Artinya: "Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya“.” (QS. Al Kahfi: 110).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah, seorang Ulama tafsir yang sangat terkenal menerangkan maksud ayat di atas, “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, maksudnya adalah sesuai dengan syariat Allah. Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya”, maksudnya selalu mengharap redha Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya. 

Ayat secara langsung mencakupi dua syarat diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah saw.

Seorang senior Tabi'in Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh, tatkala menerangkan firman Allah:

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا....

Artinya: "Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2), 

Beliau menjelaskan maksud amalan yang paling baik (ahsan) itu “adalah amalan yang paling ikhlas dan paling benar (sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”

Fudhail bin Iyadh berkata,  “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas karena Allah semata, amalan tersebut juga tidak akan diterima.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Al Khattab,  Rasulullah saw bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

Artinya: "Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah pada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrah karena dunia yang ia cari-cari atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya berarti pada apa yang ia tuju (yaitu dunia dan wanita, pen)”. (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas mempertegas bahwa syarat pertama ibadah diterima yaitu niat yang ikhlas karena Allah. Bila diniatkan karena selainNya, maka yang diniatkan itu saja yang diperoleh.

Juga dalam hadits dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah ra, Rasulullah saw bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Artinya: "Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR Bukhari)

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Artinya: "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”

Hadits ini menegaskan bahwa setiap ibadah mesti berdasarkan tuntunan langsung dan tata cara yang diajarkan Rasulullah saw. 

Misalnya seseorang shalat shubuh dengan sangat ikhlas karena Allah, tapi dilaksanakannya 3 atau 4 rakaat, maka ibadah tersebut tertolak. Sebab menyelisihi ajaran Nabi.

Sebaliknya, seseorang yang shalat shubuh dua rakaat, lengkap rukun dan sunnatnya, tapi dia lakukan karena segan dengan mertua atau tetangga, maka ibadahnya juga tertolak. Karena niatnya tidak ikhlas.

Dengan demikian, setiap ibadah memiliki dua timbangan. Timbangan bathin berupa niat yang ikhlas. Dan timbangan lahir berupa tatacara beribadah sesuai tuntunan Rasulullah saw.

Imam Bukhari menuliskan sebuah hadits dalam kitab shahihnya dengan judul, "Hadits orang yang buruk shalatnya". Kejadiannya adalah tentang seorang lelaki yang shalat sunat dua rakaat di dekat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Tapi tatacara shalatnya salah dan terburu-buru. Sampai tiga kali Rasulullah menyuruh dia mengulangnya. Karena shalatnya tidak sah dan dianggap belum shalat.

Mari kita laksanakan seluruh rangkaian ibadah selama ramadhan dengan penuh ikhlas, tanpa menambah-nambah atau mengurangi yang telah Rasulullah saw ajarkan. Sebab, dalam urusan beribadah mahdhah tidak ada ruang kreatifitas atau inovasi.

Wallahu A'laa wa A'lam.

Posting Komentar

0 Komentar