Foto: pixabay |
(Sofi Sugito)
Suara dering ponsel membuatku
kembali menggerutu. Selalu saja, setiap pagi istriku menelepon. Sudah
kukatakan, kalau akhir-akhir ini sangat sibuk mengurus persiapan sidang
tertutup disertasi. Namun, wanita yang sudah lima tahun kunikahi itu tak juga
paham.
Saat aku sengaja tak mengangkat
teleponnya, dia akan mengirim pesan lewat WA, mengirim foto anak kami yang baru
berusia 2 bulan. Bayi yang dari lahir sampai sekarang belum pernah bertemu
langsung denganku. Saat aku kembali lagi ke Aachen 10 bulan lalu, Mila, istriku
itu, belum tahu kalau dia hamil. Seminggu setelah aku sampai di Aachen, dia
mengabarkan kalau kehamilannya sudah masuk usia 6 minggu.
Awalnya, aku ingin mengajak Mila,
ikut tinggal di Aachen. Namun, kami tak punya cukup uang, dan biaya hidup yang
ditanggung oleh beasiswaku tak mampu untuk mencakup hidup bersama keluarga,
maka kami putuskan untuk sekali lagi menjalani 'LDR'.
Suatu hari, Mila pernah menelepon
malam-malam. Rasa kesalku karena kelelahan seharian beraktivitas di kampus,
membuatku tak sadar membentaknya. Dengan nada agak takut, dia menjawab bahwa
baru saja Kiara, anak kami, rewel.
Mila kebingungan sendiri, merasa
belum begitu paham harus melakukan apa, karena itu pengalaman pertamanya
sebagai ibu. Dengan ketus, kubilang pada Mila agar dia tak terlalu berlebihan.
Bukankah dia ibunya? Harusnya dia mampu mengatasi itu. Mila akhirnya tak
mengatakan apa-apa lagi dan meminta maaf karena mengganggu waktu istirahatku.
Selama tiga hari setelahnya, Mila
tak menelepon, hanya mengirim pesan WA. Dia tak ingin mengganggu istirahatku
sepertinya, sehingga tak mengharapkan balasan. Namun, setelah aku akhirnya
membalas pesannya di hari keempat, dia kembali sering menelepon lagi.
Lalu, hari ini. Setelah dua kali
teleponnya kuabaikan, Mila tak mengirim pesan apapun. Aneh. Biasanya jika
teleponnya kutolak atau sengaja kubiarkan, istriku itu segera mengirim pesan.
Ah, biarlah! Aku harus bergegas
menuju kampus untuk melakukan sidang tertutup. Aku harus berhasil dengan nilai
bagus, dan tak banyak mendapat revisi. Itulah mengapa, kumatikan ponsel. Agar
tak ada yang menggangguku, meskipun itu Mila.
***
Setelah sidang tertutup selesai,
aku segera berjalan keluar gedung dengan santai, menuju halte. Sambil menunggu
bus datang, aku teringat Mila. Ingin sekali mengabarkan padanya bahwa sidang
tertutupku hari ini berlangsung lancar dan sukses. Segera kubuka ransel dan
mengambil ponsel, lalu kuaktifkan.
Betapa kagetnya aku saat menemukan
banyak pesan WA masuk tak seperti biasanya. Bahkan, ada banyak panggilan tak
terjawab juga. Tak hanya dari nomor Mila, tapi juga nomor Mas Deni dan Mbak
Mona, kakak-kakak iparku. Belum sempat aku menghubungi Mila, nama Mas Deni
muncul di layar ponsel sebagai pemanggil. Entah kenapa perasaanku tak enak.
"Assalamu'alaikum, Mas—"
Sapaanku terputus karena Mas Deni
tampak panik di seberang sana. "Arka! Astaghfirullah ... Wa'alaikumsalam
... Ya Allah!"
"Mas, tenang, Mas. Ada apa,
Mas?"
"Kamu ini gimana, to, Ka?
Dihubungi gak bisa! Kamu tahu gak?" Mas Deni terisak. Kudengar juga suara
bising di sekitar lelaki yang enam tahun lebih tua dariku itu.
"Ka, Mila kecelakaan ditabrak
bus saat menyeberang sepulang belanja! Mila meninggal!"
Ponselku jatuh ke tanah. Tubuh ini
terasa lemas. Air yang mengalir dari kedua mata tak bisa kutahan. Penyesalan
datang menghampiri. Bagaimana selama beberapa minggu ini kuacuhkan semua
perhatian dan keluh kesah Mila. Kuabaikan rasa rindu istriku itu dan justru
menghujaninya dengan amarah.
Tak kubayangkan betapa mungkin dia
kesulitan menjalani hidup barunya sebagai ibu. Kisah-kisah tentang 'baby blues'
yang dulu pernah aku dan Mila diskusikan saat kami awal-awal menikah, seakan
menguap begitu saja.
Aku menyesal, selalu membentak Mila
dengan kata-kata, "Aku sibuk, Ma!" Sebab kupikir, Mila yang
hanya mengurus Kiara dan rumah, tak sebanding dengan kesibukanku yang luar
biasa di sini.
Aku menangis makin hebat. Tubuhku
rasanya sudah mulai tak bisa bergerak. Kulihat beberapa orang di sekitar halte
datang mendekat. Wajah mereka terlihat panik dan khawatir. Kemudian kurasakan
tubuh ini jatuh ke tanah, bersamaan dengan gelap gulita yang memenuhi seluruh
pandangan.
***
"Arka! Arka!"
Suara Justin membuatku membuka
mata. Aku masih merasakan mataku basah. Pemuda 27 tahun asal Irlandia itu
berkacak pinggang sambil menggelengkan kepala saat menatapku.
"What ya doin'?
Unbeliveable!" Kemudian dia terkekeh dan berjalan pergi meninggalkanku.
Aku segera bangun dan duduk.
Menatap diriku yang sangat berantakan lewat bayangan di kaca pintu samping
ruang sidang. Ternyata aku hanya bermimpi. Sepertinya aku sangat kelelahan
setelah sidang tertutup tadi. Hanya ingin istirahat sambil menunggu hujan reda,
justru membuatku ketiduran di lantai.
Segera kubersihkan sisa-sisa air di
kedua mata. Kemudian mencari ponsel di ransel dan kunyalakan. Seperti biasa,
ada dua panggilan tak terjawab lewat aplikasi WA dari Mila, dan tiga pesan
darinya.
Pesan pertama: Papa sudah
berangkat ke kampus? Semangat untuk sidang tertutup hari ini, ya, Pa!
Pesan kedua adalah foto anak kami
yang tengah tidur, dengan keterangan: Kiara baru saja tidur, Pa.
Pesan ketiga: Mama kangen Papa.
Aku tersenyum. Segera kutekan tanda
telepon di bagian atas ruang obrolan kami. Dua kali terdengar nada sambung, dan
akhirnya Mila menyapa.
"Assalamu'alaikum! Papa tumben
telpon!" Nadanya sangat senang.
Sekali lagi, tak kuasa aku menahan
air mata. Selama beberapa detik aku terdiam, berusaha untuk tak menampakkan
pada Mila bahwa aku tengah menangis.
"Ada apa, Pa?"
Aku kemudian menghapus air mata.
"Alhamdulillah, sidangnya lancar, Ma. Doakan aku segera lulus, ya! Aku
ingin segera pulang ke Indonesia dan bertemu Kiara. Aku sayang kamu, Ma."
"Alhamdulillah. Ya Allah!
Selamat, ya, Papa Arka sayang!"
Kebahagiaan yang kurasakan dari
ucapan selamat Mila, membuatku sadar, bahwa selama ini aku egois. Aku berjanji,
tak akan menyia-nyiakan perhatian dan kasih sayang istriku lagi.
Sesibuk apapun aku.
(End)
0 Komentar