" Kun kitaaban bi laa ‘unwaanin, wa laa takun ‘unwaanan bi laa kitaabin"
("Jadilah kitab walau tak ada judulnya. Namun, jangan menjadi judul tanpa ada kitabnya")
@ Anis Byarwati
Mungkin kita pernah menjadi pengurus di beberapa tempat sekaligus, apakah menjadi ketua, atau dalam periode yang sama, kita punya jabatan di banyak organisasi/perkumpulan.
Semua jabatan itu adalah al 'unwan (judul) yang menempel pada diri kita.
Tampaknya keren ya.
Ya.. Judul memang membuat kita tampak keren dan mentereng, apalagi kalau dicantumkan dalam CV..😊
Semakin banyak judul yang dicantumkan, semakin keren kan CV kita.
Tapi..
Tahu dan sadarkah kita...
Setiap judul-judul itu punya konsekwensi dan tanggungjawab yang melekat bersamanya.
Tidak boleh hanya berhenti di judul, sementara kitab (buku)nya tak pernah ada..
Gimana sih maksudnya?
Nama kita ada dimana-mana, sebagai pengurus dimana-mana.... punya jabatan dimana-mana. tetapi yaa berhenti hanya di nama... ,
Hanya nama kita yang tercantum dengan jabatan ini itu..., sementara tak ada kerja, tak ada kontribusi, tak ada atau sedikiiit sekali manfaat yang kita berikan kepada organisasi dimana nama kita tercantum didalamnya.
Ada pelajaran bagus dari kisah di bawah ini, yang bisa menggambarkan dengan sangat jelas tentang pepatah Arab ini.
Dalam Sirah Shahabah, disebutkan bahwa Said bin Zaid pernah menolak amanah menjadi gubernur di Himsh (Syria), ketika diminta oleh Umar bin Khattab RA yang menjadi Khalifah saat itu.
Padahal, menjadi gubernur adalah judul yang keren dan mentereng kan?
Hal ini membuat Umar marah dan mencengkeram leher gamis Said seraya berkata, “Celaka kau, Said! Kau berikan beban yang berat di pundakku dan kau menolak membantuku.”
Said tergugah dengan kalimat itu, lalu dengan berat hati, Said bin Zaid bersedia diangkat menjadi gubernur. Dan sejarah mencatat, betapa Said bin Zaid melaksanakan amanahnya sebagai Gubernur Himsh dengan sangat baik dan profesional, dan dia sangat dicintai oleh rakyatnya.
Pelajaran disini, Said tidak hanya punya judul mentereng sebagai Gubernur, tetapi dengan judul itu, dia membuat kitabnya dengan baik.
Ada lagi kisah lain.
Ketika Umar bin Khattab diangkat sebagai Khalifah, diantara kebijakannya adalah memberhentikan Khalid bin Walid, Sang Panglima Legendaris yang sudah menjabat di dua periode sebelum Umar..
Hal ini dilakukan Umar untuk mencegah pengkultusan kepada sosok panglima yang selalu berhasil memenangkan pertempuran ini.
Reaksi Khalid adalah menerima keputusan itu dengan lapang dan ikhlas. Dengan singkat, ia berujar, “Aku berperang karena Allah dan bukan karena Umar atau jabatanku sebagai panglima.”
Khalid membuktikan ucapannya itu, ia tetap menjalankan tugasnya, ikut berperang dengan kualitas yang dimilikinya, tetapi kali ini sebagai seorang prajurit biasa.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kisah ini?
Khalid dicopot dari “judul”-nya sebagai Sang Panglima Legendaris. Namun, ia tidak terpengaruh dengan itu, ia tetap membuat “kitab” nya, selalu siaga dalam barisan pasukan muslimin menorehkan kemenangan.
Disini, Khalid tidak punya judul lagi. Tetapi walaupun tak punya judul, Khalid terus membuat kitabnya hingga akhir hayatnya.
Jadi,
Kalau kita sedang punya judul,
Ingatlah kisah Said bin Zaid.
Kalau kita sedang tak punya judul, tak punya jabatan,
Ingatlah kisah Khalid bin Walid.
Agar kita tidak hanya sibuk mengejar judul
Agar kita tak berbangga dengan judul
tetapi menyibukkan diri membuat kitab-kitab, meski tanpa judul.
Jakarta, 12 Februari 2020
0 Komentar