Nahnu Shooimun



Oleh: Eko Jun

Islam mengajarkan agar umatnya berkata dan bermuamalah dengan baik. Sering kita mendengar para muballigh menyampaikan dimimbar tentang sabda nabi "Al Muslimu man salimal muslimuun, mil lisaanihi wayadihi". Yakni, seorang muslim yang sejati ditandai dari selamatnya orang lain dari lisan dan tangannya. Maknanya, orang itu tidak suka menggunakan lisan dan tangannya untuk memberikan kemudharatan kepada orang lain. Entah dengan berkata kasar, berbicara yang menyakitkan hati maupun menuliskan luapan emosi.

Sebenarnya, berbicara yang kasar bukannya tidak boleh dilakukan. Setidaknya ada dua kondisi dimana kita memang diperbolehkan untuk berbicara dengan nada keras dan kasar. Pertama, saat kita tengah didzalimi. Hal ini tersirat dari firman Allah "Laa yuhibbullaahul jahra bissuu-i minal qaul, illa man dzulim". Termasuk kondisi didzalimi adalah saat kita dirampas haknya, ditahan haknya, diperlakukan semena - mena. Saat itulah, boleh kita berucap kasar dan keras sebagai luapan ekspresi hati yang tersakiti. Meskipun jika saat itu kita mampu menjaga lisan, itu tetap lebih utama.

Kedua, untuk membela kehormatan agama. Termasuk didalamnya adalah membela kitab suci Al Qur'an, membela nabi muhammad saw dll. Tidak sedikit riwayat yang menunjukkan reaksi keras dari para shahabat untuk membela kehormatan islam dan nabinya. Yang paling terkenal diantaranya adalah umpatan Aisyah Ummul Mukminin kepada seorang Yahudi yang menyapa Nabi Muhammad saw dengan ucapan "Assammu 'alaika ya Muhammad". Bahkan seorang Abu Bakar Ash Shidiq yang dikenal lemah lembutpun menjadi keras pada peristiwa Sulhul Hudaibiyah.

Nah, biasanya nash - nash agama memang memposisikan masalah perbuatan dzalim sebagai masalah yang bersifat personal, bukan komunal. Artinya, kita memang agak kesulitan untuk mencari landasan untuk "marah secara komunal" atas kedzaliman yang terjadi pada individu tertentu, sehingga memberi kita hak untuk berucap kasar. Situasi yang kurang lebih sama terjadi pada masalah hutang piutang, yang cenderung bersifat personal. Sedangkan hutang pemerintah dimana semua rakyatnya harus menanggung pembayarannya, belum ada formulasi fikih yang memadai. Khawatirnya adalah, hutang pemerintah, mengatasnamakan negara, dinikmati segelintir pengusaha, tapi dibebankan pembayarannya kepada rakyat melalui beragam pajak.

Kasusnya agak berbeda dengan konteks membela agama. Dimana umat islam secara komunal bisa langsung bereaksi atas penistaan yang dilakukan meski oleh 1 orang saja. Maka tidak perlu heran, jika ada kasus seperti Salman Rusdhi atau Ahok, tapi yang bereaksi bukan hanya kaum muslimin di Indonesia saja. Hal yang justru mengherankan adalah adanya sebagian kelompok kaum muslimin yang terus menerus membelanya itu. Padahal situasinya sudah sangat jelas dan terang benderang, terjadi berulang dengan beberapa varian modus.

Beberapa pemberitaan seputar umat islam saat ini sungguh memprihatinkan. Dari politik diskriminasi, skenario konspirasi hingga aksi provokasi. Meski demikian, ada baiknya kita menguatkan kesabaran, diantaranya dengan terus menerus berupaya menjaga lisan dan tangan kita dari ucapan dan perkataan yang keras dan kasar. Bagaimanapun, hal itu akan mengurangi nilai puasa yang tengah kita lakukan. Bulan ini bulan suci. Jika beribadah didalamnya akan dilipatgandakan pahalanya, maka berbuat dzalim didalamnya pasti juga akan dilipatgandakan dosanya. Jadi salah satu jawaban terbaik adalah sebagaimana yang diperintahkan Allah ta'ala, yakni "Kami tengah berpuasa".

Jika kita tidak sanggup, jawablah dengan berdo'a kepada Allah. Adukan semua urusan ini langsung kepada Allah. Bukankah do'anya orang yang berpuasa itu maqbul?

Posting Komentar

0 Komentar