Kasus Guru Rasnal dan Abdul Muis, Mau Kemana Sistim Hukum kita?



oleh: Aus Hidayat Nur

Anggota DPR RI Fraksi PKS Dapil Kaltim


Entah siapa yang perlu kita pandang sinis dari kasus guru Rasnal dan Abdul Muis dari Luwu Utara. Pihak pemerintah yang lalai mengelola data guru honorer kah? Atau LSM yang tega memperkarai aksi kepedulian dan menjadikannya kriminal? Atau aparat penegak hukum yang tak mau peduli dengan latar belakang masalah?


Tiga komponen: masyarakat, pemerintah, dan aparat hukum telah bersekutu memperosokkan para pendidik yang harusnya dimuliakan ke dalam jurang kriminalisasi.


Tapi alih-alih mencari kambing hitam, mari bertanya apa yang perlu diperbaiki setelah ini? Guru Rasnal dan Abdul Muis sendiri sudah mendapatkan rehabilitasi dari Bapak Prabowo. Saatnya kita hadapkan wajah kepada masalah yang lebih besar.


Tentang lambatnya kerja birokrasi yang memakan korban para guru honorer yang tak mendapat gaji selama 10 bulan, seperti apa perbaikannya? Dalam hal ini tak cuma SDM yang perlu disorot, tapi juga sistemnya.


Pada 11 Maret 2025, laman Suaramerdeka menurunkan artikel yang mengulas masalah validasi data kepegawaian. Salah satu yang sering ditemui adalah ketidaksesuaian pencatatan tempat lahir antara dua sistem utama yakni Dapodik dan BKN. Sistem Dapodik mencatat tempat lahir berdasarkan nama desa. Sementara BKN mencatat sebagai kabupaten.


Artinya, sistem di lingkungan pemerintahan belum terintegerasi dengan baik. Masing-masing instansi memiliki sistem sendiri tanpa ketersambungan data. Padahal data kependudukan digunakan oleh banyak instansi.


Ini cuma salah satu potensi dari sekian banyak potensi masalah. Menjadi tugas Departemen Kominfo untuk menertibkan aplikasi yang dibuat oleh Kementerian/Lembaga dan mengintegerasikan data yang mungkin, agar tak ada lagi kasus guru yang tak mendapat haknya karena masalah data.


Selanjutnya adalah mari sorot sistem hukum di negeri ini agar tidak menjalankan keadilan prosedural tanpa keadilan moral.


Padahal pada 15 Desember 2022 Guru Rasnal dan Abdul Muis sudah dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan. Yang tidak habis pikir, apa yang dicari oleh Jaksa Kejari Luwu Utara yang mengajukan kasasi? Dan kenapa pula ketika persidangan di tingkat yang lebih tinggi yang harusnya semakin bijaksana, malah memutus bersalah bagi dua guru tersebut?


Inilah keadilan semu, ketika hukum hanya menegakkan keadilan formal tapi menindas keadilan substantif, keadilan yang bertentangan dengan nurani publik, menegakkan hukum tanpa memperhatikan manusia  di balik perkara.


Masyarakat kita pun rupanya masih ada yang mengidap keterbelakangan nurani. Tanpa memahami duduk permasalahan, mereka laporkan para guru yang menyalakan solidaritas.


Meski ada kabar gembiranya juga. Menurut Supri Balantja, mantan anggota Komite SMAN 1 Luwu Utara, kala itu seluruh orang tua murid sepakat tanpa paksaan untuk urunan. "Bahkan wali murid sendiri yang mengusulkan agar sumbangan Rp20 ribu digenapkan dari sebelumnya Rp17 ribu," tuturnya kepada Liputan6. Jadi, masih banyak masyarakat yang punya kepedulian.


Entah apa yang dicari oleh LSM pelapor, alih-alih memperjuangkan nasib guru yang terzalimi, malah mempermasalahkan yang lain.


Namun, ini menjadi lecutan bagi saya untuk terus menjaga semangat menyosialisasikan empat pilar kebangsaan kepada masyarakat, agar kita memiliki frekuensi yang sama dalam Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Posting Komentar

0 Komentar