Senja di Kebun Waeperang - Saadiah Uluputty dan Harapan Petani Akan Air Kehidupan


oleh: RELI PKS MALUKU

Sore itu, sinar matahari mulai merunduk di ufuk barat. Di antara jalanan bergelombang dan berlumpur, rombongan kecil kendaraan beranjak perlahan menuju kebun masyarakat di Desa Waeperang, Kabupaten Buru. Waktu menunjukkan sekitar pukul setengah lima sore, ketika Saadiah Uluputty, ST, Anggota DPR RI Komisi V Dapil Maluku, tiba di lokasi untuk bersua langsung dengan para petani.

 

Dibawah rindang daun daun hijau wajah-wajah petani menyambut dengan hangat. Ada senyum tulus, ada harapan yang diam-diam mereka titipkan di balik jabat tangan itu. Di bawah rimbun pohon dan barisan sayur terung yang mulai masak panen, Saadiah mendengarkan satu per satu cerita mereka.

 

“Air sangat dibutuhkan, Bu. Apa pun aktivitas kami di kebun selalu bergantung pada air. Kami punya sumber air di sekitar sini, tapi letaknya jauh, jadi kami masih mengambil secara manual,” tutur seorang petani, sambil menunjuk arah bukit kecil tempat sumber air berada.

 

Kalimat itu sederhana, namun menohok. Di tengah tanah yang subur dan hasil kebun yang menjanjikan, air sumber kehidupan justru menjadi tantangan terbesar. Petani di Waeperang harus berjalan cukup jauh untuk ke kebun dan mengambil air, bahkan menggunakan jerigen dan ember seadanya. Setiap tetes air begitu berarti bagi mereka.

 

Saadiah mendengarkan dengan seksama. Sesekali matanya menatap hamparan kebun, seolah membayangkan aliran air yang menyejukkan tanah kering itu.

 

“Air adalah kehidupan,” ujarnya pelan tapi tegas. “Tanpa air, petani tidak bisa menanam. Dan tanpa petani, negeri ini akan kehilangan sumber pangannya.”

 

Ia menambahkan bahwa akses air dan infrastruktur pertanian harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan pembangunan. “Saya akan terus mendorong agar kebutuhan dasar petani—terutama air dan jalan ke lahan menjadi perhatian serius. Karena ini bukan hanya tentang hasil panen, tapi tentang kelangsungan hidup masyarakat,” lanjutnya.

 

Setelah berdialog, kegiatan dilanjutkan dengan penyerahan bantuan peralatan pertanian dan pupuk. Di sela-sela itu, Saadiah turut memanen sayur terung bersama ibu-ibu petani. Gelak tawa terdengar di antara suara daun dan cangkul. Sesekali gurauan kecil mewarnai sore yang mulai temaram. Suasana kebersamaan itu sederhana, tapi sarat makna: kerja, harapan, dan cinta terhadap tanah.

 

Menjelang magrib, perjalanan pulang dimulai. Jalan yang dilalui mulai gelap, berlumpur, dan bergelombang. Namun di balik perjalanan itu, ada kepuasan tersendiri karena hari itu bukan hanya tentang kunjungan, melainkan tentang menyentuh langsung kehidupan rakyat yang sesungguhnya.

 

Saadiah menatap langit senja yang perlahan berubah jingga. Dalam hatinya, ia tahu perjuangan belum selesai. Di balik setiap tetes keringat petani, ada doa agar air bisa mengalir lebih dekat, agar jalan menuju kebun tak lagi seberat hari ini, dan agar negeri ini tak lupa pada mereka yang menanam kehidupan.

 

“Saya melihat langsung bagaimana perjuangan masyarakat untuk bertani. Jalan yang rusak, air yang sulit dijangkau, tapi semangat mereka luar biasa. Ini yang membuat saya semakin yakin, perjuangan untuk petani harus terus kita kawal bersama,” ujarnya sebelum meninggalkan kebun.

 

Di antara sisa cahaya senja, Waeperang sore itu tidak hanya menyuguhkan pemandangan indah alam Buru, tapi juga kisah ketulusan petani yang terus berjuang, di sanalah Saadiah Uluputty hadir  bukan sekadar menyapa, tetapi mendengar, memahami, dan memperjuangkan.

Posting Komentar

0 Komentar