“Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (pena).” (QS. Al-‘Alaq [96] : 4)
_____
oleh: R. Irwan Waji
Di tengah gelombang kemalasan dan keengganan umat untuk membaca buku, ada seseorang yang berkeluh kesah,
“Ah, untuk apa saya menulis? Siapa pula yang akan membacanya di tengah kondisi umat seperti ini?”
Namun, seorang ustaz yang mendengarnya tersenyum dan menjawab lembut,
“Jangan khawatir tulisanmu akan sia-sia. Setiap tulisan punya pembacanya sendiri. Mungkin tidak hari ini, tidak pula besok, tapi akan datang saatnya tulisanmu menemukan jiwa yang membutuhkannya.
Dan meski hanya sepotong kalimat, bisa jadi darinyalah seseorang mendapat hidayah. Lagipula, menulis itu sendiri sudah membuatmu matang dalam berpikir dan jernih dalam memandang kehidupan.”
*Mengapa kita perlu menulis?*
Mungkin ada banyak alasan mengapa seseorang menulis, tetapi QS Al-‘Alaq ayat 4 sudah cukup menjadi alasan paling mendasar: “Alladzi ‘allama bil-qalam” — Yang mengajar manusia dengan perantaran pena. Dengan pena, ilmu dapat diwariskan dari generasi ke generasi; dengan tulisan, hikmah tak berhenti di satu masa.
Setiap kalimat yang lahir dari niat ikhlas akan menjadi cahaya yang menembus waktu, menghidupkan hati, dan menjadi amal yang terus mengalir, bahkan ketika penulisnya telah tiada.
Namun marilah kita melihat realitas diri dan lingkungan kita. Kita adalah generasi yang dibina melalui proses panjang dan intensif. Semua itu bukan sekadar rutinitas, melainkan upaya membentuk pribadi yang komitmen terhadap kebenaran, bertanggung jawab menghadirkan kebaikan di tengah masyarakat, serta menjaga soliditas dan kebersamaan dalam perjuangan.
Kita semua telah ditempa untuk berpikir kreatif, kritis, dan konstruktif. Namun semua itu tidak akan bermakna bila hanya tersimpan dalam pikiran. Nilai-nilai itu harus dibahasakan, dihidupkan, dan disuarakan melalui karya.
Dengan menulis, kita mengubah permenungan menjadi gagasan, dan gagasan menjadi amal. Tulisan menjadi media untuk mengungkapkan “kegalauan intelektual” kita — keresahan yang lahir dari kecintaan pada kebenaran.
Dengan menulis, apa yang kita ucapkan dapat kita pertanggungjawabkan, sebab ia tidak lahir dari emosi sesaat, melainkan dari pertimbangan logis dan ilmiah, walau sederhana.
Tulisan membuat kita tidak sekadar asal berbicara, tetapi berpikir dan menimbang sebelum berkata. Dari sana, orang dapat melihat sedalam apa keyakinan kita, dan sejauh mana harapan yang kita bangun.
Karena itu, menulis adalah sarana untuk meminimalkan perdebatan yang tidak bernas, sekaligus membuka ruang bagi perdebatan yang membangun. Itulah sebabnya anggota Unit Pembinaan Anggota (UPA) kami menjadikan aktivitas kepenulisan ini sebagai suplemen bagi wasilah tarbawi kita.
Kita bersepakat untuk menjadikan menulis sebagai budaya—menulis tentang diri kita, tentang organisasi kita, tentang lingkungan kita, dan tentang harapan-harapan kita. Sebab menulis jauh lebih kontributif daripada berdebat tanpa arah, yang sering kali hanya menimbulkan keresahan di antara kita.
Saat ini, kita hidup di era di mana batas-batas teritorial tak lagi menjadi halangan. Dunia seakan mengecil; setiap orang dapat terhubung dengan siapa pun di sudut mana pun di muka bumi ini. Itulah dahsyatnya teknologi — ia menjembatani jarak, mempercepat arus informasi, dan membuka peluang kolaborasi tanpa batas.
Namun di balik kedahsyatan itu, ada satu hal penting yang perlu kita sadari: semakin canggih teknologi, semakin besar pula tuntutan terhadap kesiapan manusia dalam bernarasi.
Teknologi mungkin mempermudah penyampaian pesan, tetapi manusia tetap harus memiliki isi, makna, dan arah dari pesan itu. Sebab pada akhirnya, bukan alat yang menentukan nilai suatu peradaban, melainkan manusia yang mampu menyusun narasi, menyampaikan kebenaran, dan menggerakkan kesadaran melalui kata-kata dan tulisan.
Kekuatan narasi inilah yang akan menjadi penentu utama dalam kehidupan modern. Siapa yang menguasai narasi, dialah yang akan memimpin arah pemikiran dan pergerakan masyarakat. Maka, untuk menjadi kuat — bahkan leading — dalam membangun narasi, kita harus membekali diri dengan penguatan literasi yang lebih serius, lebih dalam, dan lebih kuat dari sebelumnya.
Sebab dengan literasi yang kokoh, kita tidak hanya menjadi pandai berbicara atau mampu menulis, tetapi juga cerdas dalam memilah dan memahami informasi.
Kita bisa membedakan mana yang sekadar isu, mana yang hanya rekayasa opini, dan mana yang benar-benar fakta kebenaran yang patut kita pahami serta jadikan pijakan berpikir dan bertindak.
Menulis, pada akhirnya, bukan sekadar keterampilan. Ia adalah pernyataan eksistensi, bentuk tanggung jawab intelektual, dan amal kontribusi nyata bagi kemajuan umat dan bangsa.
Melalui tulisan, kita tidak hanya menorehkan kata, tetapi juga menanamkan nilai — nilai kebenaran, kebersamaan, dan harapan.
Karena itu buku terbitan perdana di UPA kami berjudul : Saya Percaya itu!
Wallahu alam bish shawab.


0 Komentar