Oleh : Murtini, S. TP __ Kabid Komdigi Kab Madiun
Di suatu masa, di mana suara adzan menjadi penanda waktu dan ilmu menjadi cahaya yang menuntun langkah manusia, lahirlah generasi yang disebut santri — mereka yang menjadikan ilmu sebagai bekal, guru sebagai lentera, dan adab sebagai mahkota.
Mereka berjalan di jalan panjang pencarian, menundukkan kepala di hadapan sang guru, dan menegakkan hati di hadapan Allah. Sebab mereka tahu, ilmu tidak sekadar dihafal, melainkan diserap dengan kerendahan hati, dipelihara dengan amal, dan disucikan dengan niat yang jernih.
Belakangan, kehidupan santri kembali menjadi bahan perbincangan di ruang publik.
Sebagian menyoroti kerasnya kedisiplinan di pesantren, keterbatasan fasilitas, hingga aturan-aturan yang tampak mengekang kebebasan remaja masa kini.
Namun, di sisi lain, banyak pula yang melihat justru dari ketundukan itulah lahir jiwa-jiwa tangguh, hati yang bersih, dan akhlak yang berakar dalam.
Sungguh, pesantren bukan tempat yang sempurna. Ia bukan surga tanpa cela, bukan pula benteng tanpa retak. Tapi di balik tembok-temboknya yang sederhana, ada latihan hidup yang tak diajarkan di sekolah mana pun: tentang sabar, tentang hormat, tentang menahan diri di tengah keterbatasan.
Di sanalah santri belajar, bahwa tidak semua kebebasan adalah kebaikan, dan tidak setiap batasan berarti belenggu.
Pro dan kontra akan selalu ada, sebab setiap zaman punya cara pandangnya sendiri terhadap nilai. Namun satu hal tetap pasti: pesantren telah menjadi taman di mana akhlak ditanam dan iman disiram, meski kadang daunnya berguguran oleh ujian.
Kader dan Santri: Dua Jalan, Satu Ruh
Dalam budaya kader Partai Keadilan Sejahtera, ada satu kebiasaan yang berakar pada nilai-nilai kesantrian: menghadiri majelis ilmu pekanan.
Ia bukan sekadar pertemuan rutin, bukan pula formalitas organisatoris. Ia adalah madrasah jiwa — tempat di mana ruh diperbarui, hati dibersihkan, dan ilmu ditanamkan dengan kelembutan.
Sebagaimana santri mengaji di bawah naungan guru, kader pun duduk di hadapan murabbi-nya, menimba hikmah, memperbaiki niat, dan meneguhkan langkah perjuangan. Di sanalah ilmu tidak hanya dipelajari, tetapi dihidupkan; tidak hanya didengar, tetapi diamalkan; tidak hanya ditulis, tetapi diresapkan ke dalam amal sehari-hari.
Adab santri menjadi cermin bagi adab kader: menunduk ketika menerima nasihat, tidak memotong perkataan, menjaga nama baik guru dan majelis, serta memuliakan ilmu dengan hadirnya yang istiqamah. Sebab hadir di majelis ilmu bukan perkara waktu luang, melainkan bukti cinta dan ketaatan pada jalan dakwah yang berakar dari keilmuan.
Majelis sebagai Pesantren Jiwa
Maka setiap pekan, majelis ilmu kader sejatinya adalah pesantren jiwa — tempat membersihkan niat yang keruh oleh dunia, mengasah kesabaran di tengah perjuangan, dan menghidupkan semangat tafaqquh fid-din sebagaimana pesan Rasulullah ï·º.
Di majelis itu, kader bukan hanya mendengar tausiyah, tetapi sedang menata ulang ruh perjuangan. Sebagaimana santri yang mencuci hatinya di setiap sujud malam, kader pun mencuci jiwanya di setiap majelis pekanan.
Majelis itu menumbuhkan rasa tawadhu’, menanamkan sabar, dan menyalakan cinta kepada Allah dan umat. Sebab tanpa ilmu, semangat akan kering; tanpa guru, langkah akan tersesat; tanpa adab, perjuangan akan kehilangan ruhnya.
Menjadi Santri Abad Ini
Ada semangat yang tak pernah pudar dalam diri santri — semangat menimba ilmu di tengah keterbatasan.
Dengan alas tikar, lampu minyak, dan kitab yang mulai usang di tepi waktu, mereka tetap tekun membaca, menyalin, dan menghafal.
Tak menuntut kemewahan, tak menunggu kesempatan, karena bagi santri, ilmu adalah jalan menuju kemuliaan, bukan kemudahan.
Mereka terbiasa hidup sederhana, tetapi berpikir besar.
Mereka menunduk pada guru, namun berdiri tegak di hadapan dunia.
Dan ketika Ibu Pertiwi memanggil, sejarah mencatat: para santri-lah yang lebih dulu berlari ke garda depan, mengangkat panji jihad dan cinta tanah air, mengajarkan bahwa ilmu sejati bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk keselamatan negeri.
Kini, di masa yang serba mudah dan gemerlap, semangat itu seakan memanggil kita kembali:
Agar tidak larut dalam kenyamanan, agar tidak berhenti di zona aman, agar setiap ilmu yang kita peroleh menjadi amal bagi kemaslahatan bangsa.
Menjadi santri di abad ini berarti terus belajar meski dunia sibuk, terus berbuat meski tak disorot, dan terus berjuang meski jalan terasa sepi.
Sebagaimana santri di masa lalu berkorban untuk kemerdekaan, maka santri hari ini — para kader dakwah, para guru, para pejuang sosial — dipanggil untuk memberikan yang terbaik bagi negeri dengan ilmunya, akhlaknya, dan adabnya.
Sebab negeri ini tidak hanya butuh orang pandai, tetapi juga hati yang ikhlas; tidak hanya butuh cendekia, tetapi juga jiwa yang bersujud.
Dan di situlah, semangat kesantrian menemukan maknanya yang paling luhur:
Belajar dengan rendah hati, berjuang dengan sepenuh hati, dan mengabdi tanpa pamrih kepada negeri yang dicintai.
Hari Santri bukan sekadar peringatan sejarah. Ia adalah ziarah batin pada nilai-nilai yang melahirkan keteguhan dan keikhlasan. Negeri ini berdiri di atas doa para santri yang tak pernah usai, pada sajadah-sajadah yang basah oleh harapan agar ilmu tetap menjadi cahaya di tengah gelapnya zaman.
Hari Santri mengingatkan kita bahwa perjalanan ilmu adalah perjalanan adab.
Bahwa guru tidak selalu benar, tetapi adab menuntut kita untuk tetap hormat; bahwa pesantren tidak selalu sempurna, namun dari sanalah banyak hati tumbuh menjadi baja.
Dan bagi para kader dakwah — majelis ilmu pekanan adalah pesantren yang tak berpagar, tempat setiap hati ditempa agar tetap rendah di hadapan kebenaran, dan tetap teguh di tengah arus zaman.
Sebab santri sejati bukan hanya yang berdiam di pondok, melainkan yang menjaga adabnya di mana pun ia berpijak.
Ia bisa jadi petani, pegawai, guru, kader, atau pemimpin — tetapi hatinya tetap murid, dan gurunya tetap Allah melalui jalan ilmu.
Mereka tidak membanggakan diri dengan kata-kata, melainkan membuktikan cinta dengan kesetiaan.
Mereka tidak menjadikan ilmu sebagai senjata, melainkan sebagai pelita.
Selamat Hari Santri Nasional.
Untuk setiap jiwa yang menunduk demi ilmu,
untuk setiap hati yang berjuang dalam diam,
dan untuk setiap langkah kecil yang membawa cahaya bagi negeri.
Semoga semangat kesantrian terus hidup dalam diri kita —
dalam majelis ilmu, dalam amal, dan dalam cinta kepada Indonesia.
Karena selama masih ada yang belajar dengan adab,
berjuang dengan ilmu, dan mengabdi dengan ikhlas,
santri tidak akan pernah hilang dari bumi pertiwi.


0 Komentar