Haji Rasul, Buya Hamka, dan Kisah Kecil Perselisihan Jalan Ayah dan Anak

 


Aus Hidayat Nur

“Aku tinggalkan Padang Panjang tanpa pamit. Ayahku marah, tetapi aku telah nekad. Aku ingin mencari hidupku sendiri. Aku tahu beliau marah bukan karena benci, melainkan karena khawatir anaknya akan tersesat jalan.”

Itu adalah kata-kata Buya Hamka mengenang kepergiannya ke Yogyakarta pada usia 16 tahun (1924) tanpa izin Haji Rasul, ayahnya, tertera dalam buku "Hamka, Kenang-Kenangan Hidup".

Sang ayah yang marah besar berkeyakinan bahwa anaknya - yang diharap-harap bisa meneruskan perjuangan - tidak akan berhasil karena dianggap tidak disiplin dalam menuntut ilmu agama.

Buya Hamka dan Haji Rasul memang sempat berselisih jalan. Sang ayah adalah salah satu tokoh pembaharu Islam di Minangkabau, pelopor Kaum Muda, yang gigih menentang praktik takhayul, bid‘ah, dan khurafat yang ketika itu banyak berkembang. Ia terkenal keras, tegas, dan sangat disiplin terhadap ajaran Islam yang murni. Sebagai media perjuangan, ia mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan menanamkan pendidikan agama yang rasional dan puritan.

Tentu sebagai orang tua, sedikit banyak ada lah mimpi bahwa apa yang telah dirintis akan dilanjutkan oleh darah daging sendiri.

Sementara sang buah hati yang tumbuh dalam lingkungan pendidikan ayahnya, sejak remaja dikenal lebih terbuka pada sastra, budaya, dan filsafat. Ia membaca karya-karya sastra Melayu, Arab, bahkan Barat. Hamka juga punya nilai-nilai yang sama dengan Haji Rasul, sayangnya dia saat itu tidak bisa mengikuti pelajaran bahasa Arab di surau dan sekolah karena tidak cocok dengan metode nahwu. Tapi di kemudian hari beliau bisa menyempurnakan bahasa Arabnya setelah menemukan metode yang tepat untuk dirinya sendiri.

Tak akan ada lagi yang persis serupa dengan kisah Haji Rasul-Buya Hamka. Dan sulit pula menemukan sosok sekaliber dirinya. Namun, tentang perbedaan jalan hidup antara ayah dan anak, fenomena ini merupakan hal yang umum. Meski golongan darah sama, bergaris satu dna, tapi pemikiran tiap individu bisa berbeda.

Singkat cerita, dalam pengembaraannya itu Buya Hamka pada akhirnya kembali di jalan yang telah ditempuh Buya Rasul sebelumnya, yaitu perjuangan di jalan agama. 

Dalam buku Anwar Harjono, Buya Hamka: Sebuah Biografi Singkat, tertera alinea:

“Ketika Hamka muda ingin pergi merantau ke Jawa, ayahnya, Haji Rasul, tidak memberi izin. Ia menganggap Hamka belum cukup kuat ilmunya. Namun Hamka tetap berangkat diam-diam. Dari perantauan itulah ia bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah di Yogyakarta dan menemukan arah hidupnya.”

Allah SWT perjumpakan Hamka dengan tokoh seperti Ki Bagus Hadikusumo, HOS Tjokroaminoto, dan Syamsurizal yang memberi kontribusi pada proses "sibghatullah" Buya Hamka di jalan dakwah.

Allah SWT yang tahu misteri jalan hidup seseorang. Ia berkuasa membuat cerita yang liku-likunya tak kan mampu dikarang oleh seorang novelis ternama. Kadang khalayak kini mencibir, tapi besok khalayak menyatakan salut.

Kita pun, Andai hidup di jaman Buya Hamka remaja dan menyaksikannya merantau tanpa pamit, mungkin akan ikut berang pula.

Tapi didikan seorang ayah rabbani akan ada bekasnya. “Ayahku mendidikku dengan cambuk, tetapi cambuk itulah yang membuatku tahu arah hidup,” ujar Hamka.

Maka, bila kita lihat ada seorang anak ulama melenceng jalan, jangan tergesa menjatuhkan vonis. Meski kita memang diperintahkan untuk menghakimi berdasarkan zahirnya, tapi masa depan tak ada yang tahu.

Kita lihat sajalah sejauh mana layar terkembang mengantarkan anak itu mengembara. Bila telah ada ketetapan Allah SWT, bila masih ada celah di hati yang membatu, keteladanan sang ayah akan melunakkan hatinya jua, cepat atau lambat.

Alih-alih sinis, mengapa tak seuntai doa baik-baik kita lantunkan?

Posting Komentar

0 Komentar