Ajining Diri Saka Lathi: Ucapan yang Menyatukan atau Memecah Belah



Oleh : Murtini, STP - Kabid Komdigi PKS Kab Madiun

Sebuah kalimat bisa menjadi energi persatuan, namun bisa pula menyulut perpecahan. Ajining diri saka lathi bukan sekadar petuah leluhur, melainkan pedoman bangsa.


Suatu hari, dalam sebuah pertemuan warga di kampung, seorang tokoh masyarakat tanpa sengaja mengucapkan kalimat yang menyinggung. Maksudnya ingin bercanda, tetapi ucapannya dianggap merendahkan sebagian hadirin. Sejak itu, hubungan antarwarga menjadi renggang. Hanya karena satu kalimat yang meluncur tanpa pertimbangan, harmoni yang telah lama terjaga retak begitu saja.


Kisah sederhana ini menunjukkan betapa besar pengaruh lisan dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang kita ucapkan dapat mempererat persaudaraan, tetapi juga bisa menghancurkannya. Pepatah Jawa mengingatkan dengan tegas: “Ajining diri soko lathi, ajining raga soko busana.” Kehormatan diri diukur dari lisan, sementara jasad dihargai dari busana. Lisanlah yang sejatinya menentukan martabat seseorang.


Lisan sebagai Cermin Kepribadian

Bagi orang Jawa, tutur kata bukan sekadar alat komunikasi, melainkan refleksi budi pekerti. Orang yang halus ucapannya dianggap memiliki hati yang bersih. Sebaliknya, lisan yang kasar menandakan jiwa yang kurang terjaga. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi harmoni, lisan menjadi penentu apakah seseorang dihormati atau justru dijauhi.


Ajaran Islam pun sejalan dengan falsafah ini. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Menjaga lisan bukan sekadar etika sosial, tetapi juga bagian dari iman. Lisan bisa menjadi jalan menuju surga, namun juga bisa menyeret ke jurang neraka.


Gejolak dari Lisan

Dalam skala yang lebih luas, ucapan juga bisa memengaruhi arah perjalanan bangsa. Sejarah Indonesia membuktikan bahwa pidato mampu menjadi penggerak revolusi. Bung Karno dengan kata-katanya membakar semangat rakyat untuk merdeka. Ucapan bisa menjadi energi persatuan.


Namun, di sisi lain, kita juga menyaksikan bagaimana sebuah pernyataan yang salah dapat menimbulkan gejolak. Kalimat yang keluar dari tokoh publik tanpa pertimbangan matang kerap memicu keresahan, bahkan perpecahan. Kritik yang seharusnya membangun berubah menjadi penghinaan. Janji yang mestinya menumbuhkan harapan justru menimbulkan kekecewaan.


Tak jarang, polemik nasional berawal dari lisan yang tak terjaga. Kata-kata yang menyinggung kelompok tertentu, pernyataan yang merendahkan rakyat kecil, atau candaan yang tidak pada tempatnya sering menjadi bara yang membakar kegelisahan. Semua itu menunjukkan betapa pepatah ajining diri soko lathi tetap relevan dalam kehidupan kebangsaan.


Era Digital, Era Lisan Tanpa Batas

Kini, tantangan semakin besar. Lisan tidak hanya diucapkan, tetapi juga ditulis di media sosial. Status, komentar, atau cuitan menjadi representasi lisan di ruang digital. Bedanya, ucapan lisan bisa dilupakan, tetapi ucapan di dunia maya abadi. Jejak digital sulit dihapus.


Betapa banyak konflik, kegaduhan, bahkan perpecahan masyarakat bermula dari unggahan singkat yang dianggap sepele. Kalimat yang ditulis tanpa disaring bisa menyebar luas, dipelintir, dan dimaknai berbeda. Lisan di era digital ibarat api: kecil tampak remeh, besar bisa menghanguskan rumah bersama.


Menjaga Lisan, Menjaga Bangsa

Pepatah Jawa itu pada hakikatnya menegaskan bahwa kehormatan manusia bukan ditentukan oleh harta atau jabatan, tetapi oleh kesantunan lisannya. Jika diperluas, kehormatan sebuah bangsa juga tercermin dari lisan para pemimpin dan rakyatnya.


Indonesia sebagai bangsa yang majemuk membutuhkan narasi kebangsaan yang menyejukkan. Kita memerlukan kata-kata yang menyatukan, bukan ucapan yang memecah belah. Lisan yang santun dapat meneguhkan persaudaraan, sementara lisan yang kasar hanya memperdalam jurang perbedaan.


Allah SWT mengingatkan dalam Al-Qur’an: “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik. Sesungguhnya setan menimbulkan perselisihan di antara mereka.” (QS. Al-Isra: 53).


Menjaga lisan sejatinya adalah menjaga marwah. Dari lisanlah seseorang dinilai, dari lisan pula sebuah bangsa dikenang. Jika kita ingin bangsa ini tetap utuh, damai, dan bermartabat, mari kembali menghayati pesan leluhur: ajining diri soko lathi.


Sebab sekali lisan tergelincir, luka yang ditimbulkannya bisa lebih dalam daripada luka fisik. Namun ketika lisan dijaga, ia mampu menjadi perekat hati, penguat bangsa, dan penopang kehormatan negeri.


“Di era ketika kata-kata menyebar lebih cepat daripada langkah kaki, menjaga lisan adalah menjaga martabat pribadi sekaligus marwah negeri.”

Posting Komentar

0 Komentar