Oleh: Murtini, S. TP - Kabid Humas PKS Kabupaten Madiun
Di sudut timur Pulau Jawa, ada satu nama yang tak sekadar dikenal karena gelar, jabatan, atau atribut partai. Namanya Bagus Prasetia Lelana. Di balik senyumnya yang tenang dan sorot mata yang teduh, tersimpan semangat yang tak pernah padam: semangat untuk terus memberi, membangun, dan mengabdi. Itulah yang membalut sosok Pak Bagus, sapaan akrabnya— seorang pendidik, pegiat kemanusiaan, dan politisi, yang jejak langkahnya telah menapaki berbagai medan perjuangan: dari ruang kelas, gelanggang politik, hingga pelosok-pelosok negeri yang membutuhkan uluran tangan.
Lahir di bumi Tulungagung pada Agustus 1966, ia bukan sekadar angka dalam sejarah. Ia adalah narasi panjang tentang perjuangan dalam diam, tentang nyala semangat yang tak padam meski berkali-kali diuji zaman.
Ia tumbuh sebagai sosok yang tidak hanya berpikir tentang hari ini, tapi juga menanam untuk esok dan lusa — untuk umat, bangsa, dan generasi yang belum lahir.
Banyak orang memilih jalan terang. Tapi Pak Bagus sejak awal memilih jalan yang sepi dan sunyi. Dan justru dari situ, nyala terang itu lahir. Pelan tapi pasti.
Mendidik: Jejak dari Kampus hingga Kampung
Pak Bagus tumbuh dalam lingkungan yang menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, tanggung jawab, dan cinta ilmu. Pendidikan bukan sekadar pilihan hidup baginya, melainkan jalan pengabdian.
Tak mengherankan jika kemudian ia memilih menempuh pendidikan di IKIP Negeri Surabaya, tempat ia mematangkan jati diri sebagai pendidik. Namun bagi Pak Bagus, menjadi pendidik bukan hanya profesi, melainkan misi peradaban. Ia percaya, kemajuan umat dimulai dari bagaimana generasi dibentuk dengan ilmu dan akhlak. Dari ruang-ruang kuliah yang penuh idealisme itu, ia membawa pulang satu tekad: kelak bukan hanya mengajar, tapi membentuk manusia.
Tekad itu diwujudkannya dengan mendirikan Yayasan Pelita Umat Tulungagung pada tahun 1994, sebuah lembaga yang bergerak di tiga ranah utama: pendidikan, sosial, dan dakwah. Di bawah yayasan itu kini tumbuh sekolah- sekolah yang menjadi pelita bagi masyarakat sekitar: 4 TK, 2 SD, 1 SMP, dan sebuah pondok pesantren. Disinilah tempat lahirnya tunas-tunas bangsa yang tumbuh dalam nilai Islam, integritas, dan wawasan kebangsaan.
Beliau membangun pendidikan dari nol, dari dusun, bukan dari seminar. Ia percaya, pendidikan harus menanam akhlak sebelum angka, membentuk karakter sebelum ijazah. Baginya, mendidik bukan sekadar mengajar. Ia adalah jalan panjang mengantar manusia menuju fitrahnya — bebas dari gelapnya kebodohan dan kungkungan materialisme.
Dari ruang kelas di pelosok Tulungagung, ia membentuk generasi. Bukan sekadar pintar, tapi tangguh dan berkarakter. Nilai-nilai keadilan, keberanian, dan tauhid merasuk lewat pelajaran, teladan, dan peluh yang ia teteskan sendiri.
Mengabdi: Ketika Politik Menjadi Dakwah
Di dunia politik, kiprah Pak Bagus tak kalah panjang dan konsisten. Baginya, politik adalah amanah perjuangan, bagian dari ibadah sosial. Beliau telah memimpin DPD Partai Keadilan (yang sekarang berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera) Kabupaten Tulungagung sejak awal era reformasi, tahun 1999. Dari titik itulah ia memulai perjalanan panjang bersama PKS, menjadi saksi sekaligus pelaku sejarah tumbuhnya partai dakwah ini dari akar rumput hingga kancah nasional.
Beliau juga menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Daerah (MPD), dan sempat mengemban amanah sebagai Ketua Daerah Dakwah 6 yang meliputi Kediri, Blitar, dan Tulungagung. Kiprahnya terus berlanjut sebagai Ketua Bidang Penanggulangan Bencana PKS Pusat, Kordapil untuk calon legislatif provinsi Dapil 7, dan saat ini dipercaya sebagai Ketua DPW PKS Jawa Timur, sekaligus Anggota Majelis Syura PKS periode 2025–2030.
Sebagai politisi, ia juga aktif di Korsad, menjadi Pelatih Kepanduan Nasional, dan memimpin penanggulangan bencana di tingkat pusat. Baginya, setiap bencana adalah panggilan jiwa, bukan momen pencitraan.
Rangkaian amanah ini menunjukkan bahwa perjalanan Pak Bagus bersama PKS bukan sekadar formalitas jabatan. Ia hadir sebagai kader, penggerak, sekaligus penjaga marwah partai. Ia adalah bagian dari denyut nadi PKS di Jawa Timur, membimbing kader, mengokohkan struktur, hingga mengantarkan partai ini menjadi salah satu kekuatan politik utama di tanah air.
Pak Bagus menjelajahi ruang politik bukan untuk meraih kursi, tapi mengokohkan misi: menyelamatkan negeri dari krisis moral dan sosial. Bagi beliau, setiap langkah politik adalah ladang dakwah; setiap kursi kepemimpinan adalah amanah yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Tapi jabatan itu tak membuatnya jauh dari rakyat. Ia gowes dari satu kampung ke kampung lain bukan sekadar olahraga, tapi menyapa dan menyimak denyut rakyat. Beliau hiking bukan untuk menaklukkan puncak, tapi menjelajahi medan pengabdian. Dengan jogging bisa menyapa pemuda, bermain bulutangkis bersama kader, atau melatih bela diri dengan anak-anak muda. Ia bukan pemimpin di menara gading. Ia tumbuh di akar rumput, menyatu dalam kehidupan. Ia tidak sekadar bergerak — ia hadir.
Kemanusiaan: Menembus Batas Negeri dan Nurani
Namun pengabdian Pak Bagus tak berhenti di dunia pendidikan. Ia merentangkan langkahnya ke medan yang lebih luas. Ada satu sisi dari Pak Bagus yang tak semua orang tahu: pegiat kemanusiaan kelas dunia. “Di mana ada penderitaan, di situ kita harus hadir.” Kalimat itu bukan jargon bagi beliau.
Sebagai koordinator lembaga kemanusiaan di Jawa Timur, ia terlibat langsung dalam pembangunan ratusan masjid, mushola, dan sarana umum seperti kamar mandi dan fasilitas air bersih di pelosok desa. Semua dilakukan bukan untuk pencitraan, melainkan karena panggilan hati.
Tapi kepeduliannya tak berhenti di tanah kelahiran. Ia melangkah lebih jauh — ke tanah-tanah luka. Dalam dimensi yang lebih luas, Pak Bagus juga aktif menyalurkan bantuan kemanusiaan untuk rakyat Palestina. Ia memimpin berbagai inisiatif pengumpulan dan penyaluran donasi, mulai dari logistik hingga pembangunan fasilitas pengungsi di berbagai wilayah konflik. Ia ikut mengirim logistik ke pengungsian di Yordania, ke Gaza yang diblokade, hingga ke kamp pengungsian di luar Palestina. Ia membawa cinta rakyat Indonesia ke tanah para syuhada dengan tindakan nyata. Kepeduliannya tidak dibatasi oleh batas wilayah, karena bagi Pak Bagus, penderitaan sesama adalah panggilan kemanusiaan yang tak bisa dibantah.
Antara Rumah, Masjid, dan Medan Juang
Di balik perjuangannya, ada seorang istri — alumni IKIP Surabaya juga — yang menemani dengan setia. Bersama, mereka membesarkan enam orang anak penyejuk mata. Rumah mereka bukan sekadar tempat pulang, tapi markas kecil perjuangan.
Pak Bagus tidak tumbuh dari panggung mewah. Ia tumbuh dari peluh. Dari keyakinan bahwa bekerja untuk umat adalah bentuk cinta paling hakiki.
Tiga Kata, Ribuan Langkah
Jika harus diringkas dalam tiga kata, maka Pak Bagus adalah:
Pendidik.
Pegiat Kemanusiaan.
Politisi.
Di balik tiga kata itu, ada ribuan langkah yang tak terekam kamera. Ada tangis yang ditahan saat melihat anak Palestina kehilangan ibunya. Ada peluh yang jatuh ketika menapaki jalan terjal bebatuan. Ada kesabaran tanpa akhir ketika mendampingi sekolah swasta kecil yang ingin besar dengan integritas. Langkah-langkah senyap yang tak diberitakan, tetapi menghidupkan harapan. Keputusan- keputusan besar yang tak diucapkan, tapi membawa dampak nyata.
Tak sedikit yang menyebut Pak Bagus sebagai politisi yang jarang bicara, tapi banyak bekerja. Ia hadir dalam senyap, namun jejaknya nyata. Ia mungkin tidak gemar tampil di layar kaca atau ramai di media sosial, tetapi kehadirannya terasa di desa-desa yang lebih nyaman bersembunyi di balik kabut pagi, di ruang-ruang kelas yang sunyi, atau di pelataran masjid yang baru dibangun hasil gotong royong bersama masyarakat.
Dan di tengah dinamika politik yang kerap bising dengan janji-janji kosong, Pak Bagus hadir membawa wajah politik yang bersih, teduh, dan konsisten. Ia adalah representasi PKS di Jawa Timur — partai yang mengusung keadilan, kesejahteraan, dan keberpihakan kepada rakyat. Melalui tangannya, partai ini bukan hanya hadir di ruang parlemen, tetapi juga nyata turun ke lapangan: menolong korban bencana, membangun sarana pendidikan, hingga mengirim bantuan kemanusiaan lintas negeri.
Bagi orang-orang terdekatnya, ia adalah simbol konsistensi, kerendahan hati, dan pengabdian tanpa henti. Pak Bagus adalah bukti bahwa dalam dunia yang penuh riuh, masih ada jiwa yang memilih jalan sunyi. Bekerja dalam senyap, tapi dampaknya menggema.
Di usianya yang ke-59, ia bukan sedang menepi. Ia justru berlari lebih jauh. Untuk Jawa Timur yang lebih adil. Untuk Indonesia yang lebih manusiawi. Untuk umat yang lebih tercerahkan. Pak Bagus terus melangkah dengan semangat muda yang tak kunjung usai. Bukan karena ambisi, melainkan karena cinta — cinta kepada umat, cinta kepada negeri, dan cinta kepada Allah yang menggerakkan segalanya. Dalam diamnya, ada doa. Dalam geraknya, ada dakwah. Dan dalam seluruh pengabdiannya, ada satu keyakinan yang ia pegang erat:
“Barang siapa yang menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolongnya dan meneguhkan kedudukannya.”
(QS. Muhammad: 7)
0 Komentar