Aktivis Dakwah Antara Literasi dan Dialektika



oleh: Zico Alviandri 

Sekitar tahun 2000-an, aktivis dakwah, khususnya dari komunitas tarbiyah, mendapatkan sumber yang melimpah untuk asupan literasi mereka. Tidak hanya buku-buku pergerakan, tetapi juga majalah-majalah yang kualitasnya cukup baik.

Sebut saja majalah Sabili yang mengangkat isu-isu keumatan, Tarbawi sebagai spesialis pembangkit ruhiyah, Annida yang menyasar segmen remaja dengan kekuatan rubrik-rubrik sastranya, Ummi yang ditujukan untuk keluarga muslim, Al Izzah yang mengangkat problematika di kalangan aktivis dakwah, serta Saksi yang menyuguhkan bacaan politik. Masih banyak lagi, seperti majalah Hidayatullah hingga Hidayah.

Ya, zaman memang berganti. Kejayaan era digital tak dapat dibendung. Kertas berganti monitor. Laman-laman Islam di internet bermunculan, menyuguhkan bacaan yang lebih kaya. Kelebihannya, komunikasi tidak lagi satu arah; pembaca kini dapat menyampaikan pendapatnya melalui kolom komentar.

Dari literasi ke dialektika. Berkomentar semakin dimudahkan dengan hadirnya media sosial hingga aplikasi percakapan. Artikel singkat bersahutan dan disebarkan melalui gawai, dibumbui dengan perdebatan.

Jika diizinkan, saya ingin menambahkan sepenggal kalimat pada akhir puisi Aku Rindu Zaman Itu karya Ustadz Rahmat Abdullah yang terkenal itu: “Aku rindu zaman ketika aktivis dakwah rajin berburu buku dan majalah, bukan bolak-balik membuka WhatsApp untuk melempar celetukan dan saling membantah.”

Sejatinya, literasi dan dialektika adalah dua atribut ulil albab. Dalam Al-Qur’an, Surah Az-Zumar ayat 18, Allah SWT berfirman: “(Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah ulul albab (orang-orang yang mempunyai akal sehat).”

Salah satu tingkatan seseorang memiliki literasi informasi yang baik adalah membuka diri terhadap informasi, mengevaluasinya, lalu menjadikannya referensi. Ulil albab pun demikian, frasa yastami‘unal qaula menandakan mereka menggunakan telinga untuk mendengar.

Mungkin ada hal yang kurang baik yang didengar, tetapi dengan sikap terbuka, hal yang baik pun memiliki peluang untuk didengar. Yang jelas, mereka tidak menjadi kaum yang membatu.

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga, tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A‘raf: 179).

Tidak berhenti sekadar mendengar, ulil albab juga mengevaluasi informasi yang masuk. Dengan nurani yang hidup dan akal yang sehat, mereka memutuskan untuk mengikuti perkataan yang terbaik (fa yattabi‘una ahsanah), yaitu jalan menuju surga-Nya. Tentu, semua itu dengan taufik dari Allah SWT.

Proses evaluasi ini bisa berupa dialektika dengan orang sekitar. Lihat bagaimana Nabi Ibrahim a.s. mengajak kaumnya berpikir, sebagaimana diceritakan Allah dalam Al-Qur’an, Surah Al-An‘am ayat 74–83. Ketika itu, Nabi Ibrahim a.s. mengajak kaumnya menentukan “kriteria ketuhanan” melalui bintang, bulan, dan matahari yang mengalami “terbenam”, hingga akhirnya ia menyatakan sifat Tuhan yang hakiki, yaitu Maha Pencipta. Itu semua adalah proses dialektika.

Namun, literasi dan dialektika yang menjadi standar seorang da’i tidak boleh sembarangan. Apalagi jika tercampur hoaks dan debat kusir.

Saya bersyukur Allah mempertemukan saya dalam lingkungan tarbiyah yang tidak menyempitkan sumber informasi dengan menakut-nakuti menggunakan kata “syubhat”. Bahkan di awal tarbiyah, ada senior yang mempersilakan untuk berinteraksi dengan harakah dan kelompok Islam lain. Silakan memupuk ruhiyah melalui majelisnya kawan-kawan Jamaah Tabligh, menambah wawasan dari pengajian Hizbut Tahrir, memperdalam ilmu dari ustaz-ustaz salafi, belajar fikih dari kiai NU, mentadaburi Al-Qur’an melalui pengajian Muhammadiyah, dan lain-lain.

Makanya, saya sangat menikmati perdebatan ahli ilmu di media sosial. Misalnya, hampir 20 tahun lalu saya terpapar debat asma wa sifat, tetapi sampai sekarang saya masih “mencuri baca” pembahasan itu. Apakah tidak bosan? Ya, ada titik permasalahan yang membosankan, dan sebenarnya saya sudah lama menemukan kesimpulan. Namun, sering kali saya temukan hal yang membangkitkan keimanan dari argumentasi masing-masing pihak, sehingga saya masih mengikutinya.

Juga ketika saudara-saudara dari kalangan yang disebut “Islam tradisionalis” semakin rajin membuat konten untuk menangkis tuduhan bidah atas amalan-amalan yang biasa mereka lakukan. Salah satu contoh terbaru dan sedang viral adalah Gus Ajir Ubaidillah, ustaz muda dari Pondok Pesantren Nurul Huda Langgongsari. Mungkin saya tidak selalu sepenuhnya setuju, tetapi adanya dialektika seperti itu membuat nalar tetap hidup dan informasi semakin lengkap.

Masalah sarana memang bisa berubah. Dulu kertas, sekarang layar gawai. Meski demikian, masing-masing memiliki kelebihan. Misalnya, membaca buku lebih membantu memperpanjang konsentrasi dibandingkan video pendek atau artikel singkat. Bagaimanapun juga, proses literasi dan dialektika harus tetap hidup.

“Khilaf dalam masalah fikih furu‘ (cabang) hendaknya tidak menjadi faktor pemecah belah dalam agama, tidak menyebabkan permusuhan, dan tidak pula kebencian. Setiap mujtahid mendapatkan pahalanya. Sementara itu, tidak ada larangan melakukan studi ilmiah yang jujur terhadap persoalan khilafiah dalam naungan kasih sayang dan saling membantu karena Allah untuk menuju kebenaran. Semua itu tanpa melahirkan sikap egois dan fanatik.” (Hasan al-Banna dalam Usul ‘Isyrin, prinsip ke-8).


Menyongsong program Iqra’ yang akan dicanangkan oleh Presiden PKS, Almuzzammil Yusuf. Tunggu tanggal mainnya!

Posting Komentar

0 Komentar