Oleh: Eka Wardana
Selepas salat biasanya kami tidak langsung pulang. Ada saja yang dibincangkan seputar penyelenggaraan kegiatan Ramadan di masjid kompleks. Obrolan kali ini tentang waktu Ramadan yang begitu cepat, saat perbincangan itu sudah sebelas hari Ramadan berlalu. Padahal rasanya baru kemarin mendiskusikan kegiatan yang tepat selama Ramadan tahun ini.
Dan seperti kata ketua DKM masjid kompleks kami; kalau Ramadan terasa cepat itu tandanya senang. Karena senang maka waktu begitu singkat. Wuss.
Jika ditimang lagi apa yang sudah diperbuat selama waktu yang singkat itu sungguh membuat rasa menyesal terbit. Ada banyak prioritas amal yang akan dilakukan selama bulan Ramadan ini. Dan sebagian besarnya belum ada yang terlampaui. Sementara waktu terus mengejar dan tidak dapat didaur ulang.
Dapat cerita, teman yang mampu membaca Al quran sehari selama Ramadan rata-rata empat juz. Terbayang bagaimana cara membacanya. Apa setiap selesai salat langsung membaca satu juz sehingga lima kali salat bisa lima juz? Begitu? Kalau konsisten, boleh saja itu terjadi. Bagaimana kalau banyak gangguan, apa tetap “tegak lurus” satu juz? Nah di situ letak kekuatan kehendak yang dinukil dalam tafsir Dzilal Sayyid Qutub sebagai tarbiyah iradah (penempaan kehendak).
Bila semua target yang sebenarnya ingin dicapai selama Ramadan itu meleset, lalu waktu yang sebagian besar berharga itu digunakan untuk apa? Ikutan komentar warga net yang setiap hari hiruk pikuk itu? Lihat video pendek di berbagai platform media sosial. Atau nonton youtube hingga tak terasa menghabiskan kuota dan waktu sekaligus.
Boleh jadi kalau ditilik akan sedikit banyak gangguan itu dari media sosial yang tidak terkendali. Padahal waktu produktif untuk bekerja tetap saja dicuri oleh keinginan sesaat ngintip medsos. Akibatnya keterusan dan lupa akan tugas utama.
Dengan demikian, dibutuhkan jeda ketika waktu yang begitu cepat itu tidak bisa diulang kembali atau di”rapel” target yang ingin dicapai. Pada kenyataanya. Keinginan untuk mengebut target tidak terjadi karena target harian saja tidak dapat terlampaui. Bagaimana dengan beban “rapelan” yang makin menumpuk?
Alasan lain, yang logis adalah bertambahnya waktu tidur. Katakanlah, tidur setelah salat subuh. Bangun sudah siang. Lalu enggan bekerja dan tilawah. Makin siang kondisi tubuh kian kekurangan air dan lapar. Belum lagi cuaca juga mendukung. Kadang panas menyengat, tiba-tiba mendung dan hujan. Jadilah siang ingin tidur lagi. Sore pun demikian, waktu yang sangat payah untuk melakukan berbagai aktivitas.
Bagaimana dengan setelah berbuka? Faktor kekenyangan menjadi alasan tersendiri mengapa banyak yang tidak bisa tilawah setelah berbuka. Paling banter sesudah salat tarawih dapat melakukan tadarus beberapa halaman. Setelah itu kantuk kembali menyergap.
Waktu yang tersisa Ramadan kali ini akankah digunakan untuk memperbanyak amal, atau akan kembali menyesali cepatnya waktu berlalu? Tergantung bagaimana tampilan kekuatan iradah kita terbentuk.
Jika kita mengharapkan dukungan Allah dalam setiap langkah hidup dan cita-cita mulia dakwah yakni kemenangan. Waktu yang tersisa Ramadan kali adalah sebesar-besar memohon keberkahan dan kekuatan. Tanpa pertolongan Allah, mustahil kemenangan itu akan datang.
*) Penulis adalah anggota PKS tinggal di Pakansari, Cibinong-Bogor.
0 Komentar