Oleh: Hasan Aspahani
Inilah sungai yang mengaliri negeri kami.
Arusnya berlapis tiga: di permukaan ada pedih kenyataan,
di tengahnya harapan yang kadang-kadang beku, lebih kerap
buntu,
dan di dasarnya darah yang masih deras dari hulu: luka lama
itu.
Di sinilah kami mandi, saling memperhatikan tubuh dan
menyimpulkan satu hal sama, "luka kita memang belum
sembuh,
luka baru alangkah subur, semakin berumur, semakin
tumbuh."
/2/
INILAH sungai yang mengalir ke petak-petak sawah tua,
mengentalkan lumpur, yang berabad-abad lekat di kaki kami.
Sawah tua!
Sawah
tua!
Kami telah membagi-bagi di mana kelak anak-cucu memakamkan
kami.
Sawah tua!
Sawah
tua!
Kami telah belajar menggali bersama lubang selebar liang
kubur
di tanah yang tiap hari kami taburi dengan abu: bangkai
harapan
yang kami kremasi di apimata, tanpa upacara tanpa doa.
Ya, kami memang telah lama lupa cara berdoa. Memang,
ke rumah-rumah ibadah kami masih rajin datang, lalu bertegur
sapa dengan kesepian mimbar: kosong dan hambar.
/3/
INILAH sungai yang tiap liuknya menumbuk hati kami yang
rindu.
Ada yang menumpahkan racun di hulu, dia yang dulu lahir dari
rahim kami, yang kami mandikan dengan hujan yang kami
tampung
di takungan dua tangan, setelah kemarau yang kami kira
abadi.
/4/
INILAH sungai yang kerap meluap, membawa jenazah, hanyut
tengadah.
Di pelantar-pelantar kami berdiri, mencari wajah sendiri,
seperti berkaca.
Kutukan itu memang terbukti kini. Dulu ada orang tua bisu
dan buta yang
kami bunuh bersama karena kematiannya konon menolak seribu
bala.
Sejak itu kami pun terbelah jadi dua. Sebagian lari dan
bermukim di hulu.
Dan yang tertinggal, menunggu alir takdir, tergelincir dalam
sesal berlendir.
/5/
INILAH sungai. Inilah kami. Inilah negeri kami.
Ada suatu kali arus sungai betapa heningnya. Alangkah
tenangnya.
Lalu tangan-tangan putus hanyut. Mengetuk-ngetuk lambung
perahu.
Kau tahu itu tangan siapa? Itulah tangan orang-orang yang
dulu kami
antar memasuki istana di hulu, dengan seribu perahu, dengan
dayung
kepingan papan yang kami lepas dari dinding rumah kami
sendiri.
Hah, tanpa tangan mereka kini bisa apa?
Tapi, dengan tangan apakah ada bedanya?
Lalu perahu-perahu itu bertambat tali di kaki-kaki kami.
Kami lupa
cara mendayung. Lagi pula kemana hendak berkayuh?
Karena inilah sungai yang kini mengaliri negeri kami.
Arusnya berlapis tiga: di permukaan ada perih kenyataan,
di tengahnya harapan yang terkadang hanya hanyut batu-batu,
dan di dasarnya darah yang masih panas dari hulu: duka lama
itu.
/6/
INILAH sungai tempat kami mencuci kain kafan hitam, setiap
hari,
lalu mengeringkannya di bawah kaki matahari. Dulu, kain-kain
itu kami tenun sendiri sebagai layar kapal yang dijanjikan
setelah kayu-kayu yang kami pilih di hutan kami serahkan
untuk tiang-tiang istana.
Dan kami tak pernah bisa berkunjung kesana.
Dan kami tak pernah bisa berbangga pada mereka, anak-anak
kami sendiri:
Anak-anak yang bermain memandikan kerbau tua dan buta
Anak-anak yang menyelam memunguti batu dan membayangkan
bisa
mengalungan permata di leher ibunya
Anak-anak yang menggali anaksungai sendiri lalu mengalirkan ke
halaman sekolah yang ditinggalkan guru-gurunya.
Anak-anak yang menolak diseragamkan isi otaknya.
/7/
DAN inilah sungai tua yang tabah mengalirkan sampah-sampah:
pesawat televisi yang mengapung dengan siaran 24 jam tak
sudah-sudah
menyiarkan pidato bohong,
lagu-lagu angkatan nongkrong,
cerita
hantu pocong,
kisah cabul dan komedi kosong,
dan iklan yang bikin otak & hati bolong!
Dan kami cuma penonton tolol, yang tertawa, digelitik
khayalan konyol
tak tahu
ada tangan yang jauh merogoh, ke dalam mata, mencuri cahaya.
/8/
INILAH sungai tempat kami dimandikan ketika bayi.
Inilah sungai yang semakin deras mengalir di negeri kami.
Inilah sungai yang perlahan menelan perahu-perahu kami.
0 Komentar