Menulislah Agar Kita Abadi

Ilustrasi (pexels.com)
 

Tahun 728 Hijriyah, Kota Damaskus menjadi saksi sejarah dipenjaranya seorang ulama, Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah. Dari penjara ini, Ibnu Taimiyah pernah melontarkan sebuh kalimat yang diabadikan murid-muridnya hingga kita selalu mengenang.

“Demi Allah, jika mereka memenjarakanku, inilah rehat yang nikmat. Jika mereka membuangku ke negeri antah, inilah tamasya yang indah. Jika mereka membunuhku, sebagai syahid aku disambut.” Begitulah kalimat yang sering kita dengar dari kisah perjalanan dakwah dan jihadnya.

Lalu, salah seorang murid yang membersamainya di penjara lantas bertanya, “Apa yang harus kami lakukan wahai Syaikh?”

“Beberapa hari ini, Sultan telah melarang penjaga memberiku pena, kertas dan tinta. Tolong lemparkan arang-arang itu kedalam. Sungguh aku ingin menulis.”

Ia begitu menikmati rehat dan tamasyanya di penjara. Tapi ia tak rela, jika barang seharipun ia kehilangan pena untuk menulis.

Dari tanggannya yang menari dan disaksikan tembok-tembok penjara, lahirlah salah satu karya besarnya yang berjudul Risalatul Hamawiyah. Ibnu Taimiyah mengabadi dengan ilmu yang diwarisi dalam karya-karyanya. Menjadi amal dakwah yang terus memahatkan namanya dalam bangunan sejarah dan perjuangan Islam.

Ketika rezim dimasanya, membakar dan menghancurkan buku-bukunya. Hari ini kita justru melihat hampir semua di perpustakaan orang menjumpai nama Ibnu Taimiyah. Dari Majmu Fatawa yang berisi masalah fatwa dalam Islam hingga tentang fiqih wanita.

Benar kata Kyai Abdullah Azzam, sejarah ditulis oleh tinta hitam para ulama dan darah merah para syuhada. Dan Kyai Abdullah Azzam menuliskan kedua warna itu. Tarbiyah Jihadiyah adalah salah satu karya yang ia telah amalkan di medan jihad melawan pasukan komunis Soviet.

Buku, keabadiannya tidak sekedar tulisan yang ditinggalkan penulisnya. Tapi ia abadi karena pewarisan nilai-nilai dalam buku tersebut.

Buya Hamka telah mewarisi kita Tafsir Al-Ahzar. Tapi Hamka muda telah mewarisi novel-novel sarat nilai seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wicjk atau Di Bawah Lindungan Ka’bah.

Kyai Hasan Al-Banna pernah ditanya oleh salah seorang muridnya, kenapa ia tidak mencetak buku. Ia jawab, “Saya tidak mencetak buku, saya mencetak kader!” Akan tetapi kesungguhan dakwah dan perjalanannya ia torehkan dalam artikel-artikel di majalah dakwah yang ia terbitkan bersama murid-muridnya. Hingga lahir kumpulan tulisan tersebut dalam Risalah Dakwah serta Memoar yang ditujukan untuk para da’i.

Berbahagialah Ibnu Taimiyah, Abdullah Azzam, Buya Hamka, dan Hasan Al-Banna. Tidak sekedar abadi sepanjang sejarah umat Islam, setiap huruf yang dituliskan tumbuh menjadi dzarah kebaikan, yang mengalirkan pahala dari sisi-Nya.

Maka, mengutip motto Erwyn Kurniawan seorang jurnalis sekaligus pegiat literasi, menulislah agar kita abadi!

Tangerang, 10 Maret 2021

Yogie Edi Irawan

Posting Komentar

0 Komentar