Banjir, Bukan Agenda Salah-Salahan

 


Nyaris setiap tahun banjir selalu melanda hampir seluruh daerah di negeri ini. Mulai dari daerah bantaran sungai, hingga pinggir hutan yang sebagian besar kini sudah botak. Tak terkecuali juga kota-kota besar metropolitan. Misalnya saja Surabaya, Semarang yang beberapa waktu lalu terendam. Tentu saja yang paling kentara adalah Ibukota, Jakarta. 


Pegal rasanya linimasa di media sosial isinya sahut-menyahut dan rundung-merundung soal banjir di sebuah daerah. Menjadi tidak banjir memang prestasi, tapi merundung daerah yang banjir itu juga bukan kebiasaan baik, apalagi solusi. Kalau ada yang salah dari kebijakan pemerintahnya itu soal lain. Beri gagasan. Tapi, itu bukan prioritas ketika air sudah memenuhi rumah-rumah warga. Yang prioritas adalah empati. Biarkan para legislator dengan kewenangannya mengoreksi. Sebab, banyak ngegas bisa menimbulkan hilang empati. 


Banjir ini sejatinya harus dijadikan momentum solidaritas. Terlebih lagi pada masa pandemi begini. Yang tidak kebanjiran empati membantu yang kebanjiran. Yang kebanjiran saling menjaga diri dan keluarga. Kita ini kan bangsa gotong royong. Begitu setidaknya yang ditanamkan orang-orang tua kita. Sejak kapan pula kita berakhlak dan menjadi bangsa yang gembira melihat sesama sengsara. Ah, mungkin itu di media sosial saja. Tidak ada di dunia nyata. 


Kalau pada waktu-waktu lain barangkali ada diantara kita yang berselisih pemahaman. Seharusnya pada masalah kemanusiaan ini kita satu tindakan. Eh, semoga banjir masih masuk dalam kategori masalah kemanusiaan untuk kita. Bukan soal politik gas-gasan. Semoga. 


Inilah saatnya ormas, elemen-elemen masyarakat lain termasuk partai politik turun gunung. Tak usah alergi dengan atribut. Gunakan semua atribut masing-masing. Yang besar-besar kalau perlu. Supaya apa, supaya semua kita rukun. Berbagai elemen itu tadi, meskipun berwarna-warni atribut tetap satu tindakan dalam empati. Ini baru bangsa kita, Indonesia. Yang bhineka. Yang gemah ripah. 


Sudah lah tak perlu tulis lagi di status media sosialmu seperti ini, "daerahmu banjir, daerahku enggak", "kotaku kok gak ada banjir ya kayak kotamu". Sudah-sudahilah itu semua. Jadilah yang pertama, kedua, ketiga atau keberapapun yang hadir ditengah kesulitan sesama kita. Dalam banjir. Tentulah pula dalam bencana apapun.


Oleh: Kurnia P. Wijaya

Posting Komentar

0 Komentar