Darah Muda Salah Gejolak



Cerpen Oleh: Zico Alviandri
“Kenapa sih dia?”

Dilan bertanya kepada sahabatnya Adi yang sedang serius menatap komputer, menunjuk kepada seorang teman yang tiba-tiba pamit meninggalkan kamar kosan Dilan. Padahal mereka sedang mengerjakan tugas kelompok mata kuliah Ilmu Budaya Dasar.

“Gara-gara Dadang tuh… Dia dateng, Jalih langsung cabut.” Jawab Adi dengan tatapan tak beranjak dari monitor.

“Lah kok gara-gara urang. Dia yang sensi kok,” Dadang membela diri. Ia baru bergabung setelah ditunggu teman-teman sejak tadi. Tubuhnya beringsut menuju pojok kamar yang berukuram 4×5 meter itu, melangkah hati-hati melewati kaki-kaki temannya. Di atas kasur yang mepet ke salah satu sisi kamar, ia lemparkan tas kecilnya, lantas duduk di tepi tempat tidur mengambil posisi di samping Dilan.

“Ada apa sih dengan kalian berdua? Kok belakangan seperti saling menghindar. Padahal pengerjaan tugas ini butuh kekompakkan kita semua,” Dilan penuh selidik. Ia menatap ke arah Dadang yang tiba-tiba menjadi salah tingkah.

“Sepele masalahnya. Jalih lagi bete sama Dadang gara-gara debat soal bola. Kamu tahu kan kalo si Jalih itu Jakmania, sedangkan Dadang pendukung Persib.” Adi yang menjawab. Sementara Dadang hanya terdiam, pura-pursa sibuk melepaskan kaus kakinya.

“Lah, kok bisa? Cuma gara-gara bola pertemanan kalian berantakan?”

“Biar aja gua gak punya temen kayak Jalih. Gak asyik orangnya. Persib jadi juara, dia gak terima. Malah ngejelek-ngejelekin Persib. Iri-an orangnya.” Kali ini Dadang bersuara.

“Ya udah lah… Cuma masalah klub bola ini. Cuekin aja dia ngomong apa, toh yang penting Persib juara,” nasihat Dilan.

“Gak bisa. Persib itu darah gwe, Dilan. Gak boleh ada yang hina Persib di depan gwe!”

Adi dan Dilan cuma nyengir mendengar ucapan Dadang.

“Ya udah, bantuin gwe sini. Tolong cari jawaban nomor 5,” ujar Adi kepada Dadang. Kepala Adi sesekali menunduk melihat ke halaman sebuah buku yang terbuka di atas meja dan berada di samping kanan monitor, menyalin beberapa kalimat sebagai jawaban tugas.

“Bentar ya… Masih capek nih,” jawab Dadang yang sedang mengipas-ngipas badannya dengan sebuah buku. Tampak keringat mengalir di samping telinganya. Adi lantas berinisiatif menghidupkan kipas angin yang tak jauh dari jangkauan.
*****
Handphone Dilan yang tergeletak di samping monitor bergetar. Mengeluarkan bunyi pertanda ada pesan masuk. Lampu handphone berkedip.
“Adi, tolong ambilin handphone ku dong,” ujar Dilan kepada Adi yang tengah mengetik. Sigap, Adi menyerahkan barang yang diminta kepada Dilan.
Dilan menyentuh layar handphone yang berukuran layar 4 inchi itu. Jarinya bergerak membentuk sebuah pola untuk membuka kunci. Tampak ada pemberitahuan bahwa sebuah pesan masuk melalui aplikasi whatsapp. Ia membuka pesan itu. Terlihat sebuah tulisan yang dikirimkan oleh Jalih: “Dilan, maaf ya gua buru-buru pergi tadi.”
Dahi Dilan mengernyit. Telunjuknya menyentuh kolom balasan dan mulai mengetik, “Iya gpp. Ada apa Jalih? Boleh tau nggak?” Dilan memencet tombol kirim dan menanti balasan dari Jalih.
Tidak lama, masuk sebuah pesan. “Mungkin lu udah dikasih tau Adi. Gua lagi bete sama Dadang. Males kalo ada dia.”
“Kok bisa? Ceritanya gimana? Gara-gara bola ya? Masak cuma gara-gara itu aja kalian diem-dieman?”
“Iya, awalnya kita lagi ngomongin bola. Terus obrolan nyerempet ke Piala Presiden yang udah berakhir beberapa waktu lalu. Dari awal, obrolan kita adem-adem aja. Terus gwe ungkapin opini gwe, piala kemerdekaan itu turnamen abal-abal. Gak perlu bangga bisa jadi juara di turnamen itu.”
Pesan dari Jalih tak berlanjut. Dilan membalas, “terus?”
“Ya gitu deh… Dia gak terima Persib dibilang juara di turnamen abal-abal. Terus dia mulai ngejelek-jelekin Persija. Ya gwe bales.”
“Terus?”
“Terus ya… Akhirnya kita diem-dieman sampe sekarang.”
“Sejak kapan? Maksudnya, kapan kejadian kalian saling ejek klub bola?”
“Dua minggu yang lalu.”
“Gak ada yang mulai untuk damai?”
“Gak ada, Dilan. Gwe juga ogah mau mulai baekan sama dia. Orangnya gak asyik.”
“Mau sampe kapan? Padahal tadinya kalian kompak. Masak cuma gara-gara bola, jadi marahan?”
“Gak tau sampe kapan. Pokoknya kalo dia gak minta maaf duluan, gwe gak mau baekan. Dia yang mulai ngejek Persija kok.”
“Gak seru ah… Gak ada tanding game PES lagi. Gak ada ngadu game dota lagi.”
“Biarin deh.”
“Lu gak dapet info lagi soal Rina, suadaranya Dadang, yang kuliah di Fakultas Psikologi itu.”
“Eh iya… Aduh gimana nih…??”
*****
Tugas yang diberikan oleh dosen Ilmu Budaya Dasar itu harus dipresentasikan di depan kelas. Semua anggota kelompok harus maju, dan bergantian menjelaskan isi tugasnya.
Ketika kelompok Dilan mendapat giliran, suasana kikuk antara Jalih dan Dadang tertangkap dengan jelas oleh seluruh isi kelas. Dadang dan Jalih saling hindar dan berdiri berjauhan. Kondisi ini juga membuat risih teman kelompoknya yang lain. Sementara di antara mahasiswa di dalam kelas ada yang saling berbisik mengomentari kejadian antara mereka berdua. Ada juga yang bersorak, “eeaaa…”, menggoda kikuknya gerak Jalih dan Dadang.
Tapi Dilan bersyukur, presentasi kelompok mereka akhirnya berjalan mulus. Dilan, Adi, Jalih, dan Dadang kembali ke tempat duduk disertai tepukan tangan seisi kelas dan celetukan, “yang kompak ya…!” dari beberapa teman.
Dan ketika mata kuliah berakhir, Kea, mahasiswi berjilbab rapi yang duduk tak jauh dari mereka bersuara agak keras kepada Tera dan Eja, dua orang gadis sahabatnya yang duduk di samping kiri dan kanannya.
“Tera, Eja, muslim itu gak boleh saling bermusuhan. Kata Allah, ‘Innamal mu’minuna ikhwah’, sesungguhnya mukmin itu bersaudara. Rasulullah melarang seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Jadi walau pun sifat kalian berdua berbeda, yang satu eksis banget di sosmed, yang satu kalem banget dengan bukunya, gak boleh saling bermusuhan ya!”
Tera dan Eja tersenyum dan mengangguk-angguk. “Iyaaa… Kita cinta damai kok,” jawab Tera agak keras.
“Udah deh Kea, nasehat begitu mah gak mempan. Jalih sama Dadang juga udah apal ayat itu kok,” celetuk Adi.
“Dih… siapa juga yang lagi nasehatin Jalih sama Dadang? Aku kan lagi nasehatin Tera sama Eja.” Jawab Kea.
“Ah… Triknya basi tauk…” ujar Adi lagi.
Kea, Eja, dan Tera terkekeh. Sedangkan wajah Dadang dan Jalih memerah. Disindir begitu mereka jadi salah tingkah. Dadang pura-pura mengutak-atik handphonenya, sedang Jalih pura-pura mencari sesuatu dari dalam tasnya.
Sementara itu mata Dilan menangkap sesuatu dari tangan Tera.
“Apa itu yang di tangan kamu, Tera? Brosur lomba?” Tanyanya.
“Iya. Lomba bikin video dalam rangka hari sumpah pemuda. Kenapa Dilan?”
“Boleh liat?”
Tera menyodorkan kertas dengan design yang ciamik yang ada di tangannya itu kepada Dilan. Kertas itu pun dibaca oleh Dilan dengan seksama. Merenung sejenak, tiba-tiba Dilan berujar, “Aha… Mainkan Tera!”
“Apa Dilan? Mainkan apa?” Tanya Tera setengah terkejut.
“Kita ikut lomba ini.” Jawab Dilan lagi.
“Emang kamu punya konsepnya?” Tanya Tera lagi.
“Iya. Dan kita butuh dua teman kita yang ganteng-ganteng itu. Jalih dan Dadang. Mereka adalah perwakilan dua supporter yang selama ini bermusuhan. Lantas mereka disatukan oleh semangat sumpah pemuda.” Ujar Dilan. Ia tahu betul Tera jago dalam hal fotografi, videografi, dan dunia media sosial. Tera bisa diandalkan dalam masalah ini.
“Keren… keren…!” Kea, Eja, Tera, dan Adi serempak menyahut.
“Ih… ogah.” Jalih dan Dadang juga tiba-tiba kompak dengan sahutannya.
“Ayo kita matengin konsepnya. Boleh juga ide kamu,” Tera antusias. “Dadang, hadiah lomba ini lumayan gede. Lima puluh juta rupiah dari sponsor perusahaan telekomunikasi. Walaupun angka segitu dibagi-bagi, tetep lebih dari cukup untuk menuhin kosan kamu dengan bungkus mie instan. Jalih, ini kesempatan kamu buat memikat Rina. Kapan lagi dia bisa liat bakat acting kamu?” Tera mengiming-imingi dua orang temannya yang terlihat risih dengan skenario yang disiapkan Dilan dan kawan-kawan.
Jalih dan Dadang tak menjawab.
“Gimana? Setuju ya!” ujar Tera.
Dilan mengambil inisiatif. Tangan kanannya mengambil tangan Dadang, dan tangan kirinya mengambil tangan Jalih yang duduknya berjauhan. Mencoba menyatukan tangan kedua temannya itu, tapi tidak sampai. Akhirnya Dilan berujar sendiri, “Deal!”
Seketika tepuk tangan membahana di kelas itu.
*****
“Hai. Gwe Jalih. Lu liat dong jersey gwe. Persija banget broo!! Tapi bukan berarti gara-gara bola gwe mengorbankan persahabatan gwe.”
“Betul. Urang Dadang. Urang teh bobotoh dari lahir. Darah urang warnanya biru. Persib pisan. Tapi urang tetep bersahabat dengan Jalih yang jakmania.”
Kedua orang itu berangkulan. Lantas kompak berujar, “Ini sumpah pemuda gaya gwe. Gimana sumpah pemuda gaya lu? Tunjukin!”
Tepuk tangan membahana di dalam auditorium gedung Pemuda, bersamaan dengan selesainya sebuah tayangan yang ditampilkan melalui sebuah layar lebar di bagian depan aula.
“Itu lah tadi juara ketiga lomba film pendek dengan tema ‘Sumpah Pemuda Generasi Z’, yang berjudul ‘Darah Muda di Dalam Bola’, karya tim ‘Tera and the genk’. Kepada seluruh personel tim dipersilakan maju.” Dari atas panggung, MC memberi pengumuman kepada audien.
Beberapa orang bangkit dari kursi, lantas berjalan menuju panggung, diiringi tepuk tangan yang meriah.
“Makasih Tera, akhirnya kebutuhan mie instant gw tercukupi. Hehehe… Walau pun juara tiga cuma dapet sepuluh juta, ya lumayan lah.” Dadang berbicara kepada Tera yang berjalan beriringan.
“Gwe juga terima kasih Tera. Gimana ya kata Rina ngeliat acting gwe?” Jalih ikut bersuara.
“Yang penting kalian damai lagi. Gitu dong, punya darah muda jangan salah gejolak. Urusan bola aja pake berantem. Harusnya darah muda dialirin buat hal-hal yang kreatif begini,” Dilan yang berjalan di belakang mereka menanggapi.
Malam itu menjadi begitu meriah. Kontes ini telah merekatkan kembali dua orang anak muda yang punya darah bergejolak. Sekaligus memberi segudang pelajaran tentang persatuan serta kreatifitas.

Posting Komentar

0 Komentar