Jejak Jernih Seorang Pejuang



Oleh : Murtini, S. TP

Kabid Komdigi PKS Kabupaten Madiun


Ada saat-saat dalam sejarah ketika seorang pemuda tak memilih jalan paling mudah, tetapi memilih jalan paling benar. Pada umur ketika sebagian besar anak-anak muda masih sibuk bertarung dengan pilihan jurusan kuliah, Bung Hatta sudah berdiri di lorong-lorong intelektual Eropa, menapaki tangga akademik di Handels Hogeschool, Rotterdam. Usianya baru sembilan belas—angkanya tak lebih dari sekadar dua digit, tetapi jiwanya telah matang jauh melampaui zaman.


Di tengah dunia yang masih jauh dari kemewahan teknologi, transportasi, dan sumber daya pendidikan, Hatta berjalan dengan kepala tegak. Ia datang sebagai anak jajahan, tetapi berdiri sebagai manusia merdeka. Tulisan-tulisannya, lebih tajam dari pedang mana pun, membelah kejumudan kolonialisme. Keberaniannya membela diri di pengadilan Rotterdam adalah kisah yang seharusnya diajarkan berulang-ulang kepada generasi sekarang—bahwa cinta pada kebenaran tak pernah tunduk pada ancaman penjara.


Ia bisa saja memilih pulang sebagai bangsawan intelektual, berkarir di Belanda, hidup nyaman, dihormati, dilimpahi kesempatan. Tetapi ia pulang ke tanah airnya—negeri yang bahkan belum memiliki kebebasan untuk memutuskan nasibnya sendiri. Ia pulang untuk berjuang, bukan berkuasa.


Dan perjuangan itu menuntut harga mahal: sembilan tahun pembuangan, kesepian panjang di Digul, Banda Neira, dan tanah-tanah terasing lainnya. Tapi justru di sanalah pikirannya, seperti lampu minyak yang tetap menyala di malam paling pekat, terus mengirimkan api penyuluh bagi kaumnya.


Dan pada akhirnya, bahkan ketika ia telah menjadi wakil presiden, Hatta menikah dengan mas kawin paling indah, paling sederhana, sekaligus paling mulia: sebuah buku—buah pikirannya, hasil perenungannya, keringat dan air mata perjuangannya. Sebuah simbol bahwa intelektualitas dan komitmen lebih berharga dari emas atau berlian.


Bandingkanlah, saudara-saudara, dengan sebagian wajah pejabat masa kini. Baru sebentar berkuasa, pesta pernikahan keluarga digelar seperti perayaan kekaisaran. Rumah-rumah mewah berdiri di mana-mana. Mobil mengkilap berganti setiap tahun. Kekuasaan diperlakukan seperti tiket menuju kemewahan, bukan amanah. Prestasi? Terkadang hanya kabut yang tak bisa diraba. Ijazah palsu bergentayangan—gunung es yang puncaknya saja terlihat, sementara lembah gelapnya kita semua telah lama tahu.


Namun, kita tidak boleh kehilangan harapan. Tidak semua orang melupakan hakekat kemerdekaan. Tidak semua pejabat buta terhadap nurani. Masih ada guru yang menggenggam kapur dengan keteguhan dan sabar. Masih ada tenaga kesehatan yang berkejaran dengan waktu demi menyelamatkan nyawa di pelosok negeri. Masih ada abdi negara yang memilih jujur meski tak kaya. Masih ada ibu rumah tangga yang mendidik generasi dengan akhlak dan kecerdasan, mencetak masa depan dari ruang paling kecil dan paling hening di rumah.

Mereka inilah pewaris benih yang ditanam para pendiri bangsa.

Dan merekalah yang layak disebut pahlawan hari ini.

PKS percaya bahwa negeri ini masih memiliki cadangan kebaikan yang besar—terpendam seperti mata air bersih yang menunggu dipancarkan. Kita percaya bahwa politik bukan panggung hura-hura, tetapi medan amanah. Kita percaya bahwa integritas lebih mahal dari jabatan. Kita percaya bahwa bangsa ini bisa kembali melahirkan anak muda seperti Hatta: berani, cerdas, berakar, pulang membawa cahaya.


Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, kita mengingatkan: kemajuan bukan sekadar teknologi, tetapi akhlak. Kemerdekaan bukan sekadar upacara, tetapi pengabdian. Dan kepemimpinan bukan soal kemewahan, tetapi kesanggupan menjaga amanah hingga tuntas.


Hari Pahlawan bukan untuk nostalgia, tetapi untuk menyalakan kembali api yang pernah membakar dada mereka yang berjuang sebelum kita ada.


Semoga kita, generasi hari ini—tanpa pedang, tanpa senjata—tetap dapat mewarisi keberanian mereka lewat kerja, ketulusan, dan kejujuran.


Karena bangsa besar hanya lahir dari jiwa yang besar.


Selamat Hari Pahlawan Nasional

10 November 2025

Posting Komentar

0 Komentar