Menyelami Makna Regenerasi



oleh: R. Irwan Waji


Regenerasi adalah sebuah keniscayaan. Ia bukan sekadar pergantian nama dalam struktur, bukan hanya seremonial pelimpahan jabatan. Tapi sebuah peristiwa ruhani—perpindahan jiwa, semangat, dan cita-cita, dari satu generasi pelayan ke generasi berikutnya.


Regenerasi yang sejati melahirkan kader-kader yang bukan menjadi antitesa pengurus lama, tetapi menjadi kelanjutannya—penyempurna dan penutup cela dan pemelihara jejak kebaikan yang sudah pernah ada. Mereka datang bukan dengan ambisi baru yang mencabut akar, tetapi dengan energi baru yang menyiram tunas perjuangan agar tumbuh lebih kuat dan menjulang lebih tinggi.


Dalam regenerasi, yang diwariskan bukan hanya program, tetapi nilai, kebijaksanaan, dan semangat pengabdian. Dan yang diterima bukan hanya tugas, tapi amanah untuk menjaga marwah, menumbuhkan kemajuan, dan mengokohkan keberlanjutan


Karena hakikat perjuangan bukan siapa yang memimpin, tapi siapa yang siap melanjutkan amanah dengan ikhlas, adil, dan rendah hati.


Regenerasi bukan akhir kepemimpinan yang lama,

tapi awal bagi kepemimpinan yang lebih matang karena adanya warisan pembelajaran dari sang pendahulu.


Ingat Saudaraku ....


Jabatan ini bukan panggung,…, tempat orang tampil memamerkan diri, mengharapkan sorak kagum atau aplaus pengikut. Jabatan adalah mimbar tanggung jawab, tempat seseorang berdiri lebih tinggi bukan untuk merasa lebih mulia, tapi agar lebih dulu melihat bahaya, lebih dulu merasakan beban, dan lebih dulu memberi perlindungan.


Jabatan ini bukan mahkota,...., 

tapi beban yang diletakkan di pundak. Ia bukan lambang kemuliaan, melainkan ladang pengabdian. Yang menjadikannya bernilai bukan gelar atau posisi, tapi keikhlasan dalam bekerja, kesetiaan pada amanah, dan keberanian untuk berkorban demi kebaikan orang banyak.


Jabatan ini bukan hadiah,....., tapi ujian. Ia mengukur sejauh mana seseorang mampu menahan godaan kuasa, menjaga integritas dalam sepi, dan tetap teguh dalam badai kritik. Dan seperti ujian lainnya, jabatan akan ditarik kembali, dan saat itu tiba, yang dikenang bukan kejayaan, tapi jejak manfaat dan warisan nilai.


Maka ketika jabatan datang, terimalah dengan rendah hati.

Ketika ia pergi, lepaskanlah dengan lapang dada.

Karena pada akhirnya, yang abadi bukan posisi, tapi prestasi dan amal yang mengisi ruang hati, meningkatkan taqarrub  dan jejak yang menyuburkan cinta kepada sesama. 


--

Jika para pendahulu kita memiliki kekurangan, maka biarlah kekurangan itu diproses melalui mekanisme yang telah disepakati bersama. Kita bukan datang untuk menjadi hakim atas masa lalu, tetapi untuk menjadi pelanjut amanah di masa kini dan pembuka harapan bagi masa depan.


Setiap kepemimpinan adalah ruang belajar. Ada keberhasilan yang patut diteladani, dan ada kekeliruan yang menjadi pelajaran. Tapi kedewasaan sejati adalah ketika kita menahan diri dari menampakkan kekurangan itu di hadapan khalayak, dan memilih untuk memperbaiki sistem tanpa mengorek luka lama.


Organisasi yang dewasa bukan yang bebas dari kesalahan, tetapi yang mampu memperbaiki diri tanpa kehilangan adab. Dan mekanisme pertanggungjawaban itu ada—disusun dalam struktur, dijalankan dengan aturan, dijaga oleh nilai keadilan dan kebijaksanaan.


Kita datang bukan untuk mengadili, tetapi untuk memperbaiki dan melanjutkan.

Kita tidak memilih jalan cepat melalui tudingan, tapi jalan panjang melalui perbaikan sistem yang elegan.


Karena keadilan tanpa adab akan melahirkan kekacauan, dan perubahan tanpa kebijaksanaan akan menimbulkan keretakan.


Keterpilihan itu bukan semata-mata karena prestasi, kepandaian, atau popularitas. Adakalanya ia hadir karena ada ruang yang harus diisi atau biasa disebut momentum. Ada amanah yang harus dipikul, dan ada kehendak Allah yang sedang berjalan melalui jalan-jalan tak terduga, ada hikmah besar dibaliknya.  


Amanah itu kadang datang bukan kepada yang paling siap, tapi peluang kepada mereka yang siap untuk belajar, bertumbuh, dan melayani. Karena dalam sejarah kepemimpinan yang jujur, tak selalu yang terbaik yang terpilih, tetapi yang terpilih diharapkan  kelak untuk menjadi yang terbaik, insyaallah aamiin.


Maka yang terpenting bukan bagaimana kita terpilih, tapi bagaimana kita memaknai keterpilihan itu sebagai panggilan tanggung jawab, bukan panggung penghormatan. Sebagai ladang pengabdian, bukan singgasana kebanggaan.


Karena dalam pandangan manusia, keterpilihan bisa tampak biasa, tapi dalam pandangan Allah SWT mungkin itulah jalan kepahlawanan yang disiapkan untuk kita, karena itu jagalah dan peliharalah kemurnian niat, takutlah kepada Allah melebihi takutnya kita akan kehilangan posisi. Karena waktu jualah yang akan menjadi penyaksi maka berharaplah banyak tangan menengadah ke langit demi kemudahan, kesuksesan dan keselamatan kita dalam menjalankan amanah ini. 


“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang hamba, maka Dia akan mempergunakannya (mempekerjakannya).” (HR. Al-Bukhari, no. 2882)


Jabatan, amanah, dan keterlibatan kita dalam dakwah atau organisasi bukan bukti kehebatan kita, tapi bukti bahwa Allah sedang memberi kita kesempatan menjadi alat bagi kebaikan-Nya. Wallahu a'lam bish shawab (r)


Makassar,  26 Juli 2025

Posting Komentar

0 Komentar