Seiring dengan perkembangan teknologi, muncul berbagai fitur yang menawarkan kemudahan bagi masyarakat, terutama dalam bidang informasi dan komunikasi. Hingga kini kehadirannya dianggap sebagai kebutuhan primer. Dengan kemajuan informasi teknologi tersebut masyarakat dengan mudah dapat mengakses berbagai jenis informasi terkait kesehatan, pendidikan, bisnis, hiburan, kuliner, hobi, dan lain-lain.
Salah satu produk teknologi informasi yang paling sering digunakan oleh masyarakat--khususnya masyarakat Indonesia adalah gawai, atau bahasa kerennya “gadget”. Dengan gadget masyarakat melakukan interaksi sosial tanpa harus bertemu langsung. Hampir semua lapisan masyarakat menggunakannya. Bahkan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), 67,88% penduduk Indonesia yang berusia 5 tahun ke atas sudah memiliki ponsel atau handphone pada tahun 2022. Persentase tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 65,87%.
Namun, dibalik manfaatnya, gadget juga menyimpan dampak buruk terhadap perkembangan perilaku serta kesehatan mental manusia, terutama di kalangan anak-anak. Sebab selain digunakan sebagai alat komunikasi dan sumber informasi, handphone yang dilengkapi berbagai macam fitur tersebut dapat dengan mudah diakses; media sosial, tontonan, game, dan jenis aplikasi lain yang belum tentu sesuai usia. Apabila tidak ditangani secara cepat dan tepat dapat mengakibatkan kecanduan gadget atau dikenal juga dengan istilah Sindrom Nomofobia.
Anak-anak yang kecanduan gadget dapat mengalami gangguan kesehatan seperti gangguan penglihatan, pola tidur yang terganggu (tidak teratur, postur tubuh jadi bungkuk, menurunnya minat belajar dan konsentrasi, obesitas, tidak bersosialisasi, dan bahkan ada yang mengalami gangguan jiwa.
Agar anak-anak terhindar dari ketergantungan gadget, perlu dilakukan langkah antisipasi seperti memberi batasan waktu bermain gadget. Misalnya, gadget hanya boleh dimainkan selama 1-2 jam dalam sehari setelah mereka menyelesaikan semua kewajiban sekolah dan rumah serta tentu tetap dalam pengawasan orang tua agar anak tidak mengakses konten-konten yang tidak sesuai dengan kebutuhannya.
Selain membatasi waktu pemakaian, orang tua harus mengantisipasi waktu-waktu kosong anak. Bersama melakukan aktivitas menyenangkan bisa menjadi alternatif, misalnya bersepeda bersama, joging, jalan-jalan ke taman, piknik keluarga, dan lain-lain, atau kalau tidak memungkinkan melakukan kegiatan di luar rumah, agenda kegiatan bisa diubah menjadi masak bersama, nonton bareng keluarga, main ular tangga, membaca buku, ngobrol bareng, gotong royong membersihkan rumah, dan lain-lain. Intinya jangan biarkan anak melewatkan waktu kosongnya sendirian.
Menetapkan area bebas gadget juga bisa dijadikan salah satu solusi. Area bebas gadget adalah area di mana tidak seorang anggota keluarga pun yang boleh menggunakan gadget. Letak area tersebut bisa disepakati oleh seluruh anggota keluarga, misalnya ruang makan, ruang keluarga, tempat ibadah, dan lain-lain. Konsep ini juga mengajarkan kepada seluruh anggota keluarga untuk tidak bermain gadget ketika makan, tidak boleh menggunakan gadget ketika bercengkrama bersama keluarga, mematikan gadget ketika masuk waktu ibadah dan ketika waktunya istirahat/tidur.
Anak-anak adalah peniru ulung. Mereka cenderung mengikuti dan meniru apa yang dilakukan oleh orang tua ketimbang apa yang dikatakan. Jika mereka sering melihat orang tuanya makan sambil main gadget, main game online hingga larut malam, lebih senang bermain media sosial ketimbang bercengkrama dan ngobrol bersama anak, maka tidak menutup kemungkinan anak-anak akan melakukan hal yang serupa. Jadi, mulailah lebih bijak dalam menggunakan gadget. Jadilah orang tua yang dapat memberi contoh dan teladan yang baik untuk anak-anaknya.
Endang New
Bontang, 15 Juli 2024
0 Komentar