oleh: Surya Darma, Lc.
Tempatnya sederhana. Tak ada AC atau ornamen yang menawarkan estetika. Posisi meja dan kursinya malah mengambil ruang selasar pertokoan. Tapi jangan tanya cita rasa kopinya. Di sudut Blok M Jakarta. Maknyus dah!
Pemiliknya seorang perempuan keturunan Tionghoa. Semangat jualannya besar. Ini bisa disaksikan dari caranya memperlakukan pengunjung. Semuanya disapa dengan baik dan sopan. Hebatnya lagi, usianya saya taksir mendekati 70 tahun.
Ia kaget ketika tahu saya dari Makassar.
"Ibu bapak saya lahir di Makassar. Sampai sekarang tante saya masih ada di sana. Pasnya di Jl. Lasinrang. Jualan Jalangkote," demikian kata ibu pemilik warkop.
Usia yang sudah melampaui usia pensiun seharusnya membuat ibu pemilik rehat saja di rumah. Tapi bagi saudara kita dari kaum peranakan, usia seperti ini tidak menjadikan mereka malas untuk terus mencari cuan. Depan warkop, ada gelaran kue yang ramai dan meriah mulai menggeliat setelah subuh. Pedagangnya hampir semuanya juga warga keturunan.
Warga keturunan dikenal antusias dan gigih mencari uang. Hasilnya juga nampak. Mereka rata-rata kaya. Di negeri kita, sembilan dari sepuluh orang terkaya adalah warga keturunan.
Saya tahu mereka gigih bekerja karena di masa kecil saya sering diajak ayah keliling cari barang yg akan dijual dari toko-toko grosir milik warga keturunan. Kami disambut dengan ramah. Setelah itu, sang bos mulai menjelaskan stock barang yang ada. Dan saya ingat, hampir semua bos saat itu didampingi putra putrinya dalam mengelola usaha.
Jadi mereka memang gigih dan mau menularkan kerja keras cari cuan kepada anak-anak mereka. Karena itu, mencaci maki mereka sebagai kerumunan orang rakus, serakah, nir simpati, bagiku berlebihan. Ini sesuatu yang tidak berdiri sendiri.
Meski kekayaan negeri ini bukan di tangan pribumi, tapi merekalah penentu kebijakan dan keputusan. Pribumi harus introspeksi.
jangan tahunya main tuduh saja.
Bagiku, pribumi kadang lebih serakah dan kapitalis. Kebanyakan mereka hanya mengandalkan kewenangan yang diberikan sambil ongkang-ongkang kaki dalam ruang nyaman berpendingin.
Di Dubai, Jeddah, Doha, dan Kuwait, warga asing berjubel. Bahkan penduduk asli Emirat dan Qatar lebih sedikit daripada warga asing. Tapi mereka adalah tuan di negara sendiri. Mereka pandai menyiasati potensi negeri mereka.
Penduduk Arab di sana paham bahwa SDA-nya melimpah. Tapi mereka menolak jadi kacung. Aramco mereka nasionalisasi lalu dibuat sebagai mesin penghasil dollar. Geo strategi ditambah minyak melimpah mendorong Dubai membuka gerbangnya lebar-lebar bagi warga asing. Dan akhirnya kita mendapati Dubai muncul sebagai kota paling modern sekarang ini.
Menyalahkan orang lain, apatah lagi keturunan yang sudah memiliki kewarganegaraan WNI, tidak bijak. Ini tindakan sesat. Kita harus jujur bahwa yang membuat ketimpangan di negeri ini adalah para pengambil keputusan. Mereka itulah yang serakah dan juga - apa boleh buat - sadis. Mereka memperbudak saudaranya dengan ongkang-ongkang kaki dalam ruang sejuk. Modalnya pena kewenangan to'.
*Penulis adalah Ketua BPW PKS Sulawesi
0 Komentar