Oleh: Subhan Triyatna
(Tenaga Ahli F-PKS DPRD Kab. Cirebon)
“Ibarat Perang Barathayuda, pemilu tak ubahnya kuruksethra yang menjadi medan pertempuran sesama ‘saudara’ satu partai dengan uang sebagai senjata pamungkasnya.”
-Burhanuddin Muhtadi, Kuasa uang.
Buku “Kuasa Uang” adalah versi revisi dari disertasi Burhanuddin Muhtadi di Australian National University (ANU) yang meneliti tentang Politik Uang di Indonesia Pasca Orde Baru. Data-data berasal dari penelitian langsung dan dari berbagai lembaga survei semenjak 2006-2019.
Metodologi dan data-data secara rinci dan detil bisa dibaca di buku tersebut. Disini saya hanya ingin merangkum temuan-temuan menarik dari penelitian panjang tersebut. Buku ini ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang politik uang: mengapa, siapa saja aktornya, bagaimana operandinya, seberapa masif dan seberapa efektif.
Indonesia merupakan juara ke-3 dalam hal politik uang. Sebanyak 33% Pemilih di Indonesia mengaku terpapar politik uang, artinya 1 dari 3 orang pemilih pernah ditawari uang untuk mencoblos suatu kandidat. Peringkat 1 dan 2 berturut-turut adalah Uganda dan Benin dengan 41% dan 37%. Sementara Negara tetangga, Malaysia, menempati urutan 16 dengan 7% pemilih yang terpapar politik uang. Politik Uang lebih masif di pemilu legislatif dibandingkan pemilu Eksekutif (Kepala Daerah/Presiden).
Caleg dan Timses menargetkan “amplop” untuk berebut pemilih partisan yaitu mereka yang punya kedekatan terhadap partai sebab lebih bisa dipercaya dibandingkan pemilih mengambang yang oportunis (ambil amplopnya, pilihan sesuka hati). Namun, dalam temuan dilapangan, “amplop” justru lebih banyak menyasar pemilih mengambang sebab pemilih partisan atau mereka yang merasa dekat dengan partai hanya berkisar 14,8% dari total populasi pemilih dan biasanya diperebutkan oleh caleg dalam satu partai.
Hal yang mengejutkan lainnya adalah, meskipun politik uang sangat masif dan “brutal”, namun hanya 10,2% pemilih yang mendasarkan pilihannya karena diberi uang. Padahal ada 33% pemilih yang terpapar. Hal ini membuktikan bahwa 2/3 amplop yang disebar salah sasaran yang tadinya ditujukan untuk pemilih loyal namun ternyata banyak jatuh ke pemilih mengambang yang tidak bisa dipegang komitmennya.
Menurut Burhanuddin Muhtadi, hal ini terjadi karena 3 hal. Yang pertama, ada kebiasaan dari para tim sukses untuk melebih-lebihkan jumlah pemilih yang siap diguyur uang. Yang kedua, tidak jelasnya konsep loyalitas, pemilih loyal yang disebut caleg dan tim sukses sebenarnya tidak betul-betul loyal, hanya sekedar kenal atau dekat sehingga meski sudah diberi uang namun banyak yang tidak datang ke TPS atau memilih calon lain. Yang Ketiga, adanya perilaku predatoris tim sukses yang berburu rente dari uang caleg yang harusnya disebar atau dengan bahasa yang lebih umum, ditilep.
Pertanyaannya, jika hanya 10,2% pemilih yang bisa dipengaruhi dengan uang, mengapa politisi masih bersemangat untuk melakukan politik uang atau klientelisme?
Jawabannya adalah meskipun kecil dan tidak efesien, politik uang cukup untuk memenangkan perebutan kursi intrapartai. Sebab dalam konteks sistem proporsional terbuka, pertarungan sebenarnya adalah pertarungan saudara antar caleg dalam satu partai. 1-2% margin suara yang berasal dari malapraktik politik uang cukup untuk memenangkan pertarungan itu.
Ada 2 alternatif teori yang menjelaskan mengapa Caleg hobi melakukan politik uang. yang pertama adalah “Prisonners Dilemma” atau dilema tahanan yaitu bahwa politik uang merupakan respon dari caleg sebab caleg lain melakukan politik uang lebih dulu atau lebih banyak. Dalam kondisi yang ideal dimana semua tidak melakukan politik uang, pertarungan akan berjalan adil. Namun apabila seorang pemain tiba-tiba melakukan politik uang, pemain lain yang siap menang kemungkinan besar akan kalah. Jadi, Politik uang adalah respon dari caleg untuk mengamankan suara yang telah ia kumpulkan selama kampanye.
Kedua, Strategi yang relatif lebih efesien. Meskipun efesiensi politik uang kecil, namun jika dibandingkan dengan strategi pengumpulan suara lain, politik uang masih relatif lebih efesien. Contohnya adalah strategi club goods atau memberi bantuan pada sekelompok masyarakat. Pemberian bantuan sering dianggap memberi manfaat kepada kelompok sehingga perasaan untuk balas budi pribadi relatif kecil.
Bagaimanapun, politik uang merupakan malapraktik dalam demokrasi. Politik uang menjadikan pertanggungjawaban menjadi terbalik. Dimana seharusnya Masyarakat yang bisa meminta pertanggungjawaban kinerja dari anggota legislatif terpilih menjadi politisi yang meminta pertanggungjawaban pemilih atas amplop yang sudah diberi.
Burhanuddin Muhtadi memaparkan beberapa solusi kebijakan untuk mengobati penyakit politik uang ini:
Pertama, Sistem Proporsional terbuka diubah menjadi proporsional tertutup. Proporsional terbuka menjadikan pemilu lebih kandidatsentris sehingga mendorong caleg melakukan politik uang untuk mengejar margin suara tipis.
Kedua, Sistem pemilu distrik. Satu anggota mewakili satu daerah. Pertanggungjawaban anggota terpilih menjadi lebih besar kepada konstituen sehingga akan mengurangi politik uang.
Ketiga, Apabila sistem proporsional terbuka tetap dipertahankan, perlu redesain elektoral seperti distric magnitude atau pengurangan jumlah kursi. Penelitian membuktikan semakin banyak kursi yang diperebutkan dalam satu daerah menyebabkan semakin marak politik uang karena margin kemenangan yang diperlukan menjadi tipis.
Keempat, Apapun reformasi sistem pemilu yang dilakukan, politik uang akan tetap merajalela selama tidak ada penegakan hukum yang tegas. Salah satu politisi Golkar meyakini bahwa polisi atau bawaslu tidak akan memberi sangsi pada pelaku politik uang sebab jika begitu penjara akan penuh.
Kelima, Edukasi. masyarakat Indonesia sangat permisif terhadap politik uang bahkan menerima hadiah untuk pemberian suara. Berakar kelindan dari budaya timbal-balik. Perlu edukasi efek negatif politik uang yang akan mengurangi kualitas lembaga legislatif dan eksekutif. Edukasi masyarakat harus bersinergi dari KPU, Bawaslu, LSM, Media bahkan Parpol.
Mungkin buku ini cukup membuat kaget pembaca awam seperti saya, namun bisa jadi biasa saja jika yang membaca adalah politisi. Tentu tidak semua insight bisa saya tulis dan banyak lagi hal menarik dari buku ini yang belum saya ungkap. Harapannya tentu agar anda membaca sendiri.
0 Komentar