Detti Febrina
Anda kenal nama-nama ini? Nadia Omara, Hirotada Radifan, Nessie Judge, Korea Reomit?
Kalo enggak, setidaknya jutaan subscriber mereka di youtube menunjukkan jutaan orang pula yang betah mendengar mereka bercerita. Secara sporadis story teller juga bermunculan di tiktok dengan jumlah like yang gak kalah signifikan.
"Memang mereka ngapain sampe segitu banyak subs-nya?" Ya, cerita aja. Berbagai genre mulai yang informatif, lawak, horor, inspiratif.
"Cuma" bercerita.
Tapi ternyata memang ga bisa disebut "cuma". Storytelling itu kekuatan. Di era daring, digital storytelling itu tuntutan netizen. Tuntutan zaman.
***
Kebiasaan bercerita sama dengan usia budaya itu sendiri. Storytelling is as old as culture. Begitu salah satu opening di NatGeo Society.
Storytelling semakin menemukan urhensi di era yang menurut duet rujukan jurnalisme modern Bill Kovach dan Tom Rosenstiel sebagai era keberlimpahan informasi (information overload). Ketika teori jarum hipodermis sudah kurang relevan, ketika "yang menyuntik" dan "yang disuntik" makin setara. Konsumen makin setara dengan produk (pemilik bisnis). Guru setara dengan murid. Politisi setara dengan konstituen. Media-media besar justru ngambil konten dari media sosial rakyat jelata.
Lu punya medsos, lu punya kuasa (asal ngerti gimana makenya).
Konsumen, konstituen, murid, jamaah atau rakyat yang dulu dipersepsi subordinat, makin gak suka digurui, makin kritis ketika dijejali propaganda [itu sebab orang makin eneg, ges, dengan konten caleg yang full "aer laut asin sendiri"]. Berbeda ketika iklan bahkan sekadar konten sese-politisi disajikan dengan cara bercerita.
Murid yang terkantuk-kantuk juga akan lebih antusias kalo gurunya ngajar dengan bercerita. Pedakwah yang hanya tell, bukan show, cenderung membosankan. Komunitas Read Aloud muncul di mana-mana seiring makin terliterasinya orang tua dan pendidik bahwa mendongeng atau membacakan cerita secara bersuara punya dampak luar biasa terhadap aktivasi motor cortex, sensory cortex, dan frontal cortex otak anak.
Dengerin Cerita Lebih Menarik dari Info Faktual
Mengapa kita lebih senang dengerin cerita, dibanding menerima info faktual? Mengapa "cerita" lebih mudah diingat dibanding hard news? Setidaknya ada lima sebab.
Pertama, mekanisme otak antara si pencerita (story teller) dan yang menyimak (listener) bekerja dalam satu pola yang sama. Mekanisme ini disebut neural coupling (sambungan neural) dan mirroring (pencerminan). Sederhananya, begitu dengar cerita, kita ngerasa relate dengan cerita itu dan dengan orang yang bercerita.
Kedua, cerita bikin pendengar merasa lebih terhubung secara emosional dengan yang bercerita. Cerita yang menggugah emosi memunculkan lebih banyak oksitosin, hormon yang bertanggungjawab terhadap rasa welas asih, kepercayaan, dan kepekaan sosial. Kita nonton kakek-kakek yang terpincang-pincang bawa gembolan kayu bakar, lalu ditolong sesenetizen yang memvideokan. Apa reaksi kita? "Panjang umur orang baik."
Ketiga, studi gelombang otak menunjukkan bahwa lebih banyak bagian otak yang "menyala" ketika mendengar cerita, dibanding ketika menerima informasi faktual. Cerita juga memperkuat memori. Ingat cerita Isaac Newton ketiban apel yang bikin kita lebih ngeh dengan rumus gravitasi?
Keempat, cerita lebih membuat otak fokus. Otak manusia punya tendensi mudah kehilangan fokus dan 'berkelana' kemana-mana. Namun ketika menyimak cerita, otak berhenti 'berkeliaran', kita jadi lebih fokus memperhatikan.
Kelima, cerita bisa mengubah perilaku seseorang. Donasi-donasi terbesar di kitabisa.com selalu diawali dengan story ngenes apa yang terjadi dengan pihak yang butuh didonasi. Seorang penjaja online yang ga laku-laku menangis ketika akhirnya setelah sebulan ada yang beli produk tasnya. Video dia nangis itu bikin orang mencari tahu lalu ngeborong jualannya.
Ilmu terapan branding dan marketing sudah lama mengendus pentingnya story telling bagi bisnis.
Itu sebab "bercerita" sekarang jadi jualan penting di Coursera, Udemy, dan platform-platform kursus daring. Bahkan di zaman big data, sejenius-jenius pemilik data akan kelihatan wagu (bahasa jawa: aneh, ga cocok, ga sesuai) jika tidak bisa menceritakan apa pentingnya data-data njelimet yang dia punya. Skill setnya punya nama mentereng: data storytelling. Kemampuan untuk menjelaskan data dengan bercerita.
The Science of Storytelling
Visme (2021) dalam tajuk "The Science of Storytelling", menjelaskan tiga poin.
Pertama, warga Amerika Serikat mengonsumsi separuh kata-kata secara digital atau setara 100.500 kata setiap harinya. Noise (kebisingan) yang dihasilkan era digital bikin digital storytelling harus dibuat sesimpel dan sesingkat mungkin, dan apa bole buat dengan judul yang se-clickbait mungkin.
Kedua, 92% konsumen juga lebih suka iklan produk yang bercerita, yang membuat mereka merasa terhubung dan terlibat.
Ketiga, pesan akan 60x lebih cepat diproses otak bila menggunakan gambar (pun video), alih-alih tulisan saja.
Jadi nonsens bicara personal branding - baik Anda lagi jadi caleg ataupun tidak - kalau Anda gak tertarik mendalami teknik bercerita, walau lebih nonsens lagi kalau masih ga jelas "branding saya apa, ya?" 🤔. Sederhananya, kalau Anda masih galau "Anda itu siapa?", bagaimana mau mengkomunikasikan personal brand ke orang lain?
Story telling seharusnya jadi kompetensi penting yang dimiliki orang-orang baik, orang-orang berilmu, orang-orang yang ingin membuat perbaikan dan membangun peradaban.
Dan ini bukan hanya ditujukan untuk orang baik yang menjadi caleg di tahun politik ini.
Buat yang butuh diskusi dan advokasi, atau sekadar curhat soal ini, sila hubungi via Instagram ya. Ada diskon sepanjang bulan Agustus 👀🇮🇩
Salam story. Merdeka!
budet•detti febrina
•tukang cerita•tukang dengerin cerita•
Bandar Lampung, 19082023
0 Komentar