Latansa Lampung, Sepenggal Cerita Tentang Restu Suami



Oleh: Yulia, Pringsewu - Lampung

Dua hari mengikuti Latansa, rasanya dahsyat. Sebuah kesempatan istimewa yang Allah hadirkan di penghujung tahun ini. Adalah kebahagiaan ketika bisa kembali mengembara dan menjejak alam setelah sekian lama berhenti, bisa reuni sembari nge-cas ruh sama teman-teman, dan juga bisa healing tipis-tipis.


Setiap peserta pasti punya cerita untuk bisa hadir di sini, di Latansa, sebuah acara yang diadakan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk anggota perempuannya. Karena hampir semua peserta adalah emak-emak, maka rasa berat meninggalkan suami dan buah hati adalah was-wis-wus terbesar. Aku adalah salah satu peserta dengan was-wis-wus terbesar itu.


Saat mendapat info Latansa, aku langsung gercep isi form pendaftaran dan membicarakannya dengan suami. Namun, beliau memintaku untuk izin tidak mengikuti sebab pada waktu yang bersamaan, ada tugas ke Yogyakarta yang harus beliau emban. 


Sedih, tentu saja.


Akan tetapi, tak kurang akal, aku berencana menitipkan tiga putri ke rumah uti nya di kabupaten sebelah. Anak-anak menyambut girang usul bundanya. 


Aku bahagia menemukan solusi untuk anak-anak ketika ditinggal emaknya. Namun, suami belum juga memberi izin. Si kecil masih tiga tahun dan selama ini belum pernah ditinggal emaknya. Beliau khawatir anaknya tak nyaman dan rewel.


Dengan berat hati, aku pun meng-iya-kan keputusan suami. Meski dua hari setelahnya,  bulir bening tak juga mau berhenti. 


Aku tak bersemangat menjalani hari seperti biasa, hingga seorang sahabat memberi info bahwa panitia menyediakan Tempat Penitipan Anak (TPA). Binar bahagia terbit seketika. Itu artinya tiga anak bisa dibawa serta.


Suami mengizinkan jika anak-anak di bawa. Namun, lagi-lagi, ujian kesungguhan itu datang dari sisi berbeda. Dengan mempertimbangkan banyak hal, panitia tidak memberi izin kepadaku untuk membawa tiga anak. 


Binar bahagia yang tadi menyala pada akhirnya sirna sirna. Ya sudahlah, aku pasrah. Mungkin ini keputusan Allah agar aku menunda keikutsertaan.


Kusampaikan pada suami terkait keputusan panitia. Tak disangka, suami menawarkan agar si sulung dan nomor dua ditinggal di rumah berdua. Beliau meyakinkan bahwa insyaaAllah, Allah akan menjaga dan duo kakak dengan baik. Anak-anak pun setuju dengan tawaran Abinya.


Akhirnya, beberapa jam menjelang hari pelaksanaan, aku masuk grup dan mengabarkan kepada salah satu panitia kalau bisa berangkat. 


Saat bertemu dengan wajah-wajah penuh semangat di tempat pelaksanaan, bertemu emak-emak pembawa buntelan-buntelah besar dan anak dalam gendongan, aura semangat dan bahagia itu makin membara. 


Aku kira ... kisahku untuk sampai di lokasi Latansa adalah kisah yang sudah cukup heroik. Nyatanya, ada banyak kisah-kisah yang lebih heroik dan mengharu biru. 


Ada "Asma" Puspitasari, salah satu peserta dengan kisah heroik. Ia harus meninggalkan keempat anak-anak kecilnya di rumah bersama sang ayah dan membawa bayi 9 bulan dalam kandungan yang dijadwalkan operasi tanggal 22 bulan ini.


Ada "Asma" Murnisari yang datang juga dengan membawa bayi 9 bulan dalam kandungan. Bahkan, kontraksi semu yang sudah hadir sejak sebelum keberangkatan dan membuat panitia berkali-kali mendapat telepon dari sang suami ia abaikan. Sang suami menjemput, tetapi ia tetap meyakinkan bisa mengikuti kegiatan hingga usai.


Ada Nurhayati, seorang ibu muda yang juga hadir dengan membawa gembolan di kandungan dengan usia 8 bulan dan meninggalkan dua anak lainnya di rumah bersama sang ayah.


Belum lagi emak-emak yang Allah titipkan makhluk kecil dalam kandungan yang usianya baru satu bulan, dua bulan, tiga bulan, dan empat bulan dalam kondisi "mabok".


Ibu-ibu muda dengan bayi berusia 3 bulan, 4 bulan, lima bulan, enam bulan, 1 tahun, sampai 3 tahun banyak ditemui di sana. Bayi-bayi yang Allah titipkan pada mereka tak pernah menjadi penghalang untuk berjuang. Justru mereka menjadi penyemangat untuk terus bergerak.


Emak-emak dengan resiko kesehatan tinggi juga tak sedikit. Mereka Allah uji dengan saraf kejepit, yang tiap kali duduk membutuhkan waktu lama untuk berdiri. Ada yang menderita tekanan darah tinggi, bahkan mengalami dua kali tak sadarkan diri selama acara. Ada ibu yang rahimnya bermasalah. Emak-emak dengan kadar asam lambung tinggi, bahkan lansia dan nenek-nenek dengan usia yang tak lagi muda, yang setiap kali ada pertemuan, beliau lupa di mana grupnya berada. 


Satu lagi sebuah kisah heroik penuh perjuangan dari seorang ibu salehah yang bisa kami ambil pelajaran. Beliau mempunyai suami yang tangan kirinya cacat. Jika mengendarai mobil, keduanya harus mengoperasikan bersama. Sang suami menginjak kopling dan sang istri yang harus mengoper gigi. Mereka juga Allah anugerahkan anak berkebutuhan khusus, --disable--sehingga suaminya turut hadir di lokasi dengan menyewa tempat sendiri.🥺🥺 Masyaa Allah.


Terakhir, kisah akhir sebagai penutup gempita Latansa yang mengharu biru adalah saat upacara penutupan.


Upacara dilaksanakan di tengah guyuran hujan lebat. Curahan hujan yang sama sekali tak membuat barisan koyak, tak menyurutkan niat serta semangat. Justru ia hadir dengan membawa kesyahduan dan suasana khidmat, apalagi ketika lagu kebangsaan berkumandang. Bisa dibayangkan jika bukan kader PKS yang sedang melaksanakan, mungkin sudah bubar.


Beginilah PKS. Beginilah perempuan-perempuan PKS. Mereka tak hanya taklim dan kajian, tak hanya solid dalam keluarga, tetapi bisa saling berbagi peran dan menguatkan, bisa ngisi pengajian, orasi di jalanan, tetapi mereka punya semangat dan tekad kuat meningkatkan kualitas diri untuk membangun bangsa.


PKS 8

PKS 8

PKS Menang! Insyaa Allah.



Posting Komentar

0 Komentar