Indonesia, Maroko, Sejarah Jalan Casablanca dan Kisah yang Bisa Dijadikan Pelajaran




Oleh : Drs. H. Gufron Azis Fuadi 

Tulisan ini bukan ingin membandingkan antara kedua negara. Tetapi justru mengenai hubungan baik antara Indonesia dan Maroko, yang orang Arab sering menyebutnya Maghribi. Mungkin karena dari semenanjung Arabia, Maroko menjadi tempat terbenamnya matahari sebagai tanda waktu maghrib. 

Indonesia? Kita punya Merauke dan desa Maroko di Cibalong, Garut. Pada 2 Mei 1960, Presiden Soekarno melakukan kunjungan kerja ke Maroko dan bertemu dengan Raja Muhammad IV. Dimana kunjungan ini tercatat sebagai kunjungan pertama seorang kepala negara di dunia ke Maroko. Kunjungan ini untuk membentuk kerjasama antara Indonesia dan Maroko. Salah satu bentuk kerjasamanya adalah "Sister City", di mana sejumlah ruas jalan di kota terbesar di Maroko saat itu,  Casablanca akan dinamai dengan nama "Rue Jakarta", "Rue Bandoeng", dan Avenue Soekarno". Sementara di Indonesia, nama Casablanca digunakan pada salah satu ruas jalan Jakarta yang kini dikenal dengan nama Jalan Casablanca. 

Jalan Casablanca adalah salah satu jalan utama di Jakarta yang menghubungkan Kampung Melayu dan Karet Belakang (masuk kelurahan Karet Kuningan). Jalan sepanjang kurang dari 2 kilometer ini sering ditulis Kasablanka, tidak seperti aslinya Casablanca, karena nama itu juga merupakan singkatan dari Kampung Melayu sampai belakang Karet.

Kemenangan timnas Maroko atas Spanyol dan kemudian Portugal tadi malam memunculkan banyak sukacita masyarakat Indonesia. Bukan hanya karena disini ada desa Maroko, tetapi karena persamaan sebagai negara berkembang dan negara muslim. Tetapi ada juga ungkapan yang mengatakan harusnya orang orang PKS tak ikut bersuka cita, karena PKS kan nggak suka "Maroko". Ini jelas pitnah yang disengaja! Tetapi yang jelas kemenangan Maroko dalam World Cup kali ini memberi pelajaran dan pengingatan kepada kita bahwa ada saatnya keledai mengalahkan kuda. Tidak selamanya yang kecil pasti kalah menghadapi yang besar. 

Kalahnya pasukan Jalut yang perkasa bukan karena pasukan Thalut lebih kuat dan lebih banyak. Bahkan mayoritas pasukan Thalut sudah mengalami sindrom kekalahan sebelum kedua pasukan bertemu. Ini tentu karena reputasi dan nama besar Jalut dan pasukan serta sumberdaya melimpah yang dimilikinya. Orang berpikir bahkan di depan Jalut, pasukan Thalut tidak layak disebut. Menurut as-Suddi, jumlah total pasukan Raja Thalut berjumlah 80.000 orang. Dari total pasukan tersebut, sebanyak 76.000 pasukan meminum air sungai. Sehingga tersisa hanya 4.000 pasukan yang patuh atas perintah Raja Thalut untuk tidak minum dan yang minum air sungai tersebut sebatas cidukan tangan. Namun, tatkala sisa pasukan tersebut melihat jumlah pasukan Jalut yang mencapai 100.000, maka sebanyak 3.680 pasukan Thalut mengundurkan diri dan kembali. (al-Qurthubi, 2006: 243-244).

Dengan demikian pasukan Thalut tersisa hanya 320 orang. Dalam pendapat lain, al-Razi menyampaikan bahwa jumlah pasukan yang dimaksud dalam kalimat illa qalil adalah sebanyak jumlah pasukan perang Badar, yaitu 313 pasukan saja. Argumentasi al-Razi tersebut dibangun atas dasar sabda Nabi Muhammad yang disampaikan kepada para pasukan Badar, berikut: 

 Ø£َÙ†َّ النَّبِÙŠَّ Ù‚َالَ Ù„ِØ£َصْØ­َابِÙ‡ِ ÙŠَÙˆْÙ…َ بَدْرٍ: Ø£َÙ†ْتُÙ…ُ اليَÙˆْÙ…َ عَÙ„َÙ‰ عِدَّØ©ِ Ø£َصْØ­َابِ Ø·َالُÙˆْت Ø­ِÙŠْÙ†َ عَبَّرُÙˆْا النَّÙ‡ْرَ ÙˆَÙ…َا جَازَ Ù…َعَÙ‡ُ Ø¥ِÙ„َّا Ù…ُؤْÙ…ِÙ†ٌ 

“Sesungguhnya Nabi bersabda kepada para sahabat pada hari perang Badar: jumlah kalian saat ini adalah sebanyak jumlah pasukan Thalut ketika mereka melewati sungai, dan tidak diperkenankan menyertai (Raja Thalut) kecuali orang mukmin.” 

Kemenangan Maroko juga mengajarkan kepada kita bahwa sumberdaya yang terbatas dan tekad yang kuat serta diramu dengan strategi dan taktik yang pas akan bisa mengalahkan kompetitor yang bertabur bintang dan berlimpah sumber daya. Ah, kita memang harus terus belajar... Wallahua'lam bi shahab



Posting Komentar

0 Komentar