Oleh: Rosnendya Yudha Wiguna
Ketua Bidang Kepemudaan DPD PKS Sukoharjo
Tiap tanggal 22 Oktober, kini negara telah resmi menetapkannya sebagai hari santri yang kemudian secara semangat dan bahagia dirayakan oleh rakyat Indonesia.
Hampir semua anak sekolah Indonesia termasuk yang bersekolah di Sekolah Negeri pernah menjadi santri, minimal adalah jebolan Pesantren Kilat Bulan Ramadhan di sekolah masing-masing. Walaupun sebenarnya, awam dipahami pula bahwa yang lebih pas menyandang gelar santri adalah mereka para muda yang mengenyam pendidikan di lembaga pesantren-pesantren resmi.
Namun siapakah sebenarnya para santri pertama dalam sejarah Indonesia yang dulunya sering disebut sebagai Nusantara ini? Bagaimanakah sejarah Pondok Pesantren di Indonesia?
Dalam buku berjudul "Indonesia Kita", Nurcholish Madjid pernah menguraikan tentang hal ini.
Dari fakta dan bukti sejarah yang ada beliau paparkan bahwa pesantren-pesantren tertua di Indonesia terdapat di sepanjang pesisir pantai Pulau Sumatera dan juga terutama Jawa, utamanya di kota-kota pelabuhan yang ramai dengan interaksi global dengan para pelancong dari mancanegara.
Riwayat itu juga tentunya berawal dari persentuhan para pendakwah Islam yang datang sembari berdagang. Aktivitas mereka bersama orang-orang pribumi, tentu dari segala strata dan kalangan menjadi kebiasaan sehari-hari.
Para pendatang muslim tak pernah merampok rempah-rempah, mengadu domba pribumi, atau menerapkan penjajahan dengan sistem tanam paksa yang bikin ngilu hati.
Mereka datang dengan berdagang sembari berdakwah bil lisan wal bil hal (dengan perilaku yang menawan hati sesama).
Rata-rata mereka murah senyum karena memang menjalankan hadist "Tabasumuka fi akhika shadaqah" (senyum mu untuk saudaramu adalah shadaqah).
Kepada para pribumi yang berprofesi sebagai juru bongkar muat barang, tak pelit-pelit, para pendakwah muslim ini pun sering memberikan uang shadaqah yang membuat mereka bahagia. Nampak terasa tak ada batas juga saat berkomunikasi karena ajaran egalitarian Islam menuntun menuju kesamaan derajat tanpa kasta.
Akhirnya, terpesona dengan kepribadian para pendakwah Islam, satu demi satu para pribumi di area pelabuhan menyatakan ingin mempelajari Islam.
Dikarenakan kesibukan aktivitas perdagangan, bongkar muat barang dan kegiatan lainnya di terang hari, maka para pendakwah Islam mengusulkan agar bersama-sama membuat kelas belajar Islam di malam hari (menginap).
Dengan Infaq dakwah para saudagar muslim pendatang ini, terselenggaralah sebuah penginapan untuk menjadi tempat orang-orang pribumi yang belajar Islam.
Tempat menginap, dalam bahasa Arab disebut "FUNDUQ".
Orang-orang yang belajar di padepokan, dalam bahasa Jawa dan Sansekerta disebut CANTRIK.
Itulah FUNDUQ Pe-CANTRIK-an, yang kelak disebut secara luluh bahasanya yaitu PONDOK PESANTREN.
Ya, benar ini adalah akulturasi budaya di ranah bahasa. Secara damai dan acceptable, dua bahasa menyatu.
Bila akan menggunakan bahasa Jawa atau Sanskrit, penginapan mestinya digunakan kata Graha atau Griya.
Bila akan menggunakan bahasa Arab, mestinya digunakan kata Thulab atau Mudarits untuk menyebut orang-orang/murid yang belajar.
Demikianlah sejarah akulturasi awal berdirinya kokoh sejarah Pondok Pesantren.
Yakni FUNDUQ (tempat menginapnya) Pe-Cantrik-an (bagi kegiatan rang-orang /murid/pengikut yang belajar).
(Nurcholish Madjid, "Indonesia Kita")
Demikianlah, Alhamdulillah selama berabad-abad lamanya, PONDOK PESANTREN telah menjadi tulang punggung bangsa untuk membina manusia muda Nusantara/Indonesia untuk menjadi Insan yang Ber-Ke-Tuhan-nan Yang Maha Esa (Tauhid), Insan yang mampu bersikap Adil dan ber-Adab. Juga agar menjadi insan yang selalu menjaga dan membina Persatuan, seperti perintah Allah SWT dalam Al Qur'an agar tidak berpecah pelah (Wa laa tafriqu).
Lalu selalu mengedepankan musyawarah dalam bingkai hikmah dan kebijaksanaan dalam membicarakan sesuatu, agar terwujud keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia apapun latar belakang dan warnanya. Seperti dicontohkan oleh Rasulullah, saat kompak mengajak serta seluruh elemen bangsa di Madinah dari Bani Khazraj, Bani Auz, Yahudi, Nasrani dan lainya. Beliau mendeklarasikan kebersamaan dengan kalimat awal yang menjadi pasal satu Madinah Charter; yakni "Kaannaasu Ummatan Wahidah" (Kita ini adalah ummat manusia yang satu).
Tetaplah jaya Santri dan Pondok-pondok Pesantren Se-Indonesia. Dari zaman-ke zaman, Bhakti dan perjuangan di medan damai dan medan perang mengusir penjajah yang tak berperikemanusiaan, juga di Medan ekonomi serta medan sosial rahmatan Lil Alamin tetap kita perjuangkan.
Selamat hari Santri
Dari Al Faqir
(Santri Kalong Indonesia
0 Komentar