Belakangan, beranda media sosial saya ramai soal
postingan istri yang berharap suaminya lebih tanggap urusan rumah tangga.
Harapan yang manusiawi. Budaya negeri ini turun temurun menempatkan porsi
urusan rumah tangga di tangan istri. Sebut saja memasak, mencuci, menyapu,
menyetrika, dan beragam aktivitas domestik lainnya.
Saya ingat suatu malam menemukan Zikrullah-suami saya
,sibuk mencuci piring di dapur.
“Ngapain?” saya bertanya sambil tertawa. Melihat ia
mencuci piring dengan kesadaran tanpa perlu aba-aba dari saya adalah hal yang
tidak lazim di rumah. Saya khawatir dia ketempelan jin spesialis bersih-bersih.
“Habis nonton drakor Go Back Couple.” Zikrullah
tersenyum lebar. Tawa saya makin keras. Fakta ia mendapat dorongan mencuci
piring dari drakor sungguh ajaib bagi saya.
Go Back Couple berkisah sepasang suami istri yang jenuh dengan usia
pernikahan mereka yang kesepuluh. Si istri digambarkan depresi. Lelah fisik dan
batinnya mengurus rumah dan anaknya sendirian. Sosok suami tak pernah peduli
dengan tetek bengek rumah tangga. Urusan pekerjaan kantor sudah cukup rumit
baginya. Boom, keduanya meledak dan memutuskan berpisah.
Di rumah kami, Zikrullah bukannya tak peduli urusan
rumah tangga. Namun, ia butuh aba-aba. Butuh diingatkan dengan kalimat jelas. "Tolong,
cuci piring dong. Anak-anak mau makan," misalnya. Ia akan membantu cuci
piring, bukan ketika cucian menumpuk melainkan ketika saya butuh bantuan. Amat
jarang menemukannya penuh inisiatif mengerjakan pekerjaan rumah kecuali di saat
saya sakit, nifas dan masa pemulihan.
Meski demikian untuk urusan momong, ia bisa
diandalkan. Zikrullah bisa mengasuh empat anak kami sekaligus. Anak-anak biasa
main uno, remi, domikado, game berempat bersama Zikrullah. Ia juga luwes
mengajak anak-anak berenang atau ke perpustakaan saat saya butuh istirahat di
rumah. Ini salah satu kompromi kami dalam berumah tangga.
Namun perkembangan pengasuhan sekarang menunjukkan
pentingnya memaparkan anak, laki-laki maupun perempuan pada pekerjaan rumah
tangga. Bukan sekedar perkara kemandirian tapi juga mengambil peran di dalam
rumah. Pola pemaparan ini butuh teladan dari kedua orangtuanya. Anak perlu
melihat bahwa pekerjaan rumah tangga bukan soal gender melainkan kecakapan
hidup yang harus dikuasai laki-laki maupun perempuan. Anak perlu melihat
sosok ayah sebagai pemimpin rumah tangga turun mengerjakan urusan rumah. Terlebih
sebagai keluarga muslim, hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah.
Dari Al-Aswad, ia bertanya pada
‘Aisyah, “Apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan
ketika berada di tengah keluarganya?” ‘Aisyah menjawab, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa membantu pekerjaan keluarganya di rumah. Jika
telah tiba waktu salat, beliau berdiri dan segera menuju salat.” (HR.
Bukhari)
Rumah tangga Nabi adalah gambaran keluarga paling
manusiawi. Segala contoh kasus dan penyelesainnya ada di sana. Salah satunya
bagaimana Nabi berlaku di dalam rumah. Setara dan saling tolong menolong soal
urusan rumah tangga.
Berbeda dengan budaya negeri ini yang sebagian masih
menempatkan perempuan sebagai konco wingking. Urusannya di dapur dan
seputar rumah saja. Suami tugasnya kerja, kerja dan kerja. Saru kalau
suami menjemur baju istri. Bisa digrundeli tetangga julid nanti. Padahal
kecakapan hidup tidak ada hubungannya dengan gender. Laki-laki maupun perempuan
mesti menguasai hal-hal dasar berumah tangga.
Di rumah kami, tak kurang buku-buku pengasuhan
tersedia. Diskusi soal pentingnya peran ayah bab teladan urusan rumah juga kami
lakukan. Apalagi sebagai anggota PKS, kami menyadari bahwa membangun rumah
tangga islami dimulai dari beresnya urusan rumah. Bukan sekedar pekerjaan rumah
tangga tapi juga mengasuh dan mendidik anak-anak bersama.
Saya masih takjub melihat betapa telitinya Kyai Hasan
Al Banna sebagai ayah pada urusan tumbuh kembang anak-anak mereka. Hasan AL
Banna pada buku Membaca buku Rumah Cinta Hasan Al Banna diceritakan membuat
riwayat penyakit dan obat yang pernah dikonsumsi anak-anaknya. Satu anak satu
bendel stop map beliau arsipkan. Apa tumon ayah sedetail itu?
Zikrullah bukannya buta soal ini. Ia produk generasi old
yang menempatkan posisi pria sebagai pencari nafkah saja. Tidak mudah
mengubah ia menjadi pria tanggap seketika atas nama pernikahan. Namun kami
berproses dan saling berkompromi. Soal masak, enggak perlulah ia sampai mahir
bikin rendang. Masak sederhana aja asal bisa bertahan hidup. Perkara nanti
pilih jajan, beli matengan, atau tetap masak, itu pilihan.
Tapi sungguh hidayah itu memang di tangan Tuhan.
Selalu menakjubkan melihat seseorang berubah menuju kebaikan. Sejauh apapun
kita berusaha, ada titik balik yang tak diduga. Sudah jauh hari dicontohkan
Rasulullah sampai khatam baca buku rumah Kyai Hasan Al Banna tapi siapa
sangka akhirnya ia berinisiatif mencuci piring karena drama korea!
Yosi Prastiwi
Anggota pelopor garis lemah
0 Komentar