Detti Febrina
[Disclaimer: Menulis ini karena empati mendalam sekaligus muhasabah sebagai sesama ibu. Hasil analisis kejiwaan tentu ada pada profesional]
Kasus serupa Bu Kanti Utami di Brebes bukan yang pertama. Tahun 2014 ada Dedeh Uum Fatimah di Bandung Barat yang coba membunuh tiga anak kandung. Satu meninggal. Dedeh ga menyesal. Yang ia sesalkan justru karena dua anak lainnya gak beneran meninggal ..
Tahun 2006, Anik Qoriyah, ibu muda lulusan planologi ITB, berasal dari keluarga terpandang, membekap tiga anak kandung satu per satu dengan bantal. Ketiganya meninggal. Walau sempat didakwa hukuman mati, namun hakim memvonis bebas dan ia sudah pula selesai jalani perawatan jiwa di RS Hasan Sadikin, Bandung.
Belum lama Desember 2020 di Nias Utara, Marina Tafona'o membunuh tiga anak kandung masih balita (tertua usia lima tahun). Ia gagal bunuh diri, tapi qadarullah meninggal di tengah pemeriksaan polisi karena sakit pencernaan.
Masih ada yang terlewatkah?
Apa kesamaan keempat ibu ini selain ke-luarbiasaan kasusnya? Pertama, mereka justru merasa menyelamatkan anak-anaknya dari kesulitan dunia. Gak ingin anak-anaknya mengalami yang ia rasakan: kekejaman dunia.
Mereka membunuh anak-anaknya justru karena terlalu sayang ðŸ˜.
Kedua, kesulitan ekonomi gak bisa enggak, senyatanya menyumbang himpitan itu. Ketiga, mereka semua ibu rumah tangga penuh waktu. Anik Qoriyah jadi catatan khusus melihat latar keluarga dan pendidikannya. Bu Kanti Brebes tadinya make up artist bertangan dingin, lalu hijrah ke kampung karena hantaman ekonomi akibat pandemi serta fokus mengurus anak.
Banyak dugaan lain seperti masalah kesehatan mental yang memang sudah menahun (kecenderungan over perfectionist, schizoprenia, punya trauma pengasuhan, dan lain-lain).
Atau dugaan lain soal post partum depression (depresi pasca melahirkan) yang gak tuntas. Bahkan disambung kelahiran anak berikutnya yang tentu sedikit banyak menyumbang peer kejiwaan si ibu.
Apapun itu, seorang ibu memang rentan dengan masalah kejiwaan.
Jadi begini, duhai para suami. Istri-istrimu mungkin menyimpan potensi yang sama. Mereka - dan anak-anak yang mereka lahirkan - mungkin tertolong karena masih ada selembar kewarasan dan sehelai iman.
*
Sudah banyak kajian tentang korelasi kebahagiaan anak dengan kebahagiaan ibu. Betapa anak yang bahagia sangat butuh ibu yang bahagia, karena asumsi bahwa anak - terutama di usia dini - lebih banyak bersama ibu daripada bapak.
Dan senyatanya selalu ada masa ketika kewarasan ibu betul-betul setipis kertas. Ekspektasi suami, orang tua, mertua, tetangga, dunia .. bahwa ibu WAJIB sabar, bahwa kesabaran dan kelelahan seorang ibu akan dibalas berjuta pahala, realitasnya tak sentiasa seideal itu.
Apalagi ketika ekspektasi mewujud tuntutan tak rasional. Abai bahwa si ibu selalu punya potensi tak sempurna, bahwa urusan anak dan rumah yang dianggap "begitu aja" itu bisa begitu overwhelming.
Saya, yang sudah punya tiga anak remaja, masih merasakan itu ketika kini ngurus si bungsu yang usianya baru dua tahun Umayra. Ketika ibu sudah di titik penat, tapi gak kuasa mengkomunikasikan kepenatan. Harap-harap those loved ones sensitif menawarkan bantuan.
Lalu alih-alih membantu, si ibu yang di titik kritis itu dibanding-bandingkan dengan menantu-menantu atau anak lain (kasus Anik) yang toh bekerja tapi dipandang 'sukses' ngurus anak.
"Ibu Anu yang anaknya 5 kok perutnya bisa rata, ya? Kamu yang baru anak 2 udah gelemberan begitu .." atau lambe jleb senada.
Padahal, diam dan menahan diri berkomentar negatif sudah cukup jadi sedekah tak terkira bagi seorang perempuan.
Lagi-lagi kasus Anik. Dia mahasiswi berprestasi selama di ITB. Sempat jadi asisten dosen, bekerja keras mewujudkan pencapaian demi pencapaian sejak SMA hingga kuliah.
Diminta mengerti bahwa menjadi ibu rumah tangga penuh waktu lebih mulia dari aktivitas publik, tanpa coba dipahami bahwa pencapaian publik seorang perempuan juga salah satu bentuk harga diri dan kebahagiaannya.
[Pertanyaan soal peran ganda dan feminisasi mohon tidak mengeruhkan diskusi tentang betapa genting mengukur kebahagiaan ibu ini]
Lalu mengapa harus ditujukan pada para suami? Hei perempuan, ingatlah, kebahagiaanmu adalah otoritasmu! Bukan tergantung pada suami atau anakmu! Mungkin begitu pekik heroik pejuang independensi.
Tak lain, karena dalam agama saya, seorang laki-laki adalah pemimpin di keluarga. Yang jadi qawwam adalah rijal. Demikian ditegaskan di Al Qur'an surah "Perempuan" (An Nisaa). Benar, seorang ibu harus se-setrong itu menemukan bahagianya sendiri. Kadang berujud omelan di insta story, atau cry for help tanpa suara di pertiga akhir malam.
Tapi duhai para bapak, nafkah sandang, pangan, dan atap saja sungguh tak cukup. Apalagi bila lantai dasar kebutuhan ala Abraham Maslow ini saja tak terpenuhi.
Lebih sensitif-lah. Apakah istriku bahagia?
Tak jarang sumber bahagia ia sejatinya sederhana saja. Sekadar pijatan sesaat dan tatapan empati seraya berkata: "Capek ya, Bun? Mohon maaf Ayah gak bisa bantu. Semoga diganti Allah semua capeknya ya, Bun .."
Sukur-sukur dengan tambahan ".. Bunda coba cek syopi pey dan gopey-nya, ya. Barusan Ayah isiin lagi."
Semoga minyak goreng, tantrum anak, julidnya mertua atau apapun itu tak membuatmu hilang harapan. Salam bahagia, para bunda sedunia!
0 Komentar