Cerita Emak-Emak PKS Naik ke Puncak Lawu Via Candi Cetho


Wahtini Tin

Kabid Humas DPD PKS Sleman


Rasa dingin yang hebat menyergap. Hujan deras yang sesekali disertai cetar halilintar dan angin yang berhembus dingin menambah cekam suasana. Tiba-tiba saya seperti merasakan moment paling down dan hopeless dalam hidup saya.


Saya orang desa; masa kecil saya terbiasa berjalan jauh, hujan-hujanan, main di sawah, ladang, dan hutan. Juga terbiasa dengan permainan fisik ala anak desa yang menguras tenaga. Ini pun sudah ke-empat kalinya saya mendaki gunung. Tapi sepertinya, pendakian kali ini benar-benar memberi pengalaman spiritualitas paling mendalam dalam hidup saya.


Mendaki Gunung Lawu melewati Jalur Candi Cetho adalah pengalaman perdana bagi semua anggota rombongan. Berbekal review para pendaki di media daring, kami berenam mantab memutuskan mencoba jalur baru ini. Jalur yang tercatat paling jauh jika dibandingkan lewat Cemoro Sewu dan Cemoro Kandang ini, katanya, menawarkan pesona sabana yang mengagumkan. Mirip Argopuro! Terang saja godaan ini menggiurkan. Apalagi bagi emak-emak petualang yang hampir delapan tahun ini tidak menginjakkan kaki di gunung.


Rombongan kami berangkat dari Basecamp Candi Cetho hampir jam 10 pagi. Rencananya nanti kami akan nge-camp di Gupak Menjangan yang lokasinya di atas Pos 5. 


Perjalanan menuju Pos 1, mata dimanjakan dengan pemandangan desa wisata di sekitaran basecamp. Kami melewati Candi Kethek, Patirta Sapto Resi, dan juga ada warung warga. Meski jalan menanjak cukup melelahkan, kami bergembira sepanjang perjalanan. Sesekali menyapa para pendaki lain yang tengah beristirahat, juga saling menyemangati dan bercanda untuk mengalihkan rasa lelah. Atur napas menjadi salah satu cara bertahan untuk tetap maju pelan-pelan tanpa banyak berhenti di jalan. Akhirnya sampai di Pos 3 kurang dari 3 jam. 


"Wah, berarti sampai Pos 5 cukup 5 jam, nih," gumam saya optimis. Ternyata ujian pendakian yang sesungguhnya belum diperlihatkan.


Di Pos 3 kami beristirahat sambil menunggu rombongan lengkap. Di pos ini ada sumber air, sehingga kami bisa makan, sholat, dan MCK. Saat mau melanjutkan perjalanan ke Pos 4, hujan rintik disertai kabut sempat turun lalu sebentar kemudian reda. Kami mengira tidak jadi hujan. Namun ternyata, di tengah perjalanan hujan turun deras.



Jalan menanjak yang mayoritas tanah menjadi licin dan banjir. Sesekali harus berpegangan pada akar pohon, semak, dan bebatuan untuk menghindari tergelincir. Angin dingin pun berhembus hingga menembus mantol kami yang berkibar. 


Saya sungguh tidak menyangka hujan deras ini berlangsung lama. Sampai di Pos 4, posko nampak penuh diisi para pendaki yang tengah berteduh. Kami hanya berhenti sejenak, mengatur napas, dan kembali berjalan pelan. Berhenti terlalu lama hanya akan membuat tubuh kedinginan. Jadi, meski hujan tak kunjung berhenti, kami lanjutkan perjalanan.


Saya merasakan sepanjang kaki basah kuyup karena mantol kurang sempurna menutup. Tangan saya menjadi kebas kedinginan. Saya harus mencubit, menepuk, dan mengusap-usap tangan sendiri berulang kali untuk mengalirkan darah. Rute pendakian menjadi jalan air mengalir ke bawah. Saya merasakan kaki saya terasa sangat dingin terendam air. Angin seperti tidak berhenti bertiup menambah oleng tubuh saya. Ditambah suasana mencekam karena halilintar sesekali menggelegar.


"Mas, aku takut hipotermia. Dingin banget," bisikku pada Suami. Saya genggam tangannya untuk memberi tahu betapa dinginnya tangan saya. Ternyata tangannya juga sama. Dingin.


"Mentalnya, Dik. Kalau bilang dingin terus… nanti tambah dingin. Ayo, semangat!" kata Suami.


Benar juga, ya. Sepertinya saya tidak cuma kedingingan, tapi mental saya sedang rapuh dan takut.


Saat itu saya merasakan titik terendah dalam motivasi hidup saya. Ini pengalaman yang belum pernah saya rasakan selama mendaki gunung. Kehujanan, kedinginan, perasaan rapuh, takut hipotermia, bahkan pikiran buruk apakah saya bisa selamat atau tidak di pendakian ini.


Saya seperti tenggelam dalam rasa lemah, takut, khawatir, dan hopeless. 

Ya Allah, Pos 5 aja belum kelihatan. Padahal kami baru bisa ngecamp di Gupak Menjangan. Harus jalan berapa lama lagi? Nanti di sana gimana mendirikan tendanya sementara hujan masih terus deras saja? Nanti gimana kalau tambah kedinginan?


Pikiran-pikiran buruk berkelebat. Sambil membayangkan kisah-kisah para pendaki yang meninggal karena hipotermia. Dan saya merasakan seperti dekat sekali dengan kematian. Saya ingat-ingat wajah anak saya, wajah orang tua, keluarga terdekat, teman-teman. Ya Allah, beginikah rasanya di ambang kematian? Apakah masih ada kesempatan nanti saya turun hidup-hidup?


Saat menemukan jalan datar, rasanya seperti mendapat angin surga setelah terus-menerus melewati jalan menanjak. Suara petir menggelegar tidak terlalu saya hiraukan. Rasanya semua hanya fokus pada rasa dingin hebat yang belum pernah saya rasakan. Rasa dingin yang menyergap hingga ke tulang.


Luasnya sabana di Pos 5 sama sekali tidak membuat terpesona. Saya menatap nanar para pendaki yang jauh di depan  sana. Mereka tampak kecil di jalan menanjak yang terbentang di seberang sabana. Ya Allah, masih berapa jauh dan lama lagi?


Di sekitar jalur pendakian, beberapa tenda berdiri. Nampaknya para pendaki memutuskan nge-camp di sini karena keadaan. Gupak Menjangan masihkah terlalu jauh? 


Akhirnya saya hanya memilih menunduk sembari berjalan. Air menetes di wajah yang kelelahan. Ada rasa asin saat menjilat bibir. Apakah saya menangis? Rasanya sudah dari tadi mata berair dan hati berdesir getir.


Sambil terus berjalan saya mencoba menguatkan hati. "Ayo, Wahtini! Kamu harus pulang. Ada janji yang belum diselesaikan! Ayo bertahan!" pikiran-pikiran positif coba terus saya gemakan dalam hati. Sambil terus menunduk, menerima dingin yang menusuk, melangkah terus dengan hati yang lebih khusyuk. Ternyata motivasi mendaki yang jauh-jauh hari kutanamkan dalam hati masih belum kuat. Aku seperti menanyai diri sendiri; "Katanya mau semeleh; ridha dengan keadaan, terima apapun keadaan cuaca? Kenapa begini saja sudah membuatmu lemah?"


Entah setelah berapa lama berjalan, di jalan menanjak terakhir kami mendapati tanah lapang terbentang. Diteduhi pepohonan, terpasang puluhan tenda warna-warni di sana. 


“Ini Gupak Menjangan?” tanyaku tak percaya! Ya Allah, leganyaa...


Kami bersicepat mencari lokasi kemah dan mendirikan tenda dengan tangan dan kaki menggigil kedinginan. Sementara gigi tak berhenti gemelutuk menahan rasa dingin. Tidak mudah mengikatkan tali di pasak karena tangan bergetar. Pasang tenda yang dalam kondisi normal bisa cepat, nyatanya di tengah hujan berubah menjadi lambat. Bahkan prosedur yang harusnya memasang outer tenda terbalik menjadi inner tenda terlebih dahulu. Alhasil, tenda basah dari dalam. Ya Rabb...


Akhirnya kami masuk tenda, berganti baju sebisanya. Memakai jaket dan bergelung di dalam sleeping bag.  Tapi dingin seperti tidak mau beranjak dari tubuh kami. Semalaman kami tidak bisa tidur tenyak. Hujan menderas, tenda setengah basah karena rembesan air, sesekali petir masih menyambar. 


Dini hari hujan mereda. Bintang dan bulan mulai bermunculan seperti memberi harapan bahwa pagi akan cerah dan terang.


Alhamdulillah, meski sebelumnya saya berpikir tidak akan ikut summit ke Puncak Hargo Dumilah, atas dorongan Suami saya ikut keluar. Bi idznillah, kami sampai di Puncak Lawu dalam kondisi sehat, senang, dan semangat. Rasa lega dan bahagia bertemu para pendaki lain yang juga bercerita betapa heroiknya perjalanan mereka.


Rizki banget sampai di puncak suasana belum ramai. Jadi kami lebih leluasa berfoto di Tugu Hargo Dumilah. Mengibarkan bendera Merah Putih dan bendera PKS. Saat turun pun kami menikmati suasana sabana yang hangat oleh sinar mentari pagi. Alhamdulillah.




Posting Komentar

0 Komentar