Oleh. Muhammad Zulkifli
“Saya mah males nyoblos kalau pemilu, ngapain juga milih partai, semua partai kelakuannya sama aja kok…”
“Semua partai itu korup, banyak yang pura-pura suci, jualan agama, tapi nyatanya maling juga…..”
“Saya pilih partai yang bisa kasih amplop paling banyak…Mau saya coblos? Wani piro??”
Demikian kalimat-kalimat skeptis masyarakat terhadap pemilu
dan partai politik di Indonesia. Obrolan-obrolan itu bukan saja ada di
warung-warung kopi, tapi juga terjadi di gedung-gedung tinggi perkantoran.
Politik adalah kotor, semua tanpa kecuali, yang terjun di dalamnya, adalah
orang-orang kotor.
Pemilu yang menghabiskan dana untuk penyelenggaraannya saja sampai
25 triliun rupiah tersebut memang menghasilkan produk-produk politik yang
akhirnya menyengsarakan rakyat juga. Sebut saja UU Omnibuslaw, UU KPK, UU
Minerba, UU Kebijakan Keuangan Negara
dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 adalah
sebagian kecil dari produk partai-partai yang ada di parlemen.
PKS, suka tidak
suka, ada di parlemen dan turut terlibat (baik setuju / tidak setuju / setuju
dengan syarat) terhadap lahirnya regulasi-regulasi itu. Jika akhirnya UU itu
diketokpalukan, apakah berarti PKS sama saja dengan partai-partai lain yang
hanya memikirkan kelompoknya sendiri?
Sebelum salah
menyimpulkan, simak dulu perbedaan mencolok antara PKS dengan partai-partai
lain. Inilah 7 pembeda PKS dengan partai-partai lain.
1. Budaya Lempar Kursi
Pertama, budaya
“lempar kursi”. Hanya di PKS partai yang kader-kadernya pada menolak kalau
ditunjuk menjadi calon anggota legislatif (caleg) yang ditetapkan Majelis
Syuro. Jika salah satu kader dipilih, biasanya dia akan meminta untuk
dilemparkan ke kader-kader lain yang dianggapnya lebih mampu. Kalaupun terpaksa
karena tidak boleh menolak permintaan Majelis Syuro, biasanya mereka akan minta
ditempatkan di nomor paling buncit. Supaya apa? Supaya gak jadi!
Jika di partai lain
kader-kadernya pada berebut kursi, di PKS justru pada “lempar” kursi. Kalau di
partai lain kadernya harus membayar mahar yang mahal agar bisa dapat nomor
urut, di PKS justru kadernya rela “nyogok” supaya tidak dipilih jadi caleg.
Maksudnya, mereka rela mengeluarkan uang untuk kampanye kader lain asal bukan
dirinya sendiri. Ini yang tidak ada di partai lain.
2. Kontribusi dan Kursi
Kedua, kontribusi
dan kursi. Masih mirip dengan poin pertama, hanya di PKS yang urutan calegnya
dipilih berdasarkan kontribusi nyata di masyarakat. Misalnya, kalau seseorang
punya banyak kelompok pengajian yang dibina, biasanya akan dapat nomor urut di
awal. Makin banyak sumbangsihnya di masyarakat, makin besar peluangnya untuk
dijadikan caleg nomor wahid. Jangan coba-coba di PKS menawarkan diri menjadi
caleg dan minta nomor urut lima pertama dengan ditukar sumbangan untuk partai.
Di PKS, orang-orang seperti ini malah tidak laku dan tidak dilirik oleh Majelis
Syuro sebagai pemegang keputusan tertinggi.
3. Platform Kenegaraan Lengkap
Ketiga, PKS adalah
satu-satunya partai yang memiliki platform kenegaraan yang lengkap dan sudah diuji
oleh para pakar. Dalam menyiapkan diri sebagai partai penguasa, PKS tidak
main-main. Para think tank yang
berasal dari internal dan juga eksternal partai bekerja keras merumuskan
rencana-rencana apa yang harus dilakukan dalam menyelesaikan persoalan bangsa
jika ditakdirkan untuk menang. Dan program-program tersebut pun sudah diuji
oleh pakar, sebut saja Sri Mulyani.
4. Menjual Program
Pembeda keempat,
PKS tidak menjual figur, tapi menjual program. Bandingkan dengan partai lain
yang selalu membawa-bawa nama besar orang tua, ketua umumnya, bahkan
keturunannya. Sebab PKS bukan partai keluarga, bukan pula partai kerabat. Ini
murni partai kader, partainya orang-orang yang punya visi bersama.
Muhammad Jusuf Kalla, tokoh bangsa yang pernah menjadi wakil presiden era SBY maupun Jokowi mencermati hal ini. Saat tampil di talk show Rakernas PKS 2022 belum lama ini, ia menyebutkan di 2024 harusnya pemilu itu jualan ide dan program, bukan tentang tokoh semata.
5. No Drama-Drama
Kelima, pergantian
pimpinan tertinggi partai di PKS selalu berjalan mulus, no drama, no friksi-friksian,
tanpa kehebohan di media massa, tetap kalem di media sosial. Mengapa bisa
demikian? Menyambung dengan poin nomor satu, sebab tidak ada orang yang mau
mengemban amanah berat di partai. Punya jabatan sebagai Presiden PKS itu bukan
main-main. Selain dibebankan target kemenangan, pimpinan tertinggi wajib
menjaga kualitas kader dari tingkat nasional hingga tingkat kelurahan. Karena
DNA PKS adalah partai dakwah, sedangkan dakwah adalah amanah langit untuk
penduduk bumi, maka mereka yang ditakdirkan menjabat sebagai presiden partai
punya beban moral yang besar yang berdampak tidak hanya pada kehidupan di
dunia, tapi juga beban pada kehidupan akherat. Jangankan jadi pimpinan
tertinggi partai, jadi pimpinan di tingkat kelurahan saja banyak kader yang
menolak.
6. AYTKTM
Faktor keenam yang
membedakan dengan partai lain adalah konsistensi dalam advokasi masyarakat. Apapun Yang Terjadi Kami Terus Melayani (AYTKTM) Sudah bukan berita aneh kalau ada kader PKS yang sering turun di daerah-daerah
bencana, membantu evakuasi korban, menyisir tempat-tempat pengungsian, menggerakkan
kader dan simpatisan untuk menyumbangkan materi yang dimiliki demi membantu
orang lain. Mau menang atau kalah pemilu, PKS tetap hadir untuk masyarakat.
Tahun 2007, Adang Daradjatun – Dani Anwar, cagub-cawagub yang diusung PKS
seorang diri, kalah melawan koalisi partai-partai pengusung Foke-Prijanto dalam
pilkada DKI Jakarta. Di tahun yang sama, banjir melanda Jakarta dan merusak
banyak pemukiman. Apakah kader-kader PKS Jakarta pada ngambek dan tidak mau turun membantu? Sama sekali tidak. Mereka
tetap terjun basah-basahan menolong para korban, menyiapkan perahu karet,
obat-obatan, dapur umum dan sebagainya. Saya sendiri adalah saksi peristiwa
tersebut. Tidak ada yang membedakan kader PKS baik saat menang maupun kalah
pilkada.
7. Instruksi Langitan
Dan pembeda ketujuh,
dan yang menjadi sumber dari poin pertama sampai keenam di atas, adalah karena
kader PKS digerakkan oleh “instruksi langit” alias keimanan. Inilah jawaban
kenapa banyak kader PKS yang rela tidak dibayar, rela bersusah-susah untuk
orang lain, rela mendapat jabatan kecil di partai padahal di kantornya punya
jabatan tinggi, rela mengeluarkan uang dari kantong pribadi untuk membiayai
kegiatan partai. Mereka menganggap bekerja untuk partai adalah bekerja untuk
agama. Berpartai, berpolitik, berkampanye adalah bagian dari ibadah, bagian
dari amal sholeh di luar sholat puasa zakat haji. Seperti kata ulama salafus
shalih:
Mereka yang hatinya terpaut ke langit,
kebiasannya akan bernilai ibadah. Mereka yang hatinya terikat di bumi,
ibadahnya akan bernilai kebiasaan.
Mereka, para kader
PKS, tidak bekerja untuk ketua DPRa-nya, tidak juga untuk ketua DPC-nya, bukan
untuk ketua DPD-nya, bukan pula untuk ketua DPW atau bahkan mereka tidak
bekerja untuk Presiden PKS sekalipun. Mereka, para kader PKS, bekerja untuk Tuhan-nya
ketua DPRa, untuk Tuhan-nya ketua DPC, untuk Tuhan-nya ketua DPW, untuk
Tuhan-nya Presiden PKS.
Sebagaimana Khalid
bin Walid ketika dipecat oleh Umar bin Khattab mengatakan, “Sungguh aku tidak
berperang untuk Umar, tapi aku berperang untuk Tuhan-nya Umar.
Itulah kenapa PKS
tetap menjadi pembeda dari partai lain.
0 Komentar