Cerpen Oleh : A. Hanifa
“Miris dengan bangsa ini! Pahlawan tak lagi dihormati, pencuri aset negara dijunjung tinggi,” ujar Amanda, sembari memperbaiki posisi kaca mata yang bertengger di hidung bangir-nya. Wanita berhijab itu tak sungkan berkata demikian padaku, ia mungkin menganggap hanya aku yang se-frekuensi dan sepemikiran dengannya.
“Husss … Ngomong apa kamu, Manda? Hati-hati loh, dengar pimred, bisa di skorsing lagi kamu,” sangkalku. Lalu melirik ke kanan dan ke kiri, dan ke arah di mana Amanda duduk menekuni layar komputer dihadapannya. Cemas, barangkali ada yang menguping.
“Emang gue pikirin,” sahutnya lagi, kali ini bibir tipisnya tersenyum kecut. Banyak rentetan kata-kata yang ia keluarkan. Namun, telingaku hanya menangkap sumpah serapah yang kubalas dengan respon gelengan kepala.
Begitu banyaknya tugas-tugas editing malam ini, membuatku menahan diri untuk peduli dan menanggapi ucapannya lagi.
Dalam sesi terakhir editing, aku mencoba mengintip berita dalam kolom layouter yang membuat Amanda menggerutu beberapa kali malam ini. Kubaca judul yang tercetak tebal berukuran lebih besar itu di beberapa kolom opini.
Tidak Mendapat Perhatian dari Pemerintah, Beginilah Nasib Keluarga Pahlawan Pejuang Kemerdekaan RI
Mantan Atlet Nasional, Hidup melarat di Hari Tua
Mirisnya Kehidupan di Perbatasan Indonesia
Angka Pengangguran Masih Mengkhawatirkan
Korupsi Meroket!
BBM Subsidi Langka, Rakyat Makin Menderita
Coretan Dinding Dicari, Koruptor Kabur Tak Juga Ketemu
“Oh … itu maksudnya.” Aku memahami apa yang ia maksud tadi. Kulemparkan pandanganku pada seonggok tubuh kurus itu, ah … Amanda dini hari sudah bermimpi bersama pergolakan batin-nya. Naskah-naskah opini yang menumpuk menunggu koreksian seperti biasa, menjadi bantal empuknya menjelang pagi.
*
“Sudah saya bilang, berita yang menyudutkan pemerintah seperti itu jangan dimuat!” Pokoknya, ini peringatan terakhir bagi kamu, kalau masih mau bekerja tim di sini!” Agam--si pimpinan redaksi--murka besar pada Amanda.
Aduh … anak itu. Sudah kubilang jangan nekat.
Amanda … Amanda … Aku itu senior kamu yang sudah sering tersandung masalah seperti ini juga sebelumnya. Tetapi, karena ingin bertahan, terpaksa saat ini aku menjadi jinak - bisikku dalam hati - saat mataku menangkap kornea coklat tua gadis itu berkaca-kaca.
Kata-kata Pak Agam sekali lagi tampaknya menghantam jiwa Amanda, “Memangnya kamu siapa? Cuma anak baru kemarin saja, sudah belagu, kamu!”
*
[Mau kutraktir Es krim di kantin seberang kantor sore ini, Manda?]
Kukirim sebuah pesan singkat melalui WhatsApp siang itu. Tak menunggu lama, ia segera merespon pesanku.
[Boleh, Mas Arno. Nanti habis Ashar, saya tunggu di sana ya.] balasnya.
[Baik, terima kasih] kututup pesan tanpa basa-basi.
*
“Mas, tumben kamu ajak aku makan es krim, ada apa?” ujar Amanda memulai percakapan kami.
“Mas pengen ajak kamu nikah,” ujarku santai tanpa menatapnya, gadis berkerudung biru muda itu terbengong memandangi rambut gondrongku. Untung ia tidak tersedak es krim dimulutnya.
“Serius? Menikah dengan sesama wartawan?” Amanda tertawa terpingkal-pingkal. Dari semalam, baru kali ini kulihat ia tertawa lepas seperti itu.
“Hei, aku tidak sedang menghibur kamu. Aku serius, maukah kamu menikah denganku?” tanyaku sekali lagi.
"Hmmm ... Sangkain terkait soal semalam," Amanda sedikit kesal.
Sudah sekian purnama kiranya aku menahan kejujuran dari hatiku. Butuh tembok berlapis-lapis sebenarnya untuk menahan rasa malu mengungkapkan isi hati. Hati ini memilihnya, bukan karena kecantikannya. Melainkan, karena prinsip kami yang hampir sama.
“Menikah?” Dia hanya terus tertawa, barangkali ia juga menyadari usiaku yang sepuluh tahun lebih tua darinya.
Aku yang biasanya beku, hari ini telah mencair seperti es krim coklat-stroberi dihadapannya.
“Iya, kalau nggak mau ya … lupakan aja. Anggap saja Mas tadi lagi becanda,” ujarku, meringis tipis.
"Akan aku pertimbangkan kalau kamu berani menghadap bapakku," ujar Amanda sembari melangkah meninggalkan tempat kami ngobrol barusan.
*
Tiga tahun berlalu, dan kini kami (Aku dan Amanda) sudah menikah dan telah dikaruniai seorang bayi laki-laki mungil. Pekerjaan bagaimana? Kami nekat untuk keluar dari pekerjaan yang dulu. Mengarungi penghidupan yang bisa dibilang lebih layak. Walaupun demikian, aku selalu bangga mengatakan pada dunia, “Kelak, anak kami akan menjadi jurnalis yang hebat.”
Apa peduliku, toh gelar sarjana bukan sekadar piagam akademik yang bisa digadaikan menjadi uang dengan mengabaikan prinsip kehidupan. Amanda—istriku--membuka toko kelontong di rumah, aku menjadi tukang ojek online (ojol). Kehidupan kami? Baik-baik saja.
Coba sesekali kalian lewat dekat terminal ojek di samping Pasar Baru, Kota bertuah. Barangkali kalian mengenal tukang ojol gondrong yang motor-nya terpasang bendera #merah putih di bagian spion-nya, pelat motor-nya, dan kedua roda-nya.
Coba kalian perhatikan, rupa-rupanya ini mengingatkan pada si tukang ojek legendaris yang mangkal di sana. Ya, siapa lagi kalau bukan bapakku. Bedanya, tentu saja sangat menyolok. Motor bapak butut, dan ciri khas-nya berseragam ala-ala tentara zaman penjajah.
*
Maju tak gentar, membela yang benar
Maju tak gentar, tentu kita menang
Itu lagu yang sering dilantunkannya keras-keras oleh Bapak. Tentu saja, membuatku malu sepanjang perjalanan jika diantar Bapak pergi ke sekolah. Pada kenyataannya, yang benar itu … Maju tak gentar, bela yang bayar.
“Pokoknya, kalau kamu sudah besar nanti, Kamu harus seperti Sukarno. Karena itu aku menamai-mu Sukarno. Kamu adalah cucu pejuang kemerdekaan. Kakekmu berdarah-darah melawan tentara Jepang. Kamu nggak boleh mengecewakan Bapak!’ ujarnya.
Ya, termasuk soal masa depan, bapak sudah menentukan jurusan dan universitas di mana dulu Bung karno mengenyam pendidikan. Ia menginginkan aku seperti itu.
“Otakku pas-pasan, Pak. Mana bisa aku masuk ITB seperti Bung Karno, dan bersaing dengan calon mahasiswa terpintar dari seluruh pelosok tanah Air,” sanggahku, tentu saja langsung dipelototin Bapak.
Aku tetap yakin suatu saat, aku bisa sukses dengan caraku.
Semua itu aku lalui bukan tanpa hambatan, seringkali aku ditodong dengan pertanyaan, “Emangnya kamu siapa?”
Kamu itu cuma anak Pak Mahmud yang gila kepahlawanan itu kan?
Sudah mirip orang gila bapakmu itu
Ngaku-ngaku cucunya pahlawan kamu, huuuu ....
Ejekan itu terbukti, aku bukan seorang anak laki-laki yang bisa membuat Bapak bangga. Aku hanya lulusan sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas biasa. Aku benar-benar bukan Sukarno impian-nya. Hingga ia meninggal, aku masih jauh dari ekspektasinya.
*
“Dek ….” Begitu aku memanggil--istriku--Amanda.
“Iya, Mas. Ada apa?” jawabnya, sembari menimang-nimang anak laki-laki berusia dua tahun di sisinya.
“Kamu nggak menyesal menikah dengan aku?” tanyaku di suatu senja.
“Nggak lah, justru aku bangga. Kita mengarungi kehidupan sesuai dengan keinginan kita. Tanpa paksaan dan ancaman dari orang lain,” ungkapnya haru.
Ah … Justru, aku yang lebih bangga pada Amanda, karena meskipun dilahirkan dari keluarga kaya raya, ia rela pernah meniti karir dari bawah, memilih hidup dengan lelaki miskin sepertiku, dan jualan kelontong saja di rumah sambil mendidik anak.
Kusadari, ada satu hal yang kuingat dari perkataan Ali Bin Abi Thalib, “Pemuda bukan lah ia yang berkata ‘Ini bapakku’, tapi pemuda akan berkata ‘Ini aku’.”
Saatnya hidup merdeka, tanpa bayang-bayang siapapun, iri terhadap apapun, dan di bawah tekanan siapapun.
Air Molek, 17 Agustus 2021
0 Komentar