"Semoga Allah tetap menjaga kami seperti itu"Itulah salah satu doa kami setiap hari.
Pagi itu saya menulis status di laman Facebook saya, menceritakan kronologis kematian adik bapak saya sembari mengingatkan pentingnya kita taat pada protokol kesehatan, ketika sebuah komentar melayang, "Covid itu sama dengan flu biasa!" "jangan berlebih-lebihan menakuti, covid itu biasa saja. Jangan sampai syirik takut kepada Covid."
Setahun lebih sudah saya dan suami hidup berdampingan dengan Covid 19. Suami saya sedang menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis Paru di Universitas Brawijaya Malang. Otomatis bekerja sebagai tenaga kesehatan di RS Syaiful Anwar Kota Malang. Salah satu rumah sakit rujukan terbesar di Jawa Timur.
Meski suami sudah tiga tahun ini berkecimpung dengan dunia paru-paru, dunia covid saat ini, tapi saya pribadi tidak seolah-olah ingin menunjukkan bahwa saya paling tahu Covid 19. Meski saya yakin suami saya adalah salah satu dari ratusan orang saja di negeri ini yang banyak tahu seluk beluk Covid 19, karena memang beliau hampir setiap hari berkutat dengan jurnal dan pasien covid.
Covid 19 adalah teman hidup kami jauh sebelum Singapura mengatakan akan menganggap Covid sebagai flu biasa dan siap hidup berdampingan dengannya.
Percayalah Kami sudah melangkah jauh.
Kami sudah hidup berdampingan dengan covid sejak berbulan-bulan lalu. Setiap hari suami berangkat ke rumah sakit dan setiap hari menangani pasien Covid 19. Belum pernah absen atau cuti sejak Maret 2020.
Kami tidak pernah ingin merasa paling tahu. Meski kami tahu ada teman atau saudara yang positif, kami tidak pernah serta merta langsung memberi saran terapi atau obat jika tidak diminta. Karena tidak semua orang mau dan butuh menerima saran pengobatan. Kami sangat mendahulukan adab.
Suami, selalu membuka diri kepada siapa saja yang mau bertanya. Orang biasa hingga pejabat, orang penting dan orang besar di kota ini, sudah biasa menelepon suami untuk konsultasi penanganan atau tindakan untuk pasien Covid 19. Baik mereka yang dirawat di rumah sakit maupun yang isolasi mandiri di rumah. Baik menanyakan diri mereka sendiri atau keluarga. Tapi kami tidak pernah lancang memberi mereka saran sebelum mereka meminta.
Alhamdulillah, setelah menemani ratusan bahkan ribuan penyintas covid dengan segala macam rupa gejala maupun yang tidak bergejala, kami juga tidak pernah merasa kami seakan paling berani menghadapi Covid 19. Dalam sujud kami selalu berharap perlindungan. Tetap berusaha melindungi diri dan keluarga. Kami taati protokol kesehatan, selalu waspada dan terutama selalu saling mengingatkan.
Kami tidak pernah merasa paling takut, atau merasa paling berani. Bukankah seorang muslim harus bisa bersikap di tengah-tengah. Kita adalah ummatan wasathan.
Dan meski kami berkerabat dengan Covid 19, kami juga tidak pernah merasa harus setiap hari mengedukasi orang lain tentang Covid 19. Kami saja jenuh apalagi orang lain. Tapi jika sesekali keluarga kami ambil bagian untuk mengedukasi, karena kami merasa itu penting. Secukupnya saja, tidak sampai harus penuh debat dan drama demi menggugurkan kewajiban mengingatkan sesama.
Yang kami lakukan adalah saling mengingatkan, bahwa kita tidak boleh terlalu takut, tapi juga tidak boleh meremehkan. Meski seringkali teman mencibir kami, "Kalian kok takut covid, takut itu sama Tuhan." Seolah-olah sikap waspada ini membuat kami syirik. Entah pemikiran macam apa itu.
Suami saya sebagai garda terdepan menangani Covid 19 tidak pernah terdengar mengeluh atau minta dikasihani. Tetap bekerja dengan ceria. Ikhtiar dan tawakal kata beliau.
Wawasan kami tentang Covid 19 tidak sampai disitu. Keluarga kami sendiri pun banyak yang terpapar. Bahkan beberapa hari lalu dikabarkan dari Surabaya bahwa tante saya meninggal. Siang hari tetiba dadanya terasa sesak. 5 jam diperjalanan, mencari IGD yang bisa didatangi untuk mendapat pertolongan, namun hasilnya nihil. 5 Rumah sakit yang tante saya datangi full pasien bahkan sampai harus melayani pasien di parkiran. Suami tante saya membawa beliau pulang ke rumah. Tak berselang lama tante saya meninggal. Tak tertolong nyawanya, sesak napas dengan gejala yang disebabkan oleh virus covid 19.
Kondisi covid hari ini kian mencekam. Kita tidak harus saling menakuti, tapi harus lebih banyak saling mengingatkan. Karena kita melihat bahwa masih banyak orang yang meremehkan.
Terlalu takut adalah tidak benar. Terlalu meremehkan adalah juga salah. Kita adalah umat pertengahan, selalu berusaha menyeimbangkan diri dengan usaha, doa, dan tawakal.
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal (QS. Al-Isra ayat 29)
Semoga kita semua terjaga dari musibah pandemi ini. Aamiin.
Yuliana Setia Rahayu,
Sekbid Humas DPD PKS Kota Malang,
Istri PPDS Paru UB
0 Komentar