Bagaimanapun peristiwa menciptakan jarak, sejatinya setiap muslim itu bersaudara.
Jalanan selalu memberi tanda mengenai kesejatian dari
langkah. Perkenalan, senyuman, sapaan, adalah tanda yang menjauhkan kita dari
kesunyian dan kesendirian. Seperti yang kita tahu, dalam kebersamaan, niscaya
kita menjadi manusia yang siap belajar dari manusia lain. Maka saat itu pula
setiap kita akan menjadi manusia yang saling memandang, melihat, mengamati
bahkan merenungi manusia yang ada di sekitar kita.
Setiap peristiwa adalah
kelas-kelas yang dihadirkan untuk kita belajar dan mengasah rasa. Rasa terhadap
keadaan, diri sendiri dan manusia lain. Dan yang utama, tentang bagaimana rasa
kita kepada Sang Pemilik Kehidupan. Dari setiap peristiwa yang dihadirkan di
dalam kebersamaan, kita berharap dapat mengambil sesuatu berharga. Tentang
hangatnya sapaan, indahnya saling menolong, semangat perjuangan, dan tentu ilmu
yang mengagumkan.
Mengasah rasa kepada
yang lain. Bila kebahagiaan datang padanya, maka kita persembahkan rasa turut
bahagia dan kesyukuran atas apa yang telah diterimanya. Senyuman terbaik,
ucapan terbaik, doa terbaik hingga
sokongan yang mampu membuatnya berdiri tegak dalam kebahagiaan itu. Pun yang demikian
sebenarnya kita sedang berdoa dan
meminta yang terbaik untuk hidup kita sendiri.
Bila ternyata
kesedihan lah yang menyapanya. Sungguh setiap kita butuh untuk turut berduka cita.
Merasakan sedih yang sama lantas mendoakannya. Sebab dalam kesedihannya ada celah-celah bagi kita untuk
menghibur. Bilapun tak sampai, maka sejatinya doa itulah yang akan sampai. Dan
Allah ketika itu akan menghibur dengan cara-Nya. Sekali lagi, ketika kita
sedang mendoakan saudara kita, sejatinya kita sedang berdoa untuk diri sendiri.
Maka dalam beningnya
prasangka, ada loyalitas yang tak boleh
terwarnai oleh kesan sesaat. Loyalitas atas dasar ukhuwah, dimana tidak ada
yang dapat kita simpulkan selama kesan itu tak lahir dari tuturan saudara yang
bersangkutan. Tak mudah bagi kita
menduga, menghakimi dan menyudutkan tanpa alasan dan kebenaran.
Beningnya prasangka
meneguhkan diri kita untuk selalu berpikir dan mengingat setiap kebaikan yang
dilakukan oleh saudara kita. Dari sana kasih sayang atas dasar keimanan itu akan
tetap panjang menggema hingga surga. Teringatlah kita kepada satu nasihat, carilah 70 alasan untuk tetap berprasangka
baik kepada saudaramu. Jika tak kau dapati satupun kebaikan ada padanya maka
barangkali ada alasan yang tidak kau ketahui.
Betapa prasangka menjadi
pembias segalanya. Terkadang pada satu peristiwa kita mudah saja menyimpulkan
tentang saudara kita. Ketika ada hal yang terlihat tak sesuai dengan apa yang
harusnya dilakukan, kita dengan mudahnya berprasangka. Menduga begini dan
begitu. Mudah sekali kita menuding, menyudutkan. Padahal bisa jadi kita lebih
buruk dari dia yang kita prasangkai selama ini.
Lantas kita hanya sampai
kepada prasangka yang hanya akan menenggelamkan kita dalam pikiran-pikiran
buruk yang belum jelas kebenarannya. Sementara kita tak berusaha mencari alasan
mengapa ia begitu dan begini. Kita tak berusaha mencari tahu hal-hal yang
membuat kita berprasangka buruk. Padahal bisa saja alasannya lain dari apa yang
selama ini kita sangka.
Sebening Prasangka, Selembut Nurani
Sebening prasangka,
selembut nurani. Kita belajar dari kisah Ibunda Aisyah, istri Rasulullah shallallahu
‘alaihi wassalam. Ketika itu beliau yang tertinggal dari rombongan safar dalam
perjalanan pulang kembali ke Madinah. Kemudian, seorang sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalam yang bernama Shafwan bin al-Mu’aththal as-Sulami,
yang kebetulan menjadi peronda pasukan bagian belakang, menemukan tertinggalnya
Ibunda Aisyah ra dari rombongan. Shafwan pun lalu
menolong Ibunda Aisyah ra dengan menunggangkanya ke untanya lalu menuntunkan
unta tersebut hingga mereka dapat menyusul rombongan pasukan yang sedang
singgah di sebuah tempat bernama Nahruzh Zhahirah.
Singkat
cerita, disinilah awal mula fitnah itu muncul. Melalui mulut munafikin Abdullah
bin Ubay bin Salul desas desus itu mulai segar di sebarkan.
“Apa yang
dilakukan oleh perempuan muda, istri dari seorang lelaki tua, bersama dengan
seorang pemuda yang lebih tampan dari suaminya”. Seperti itulah wujud fitnah
yang mulai disebar luaskan oleh para munafikin sehingga membuat kabar simpang
siur itu makin gencar mewabah di kota madinah.
Di sinilah
Allah menguji keimanan para penduduk madinah. Bagaimana mereka bersikap
terhadap kabar berita tersebut merupakan bagian dari wujud keimanan mereka itu
sendiri. Maka, disinilah Allah memuji orang–orang yang berprasangka baik
terhadap dirinya sendiri. Sebab, “Akar dari berprasangka buruk terhadap orang
lain adalah berprasangka buruk terhadap diri sendiri. Dan akar dari
berprasangka baik terhadap orang lain adalah berprasangka baik terhadap diri
sendiri.”
Mengapa seseorang
berprasangka buruk terhadap orang lain? Kata Syaikh Musthafa Ash-siba’i, karena
dia membayangkan kalau seandainya dirinya menjadi orang yang disangkai
tersebut, maka dia akan melakukan keburukan itu. Begitu pula sebaliknya bagi
mereka yang berprasangka baik.
Dalam sebening prasangka
kita belajar untuk menjaga rasa sayang agar tak ternodai oleh prasangka. Agar
persaudaraan itu tetap panjang nafasnya hingga ke surga. Agar apa yang diirikan
para nabi dan syuhada terhadap orang-orang yang saling menyayangi atas dasar
ketaqwaan itu benar adanya.
Sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam; Ada segolongan manusia yang
saling mencintai karena Allah, bukan dikarenakan harta, darah dan kekerabatan,
Nabi dan Syuhada cemburu pada mereka sebab dihari kiamat mereka mendapatkan
kedudukan di sisi Allah Swt.
Sebening prasangka,
selembut nurani adalah bagaimana kita berupaya untuk memahami dan mencintai
saudara kita setulus-tulusnya. Menghimpun setiap perasaan agar ikatan yang
dihadirkan oleh-Nya semakin kuat. Ikatan terindah yang semoga kelak dapat kita
rasakan di taman-taman surga. Bercengkrama, berakrab ria, bertetangga,
bertasbih menyebut-nyebut nama-Nya selamanya.
Via Ajeng
Reli Yogyakarta
0 Komentar